Menghadapi Kematian Diri Sendiri dan Mereka yang Kita Cintai

Menghadapi Kematian Diri Sendiri dan Mereka yang Kita Cintai

Rest In Peace (Image by Rob van der Meijden from Pixabay)

Pernahkan SohIB bertanya tentang apa itu kematian dan mengapa seseorang bisa mati? Lalu, pernah tidak kamu membayangkan kematian orang-orang terdekat serta mengajukan pertanyaan, sudahkah diri kita siap menerima kematian mereka? Apakah ketika mereka mati kita masih mempunyai alasan untuk hidup?

Kematian adalah satu-satunya keniscayaan di masa depan yang akan terjadi tanpa perlu kita rencanakan. Setiap makhluk hidup suatu saat pasti akan mati, itulah fakta kehidupan. Manusia tak dapat menghindari kematian. Selain itu, kita juga tidak dapat mengetahui kapan dan di mana kematian datang menjemput.

Mengapa Takut pada Kematian?

Mengapa manusia takut pada kematian? Bukankah milyaran tahun sebelum lahir, kita sudah terlebih dahulu tidak ada? Sebelum lahir dan mengalami kehidupan, kita telah lebih dahulu mengalami kematian. Jadi, kita hanyalah “Ada” yang berasal dari “Ketiadaan”.

Lagipula, kita tidak akan pernah merasakan kematian. Saat kita hidup, kematian tidak ada. Saat mati, kita sudah tidak bisa lagi merasakan apa-apa. Jadi, kita tidak akan merasakan kematian dan tidak pula mengetahui bahwa kita sudah mati. Lantas, apa yang ditakuti dari kematian?

Ketakutan akan kematian timbul sebagai konsekuensi dari pertentangan (ketegangan) antara kemampuan transendensi dan keterbatasan raga manusia. Kita mampu merencanakan banyak hal di masa depan. Kita bisa melampaui “hari ini”.

Sayangnya, kematian merupakan tapal batas kehidupan. Kita takut terhadap kematian, sebab kematian akan menjadi “distraksi absolut” yang tidak dapat kita atasi dan menghalangi kita untuk menggapai “hari esok”.

Kemampuan transendensi tersebut tidak hanya membuat manusia hidup secara individual. Namun, juga mengubah kita menjadi makhluk yang dapat “melampaui diri sendiri” dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Bila pertemuan ini diakhiri dengan perpisahan, maka tentu rasanya sakit, sedih, dan mengecewakan.

Apa yang Terjadi Setelah Kematian?

Ketika bertanya tentang kematian, kita sedang mencari makna kehidupan. Untuk apa hidup jika nantinya saya mati? Kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi setelah kematian. Namun, setidaknya ada dua pandangan populer yang mencoba menjawab persoalan ini.

Pandangan pertama menyatakan setelah kematian tidak terjadi apa-apa. Begitu mati, maka kita punah. Baik tubuh maupun kesadaran, keduanya tidak ada lagi. Manusia hidup dan mati hanya sekali. Bila mati, maka “semua tentang aku” telah berakhir. Tidak ada yang namanya kehidupan pascakematian, sebab kematian merupakan akhir dari segalanya. Akhir dari “Ada” adalah “Ketiadaan”.

Jawaban pertama ini barangkali tidak memuaskan, sebab seolah-olah hidup ini hanya dihabiskan di dunia saja. Tidak mungkin manusia yang merupakan makhluk dengan banyak “keistimewaan” berakhir pada persoalan materialis belaka.

Oleh sebab itu, lahirlah beragam sistem kepercayaan yang mengimani —dan dengan demikian memberikan pendapat keduaadanya kehidupan setelah kematian. Kepercayaan tersebut mewujud pada adanya reinkarnasi atau mungkin kehidupan di surga dan neraka maupun pandangan tentang after life (kehidupan setelah kematian) lainnya.

Martin Heidegger: Being unto Death

Martin Heidegger berpendapat kalau makna kehidupan manusia adalah bahwa dia akan mati. Heidegger menyebut manusia sebagai ada-yang-menuju-kematian.

Manusia merupakan eksistensi yang berjalan menuju kematian (being-unto-death). Seseorang akan menjalani kehidupan sebagai sesuatu yang berharga hanya bila dia sadar kalau kematian berdiri di depan pintu dan mengintipnya.

Oleh karena itu, merenungkan kematian sama halnya dengan merenungkan kehidupan. Dengan begitu, seseorang akan totalitas dalam berusaha menjadi manusia yang otentik.

