Merajut Kasih dengan Toleransi di Tengah Perbedaan Umat Beragama

Merajut Kasih dengan Toleransi di Tengah Perbedaan Umat Beragama

Enam rumah ibadah berjejer | Foto: Bisniswisata

Sejak awal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri, wacana toleransi beragama sudah menjadi topik yang sangat penting untuk dibahas.

Kita dapat melihat bagaimana para tokoh pendiri NKRI menyikapinya dengan serius dan sangat baik, salah satu contohnya ketika sila pertama Pancasila yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” direvisi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai bangsa Indonesia, tidaklah mengherankan bila isu toleransi antarumat beragama menjadi hal yang menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa, mengingat keberagaman umat beragama yang ada di negara tercinta kita ini.

Baca Juga: Menghadapi Kematian Diri Sendiri dan Mereka yang Kita Cintai

Pertanyaannya adalah apakah kita telah menerapkan sikap toleransi di tengah perbedaan umat beragama? Atau jangan-jangan persatuan di tengah perbedaan tersebut hanyalah sebuah konsep belaka tanpa ada pembuktiannya?

Melansir artikel Kompas.com dan Detik.com yang membahas mengenai sikap toleransi antarumat beragama, terdapat 6 rumah ibadat yang didirikan di perumahan Royal Residence, Wiyung, Surabaya. Rumah-rumah ibadat tersebut sengaja dibangun berdampingan dengan jarak sekitar 3 meter saja antara satu dengan yang lainnya.

Keenam rumah ibadat tersebut adalah Masjid Muhajirin, Vihara Budhayana, Kapel Santo Yustinus untuk umat Kristen Katolik, Klenteng Ba De Miao, Pura Sakti Raden Wijaya, dan GKI Wiyung Royal Residence untuk umat Kristen Protestan.

Tentunya, ada begitu banyak peristiwa-peristiwa hebat yang mewarnai keberadaan 6 rumah ibadat tersebut, mulai dari biaya pembangunan yang dikumpulkan secara swadaya oleh warga, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama.

Lalu, adanya kesepakatan dalam mengatur waktu agar dapat saling menyesuaikan jadwal ibadah. Bahkan dibentuk pula Forum Komunikasi Rumah Ibadat (FKRI) untuk menghindari gesekan dan tetap menjalin hubungan kerukunan antarumat beragama di sana.

Baca Juga: Sejarah Polwan, Intip Suka Duka Menjadi Polisi Wanita

Di tengah keberagaman umat beragama, maka sudah seharusnya kita saling mendukung agar toleransi antarumat beragama bukan lagi sesuatu yang “luar biasa”, tetapi menjadi sesuatu yang “biasa” terjadi.

Bila toleransi antarumat beragama masih dianggap sesuatu yang “luar biasa”, itu sama saja dengan mengatakan bahwa toleransi antarumat beragama adalah hal yang jarang terjadi di Indonesia.

Namun, jika kita bisa sampai pada suatu titik di mana toleransi antarumat beragama dianggap “biasa” terjadi, maka kita telah menunjukkan bahwa toleransi adalah identitas bangsa kita.

Toleransi akan terjadi jika kita tidak bersikap fanatis terhadap agama kita masing-masing dan terbuka terhadap perbedaan. Sebab faktanya, ketika kita bersikap fanatis, orang lain malah bisa jadi memiliki persepsi yang salah terhadap agama yang kita anut, padahal agama semestinya membawa cinta dan damai bagi sesama.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menerapkan toleransi beragama di mana pun dan kapan pun ketika kita memiliki kesempatan untuk melakukannya. Mulai dari hal sederhana, seperti berteman dengan orang lain tanpa memandang perbedaan agama dan menghargai mereka ketika sedang beribadah, hingga hal yang lebih kompleks lagi, misalnya dengan mengikuti dialog-dialog lintas agama.

Selain toleransi antarumat beragama —dalam hal ini adalah keenam agama yang dilayani oleh pemerintah Indonesia— ada satu hal lagi yang seharusnya juga tidak luput dari perhatian kita bersama, yakni mengenai keberadaan saudara/i kita yang merupakan penghayat kepercayaan.

Sering kali mereka didiskriminasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Bahkan tak jarang, mereka dipandang dengan sinis atau dianggap “aneh” oleh orang-orang yang mengaku memeluk salah satu dari 6 agama tersebut.

Pandangan semacam ini semestinya tidak lagi kita jumpai di negara kita ini. Alih-alih memandang dengan sinis, alangkah baiknya jika kita menerima perbedaan tersebut dan memperluas wawasan kita, sebab sebenarnya pengetahuan kita tentang mereka masih terlalu sempit, belum lagi sudut pandang dalam memandang mereka juga seringkali salah. Seringkali hanya karena perbedaan, mereka dilihat sebagai objek bukan lagi sebagai subjek.

Sebagai contoh seorang anak di sebuah SMP yang merupakan penghayat kepercayaan “Parmalim”, terpaksa harus mengikuti pelajaran agama Kristen Protestan dikarenakan sistem pendidikan di negara kita yang menuntut agar nilai Pendidikan Agama harus tetap terpenuhi, padahal tidak ada guru yang mengajar anak tersebut. Disadari atau tidak, ia menjadi objek dari tuntutan aturan tanpa membiarkan haknya sebagai subjek terpenuhi.

Namun, meskipun berbeda agama, teman-teman dari anak tersebut tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang perlu dipermasalahkan sehingga dia tetap mempunyai banyak teman.

Baca Juga:  Hari Kidal Internasional 2023, Begini Sejarah dan Fakta Menarik Orang Kidal

Beruntungnya, walaupun terdapat contoh-contoh peristiwa yang menunjukkan adanya permasalahan akibat dari perbedaan agama. Terdapat pula banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama. 

Memang benar bahwa membuat peraturan untuk mengatasi masalah-masalah perbedaan agama adalah tugas dari pemerintah, tetapi jangan lupa bahwa menyuarakan dan menegakkannya adalah tugas kita bersama. Kita tidak boleh menutup mata terhadap masalah-masalah yang timbul seputar perbedaan agama.

“Jangan sampai kita berhasil memeluk agama, tetapi gagal memeluk sesama,” kata Pendeta Yerry Pattinasarany.

Agama bukanlah jalan untuk saling menghakimi, tetapi agama adalah jalan untuk saling mengasihi. Lewat perbedaan agama kita bisa belajar bahwa ada satu Tuhan, tetapi terdapat banyak cara untuk mengenal dan mencapai pemahaman akan Dia.

Bagaimana mungkin kita dapat berkata dengan bangga bahwa kita mengasihi Tuhan (yang tidak kelihatan secara kasatmata), jika mengasihi orang lain (yang terlihat secara kasatmata) saja kita tidak mampu hanya karena perbedaan agama?

Sumber Referensi:

  • https://regional.kompas.com/read/2019/07/22/07010081/cerita-6-rumah-ibadah-yang-dibangun-berdampingan-tetap-rukun-meski-berbeda?page=all 
  • https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5733044/adem-banget-6-tempat-ibadah-di-surabaya-ini-saling-berdampingan