Mengingat Peristiwa Tanjung Priok, Kejadian Kelam pada 12 September 1984

Mengingat Peristiwa Tanjung Priok, Kejadian Kelam pada 12 September 1984

Ilustrasi, Peristiwa Tanjung Priok | Pixabay (kalhh)

Tepat hari ini pada 39 tahun yang lalu, terjadi sebuah kejadian kelam di utara Jakarta yang dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Priok.

Peristiwa yang terjadi pada 12 September 1984 tersebut menjadi salah satu catatan hitam yang terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru.

Kejadian yang terjadi akibat adanya bentrok antara pihak militer dengan umat Islam ini menelan cukup banyak korban, yakni 24 orang meninggal dunia dan 54 orang luka berat.

M.C Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 bahkan menyebutkan, bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan kejadian terparah di Indonesia dalam satu dekade pasca terjadinya Peristiwa Malari pada Januari 1974.

Bagaimana peristiwa berdarah ini bisa terjadi pada periode waktu tersebut?

Selamat Hari Radio Nasional 2023! Yuk Intip Sejarahnya!

Latar Belakang Peristiwa

Pengajuan RUU oleh Pemerintah Orde Baru kepada DPR mengenai organisasi politik dan kemasyarakatan yang memiliki asas tunggal, yaitu Pancasila dan UUD 1945, disinyalir menjadi penyebab awal meletusnya Peristiwa Tanjung Priok.

Andi Suwirta dalam artikel "Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Peristiwa Tanjung Priok Tahun 1984 dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka dan Kompas di Jakarta" menjelaskan, bahwa pengajuan RUU ini membuat banyak ulama dari umat Islam memprotes hal tersebut.

Para ulama ini beranggapan bahwa RUU yang diajukan tersebut bisa mengancam kebebasan organisasi Islam dan independen lainnya.

Salah satu ulama dari Tanjung Priok yang dikenal sering menyampaikan ceramah yang berisi kritikan terhadap pemerintah, yakni M. Natsir, juga turut menolak pengajuan dari RUU ini.

M. Natsir nantinya menjadi salah satu ulama yang turut mengisi ceramah saat pecahnya Peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984.

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok

Terdapat dua versi berbeda dari kronologi terjadinya Peristiwa Tanjung Priok.

Versi pertama disampaikan oleh pemerintah yang dikeluarkan sepuluh jam usai terjadinya peristiwa berdarah ini.

Sementara itu, versi kedua dikenal sebagai "Lembaran Putih" yang ditandatangani oleh 22 tokoh masyarakat di Masjid Al-A'ra, Tanjung Priok pada 20 September 1984.

Secara ringkas, berikut kronologi terjadinya Peristiwa Tanjung Priok:

7 September 1984

Dua orang petugas keamanan meminta masyarakat untuk melepas poster yang terpasang di Masjid Rawabadak, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Poster ini diminta untuk dilepas karena dianggap bermuatan SARA.

Akan tetapi, masyarakat tidak memenuhi permintaan dua petugas keamanan tersebut.

8 September 1984

Dua petugas keamanan kembali ke lokasi dan menutup poster tersebut dengan noda hitam.

Versi "Lembaran Putih" menyebutkan bahwa dua petugas ini memasuki Musala As-Sa'adah tanpa melepaskan sepatu.

Selain itu, dua petugas tersebut juga menyiram dinding musala dan pengumuman undangan pengajian dengan air comberan.

Kejadian ini akhirnya menyebar luas di kalangan masyarakat.

Salah satu tokoh masyarakat di Tanjung Priok, yakni Amir Biki mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh dua petugas tersebut.

Serangkaian ceramah, salah satunya disampaikan oleh M. Natsir, juga digelar untuk mengomentari kejadian yang terjadi di Musala As-Sa'adah.

Bagaimana Sejarah Hari Olahraga Nasional, Bermula dari Gagalnya Mengikuti Olimpiade London?

10 September 1984

Jamaah Musala As-Sa'adah menghadang dua petugas yang dianggap terlibat dalam kejadian sebelumnya.

Terjadi perselisihan antara jamaah dengan dua petugas tersebut.

Dua petugas yang dihadang massa berhasil melarikan diri. Meskipun demikian, motor petugas yang tertinggal dibakar oleh massa yang berkumpul.

Versi pemerintah menyebutkan bahwa petugas yang sedang bertugas di wilayah tersebut dikeroyok oleh beberapa orang. Akan tetapi, mereka berhasil selamat dan menyelamatkan diri.

11 September 1984

Akibat kejadian ini, Komandan KODIM setempat datang ke lokasi tersebut dan menangkap 4 orang yang diduga terlibat dalam pembakaran motor petugas yang tertinggal.

Penangkapan ini diprotes oleh masyarakat setempat.

Amir Biki meminta petugas KODIM untuk membebaskan 4 tahanan tersebut. Akan tetapi, permintaannya tersebut tidak dikabulkan.

12 September 1984

Beberapa tokoh, seperti Amir Biki, Syarifudin Maloko, dan M. Natsir melakukan ceramah yang dalam versi "Lembaran Putih" berisi tentang tuntutan untuk membebaskan 4 orang yang ditahan oleh KODIM.

Akan tetapi, versi pemerintah menyebutkan bahwa isi ceramah yang disampaikan berisi hasutan untuk membebaskan para tahanan dengan disertai ancaman pembunuhan dan pengrusakan.

Seusai ceramah tersebut, 1500 orang bergerak menuju kantor KODIM untuk menuntut pembebasan tahanan yang ditahan.

Namun, massa yang bergerak ini dihadang di tengah perjalanan oleh militer yang mengakibatkan pecahnya bentrokan antar kedua belah pihak.

Versi pemerintah menyebutkan bahwa militer yang menghadang menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa yang berkumpul.

Narasi berbeda disampaikan oleh versi "Lembaran Putih" yang menyebutkan bahwa massa tidak dibubarkan dengan gas air mata. Namun langsung ditembaki dengan senjata otomatis.

Puluhan orang, termasuk Amir Biki tewas akibat bentrokan ini.

Sementara itu, ratusan orang lain mengalami luka-luka akibat kejadian berdarah tersebut.

Sejarah Polwan, Intip Suka Duka Menjadi Polisi Wanita

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan membuat Peristiwa Tanjung Priok termasuk dalam kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Berat) yang pernah terjadi di Indonesia.

Kevin Jonathan, dkk dalam artikel "Kasus Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984 
Sebagai Pelanggaran HAM di Indonesia" menjabarkan, setidaknya terdapat empat poin utama yang membuat Peristiwa Tanjung Priok termasuk dalam pelanggaran HAM berat.

Keempat poin tersebut diantaranya pembunuhan kilat saat meletusnya bentrok pada 12 September 1984, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang usai peristiwa tersebut, penyiksaan kepada korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis, serta penghilangan orang secara paksa.


Sumber referensi:
- Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.
- Andi Suwirta, "Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Peristiwa Tanjung Priok Tahun 1984 dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka dan Kompas di Jakarta," dalam Jurnal Insancita, vol. 2, no. 2, 2017, hal. 101-122. (https://www.journals.mindamas.com/index.php/insancita/article/view/937)
- Kevin Jonathan, dkk, "Kasus Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984 
Sebagai Pelanggaran HAM di Indonesia" dalam Jurnal Nusantara, vol 1, no.1, 2022, hal. 1-18. (https://journal.forikami.com/index.php/nusantara/article/view/218)