Socrates: Takut Mati = Pura-Pura Bijaksana

Socrates menghabiskan banyak waktu hidupnya dengan melakukan misi sebagai seorang filsuf. Dia berjalan kesana-kemari serta mengajukan pertanyaan kepada orang-orang untuk mengajak mereka memeriksa diri.

Ketika diperhadapkan kepada sidang karena fitnah terhadapnya sehubungan dengan misinya tersebut, dia bergeming (tidak bergerak) dari pendiriannya, meskipun kematian menanti di depan mata. Dia bahkan berkata, “aku tidak akan pernah mengubah pendirianku, sekalipun aku harus mati berkali-kali”.

Bagi Socrates, orang yang mengganggap dirinya bijaksana, tetapi takut dengan kematian hanyalah orang yang pura-pura bijaksana. Socrates mengajak kita untuk melihat kalau-kalau kematian merupakan sebuah kebaikan terbesar.

Kita berkata-kata tentang kematian dan melabeli kematian sebagai sesuatu yang pasti negatif, padahal kita sendiri tidak tahu “apa dan seperti apa kematian itu”. Menurut Socrates, itu adalah kekeliruan.

Socrates mengatakan kalau evaluasi (penilaian) tersebut justru bukti ketidaktahuan kita tentang kematian. Dia lalu menambahkan bahwa berbicara tentang sesuatu yang tidak kita ketahui merupakan bentuk kesombongan.

Epilog: Memento Mori

Seorang dosen filsafat asal Indonesia bernama Augustinus Setyo Wibowo dalam bukunya, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, berkata, “Kita harus berbicara mengenai kematian karena ia begitu dekat dalam keseharian.”.

Menurutnya, “Kematian orang lain membuat kita memikirkan kematian kita sendiri. Namun sayangnya, kesibukan dan kepentingan-kepentingan urgen segera menghilangkan kesadaran akan kematian. Padahal, saat membayangkan kematian itulah biasanya kesadaran akan kehidupan menjadi lebih bening”.

Oleh karena itu, menurutnya, agar hidup jadi lebih bening, maka kematian perlu dijadikan objek latihan.

Walaupun kita tidak pernah mengalami kematian diri kita sendiri, kita benar-benar merasakan kematian orang lain. Oleh sebab itu, kita bisa tahu bahwa di dunia ini, kematian adalah titik akhir.

Kematian mengajarkan kita untuk memanfaatkan waktu bersama orang-orang terdekat. Kematian menyadarkan kita akan fakta yang tak terbantahkan, yakni kita dan mereka yang kita cintai adalah makhluk yang sama-sama bisa mati. Di hadapan kematian semua manusia adalah setara.

Kita dan mereka yang kita cintai hidup untuk saling melengkapi bukan saling memiliki. Ikatan kita dengan mereka bukanlah sebuah kemelekatan jasmani. Akan ada momen di mana mereka tak dapat lagi kita lihat atau mungkin sebaliknya, kitalah yang lebih dahulu mati sehingga tidak lagi dapat ditemui oleh mereka.

Bila saat itu tiba, bukankah kekanak-kanakan bila cinta kita kepada mereka atau cinta mereka kepada kita malah padam?

Kematian orang lain maupun ingatan akan kematian diri sendiri mentransformasi cara hidup seseorang. Ada sebuah frasa Latin yang menghiasi arsitektur kuburan klasik berbunyi, Memento Mori ‘Ingatlah akan kematian’.

Frasa ini mendorong kita untuk memetik hari ini dan sadar akan kematian sehingga nantinya kita akan mati dalam kondisi Rest In Peace ‘beristirahat dengan tenang’. Kita bangga pernah hidup dan kini semuanya sudah selesai. Mari berefleksi!

 

Sumber referensi:

  • K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua, Pengantar Filsafat, Cet. 5 (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2018), 142.
  • Bertens, Ohoitimur, and Dua, 142.
  • Plato, The Dialogues of Plato, trans. B. Jowett, vol. 5, 2 vols. (London: Oxford: Clarendon Press, 1892), https://standardebooks.org/ebooks/plato/dialogues/benjamin-jowett.
  • A. Setyo Wibowo, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, Cet. 5 (Yogyakarta: PT Kanisius Yogyakarta, 2019), 7–8.
  • Stephen Palmquist, Filsafat Mawas: Kuliah Filsafat Umum Untuk Pemula, trans. Muhammad Shodiq, 2001, Kuliah. 34, http://staffweb.hkbu.edu.hk/ppp/pf.