Memandang Suasana Politik dan Demokrasi di Indonesia Menggunakan Lensa HAM

Memandang Suasana Politik dan Demokrasi di Indonesia  Menggunakan Lensa HAM

Human Rights | Gambar oleh pixabay.com/id/users/geralt-9301

SohIB tidak dapat memulai diskursus mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) dari kata “hak” maupun “asasi”. Kedua kata tersebut adalah konsep abstraksi yang melekat pada subjek. Oleh karena itu, wacana mengenai HAM —dulu, kiwari, dan futur— harus dimulai dari “manusia” sebagai subjek HAM itu sendiri.

Secara asali, hak asasi itu sudah melekat dengan manusia. Istilah HAM (human rights) baru muncul terutama sejak diproklamasikannya The Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini lahir di Paris pada 10 Desember 1948 sebagai tanggapan atas kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh nazisme Jerman dan fasisme Jepang kala itu.

Harapannya, pendeklarasian HAM tersebut mencegah hal-hal senada terulang lagi. Dengan demikian, deklarasi tersebut mesti dipahami sebagai bentuk penegasan dan afirmasi umat manusia bahwa seseorang “terlempar ke dunia” dengan HAM begitu dia adalah manusia.

Meskipun gagasan mengenai HAM baru muncul secara eksplisit di kemudian hari dalam traktat tersebut, bukan berarti itu melegitimasi HAM sebagai “pemberian cuma-cuma” atau “anugerah” kepada seseorang, sebab dia adalah warga negara dari sebuah negara (maupun warga dunia).

HAM adalah hak mutlak sekaligus martabat manusia. Pemerintahan negara (maupun pemerintahan dunia) tidak dapat mengatur keberadaan HAM seseorang. Pemerintahan dibentuk dan bertugas untuk memastikan warga negaranya memiliki kebebasan dalam mengumpulkan dan menikmati hak milik pribadinya.

Baca juga: Myanmar Batal, Filipina Maju Jadi Ketua ASEAN 2026

HAM membuka ruang bagi manusia untuk bereksistensi secara utuh. Oleh sebab itu, diskusi tentang HAM mestilah dimulai dari memahami manusia secara utuh, alih-alih fungsional belaka. Ambil contoh dalam konteks politik, umpamanya ada seseorang yang berprofesi sebagai politisi. Jika orang tersebut dipandang secara fungsional menurut profesinya tersebut (bukan sebagai manusia yang utuh), maka akan timbul persepsi.

“karena dia adalah politisi, maka fungsinya adalah berpolitik”. Akibatnya, pada satu sisi SohIB bisa saja mengabaikan “hak-hak lain” yang juga dimilikinya sebagai manusia. Pada sisi yang lain, dengan memandangnya sebagai politisi, maka kita pun menginterupsi diri kalau kita memiliki bagian juga dalam berpolitik.

Jadi, seolah-olah itu berlaku untuk para politisi saja. Masyarakat biasa yang bukan politisi tidak punya hak dalam berpolitik. Padahal, yang benar ialah dalam demokrasi, politisi berpolitik praktis (kontestator) dan rakyat adalah partisipator (pemilih)nya.

Di Indonesia, politik dan demokrasi merupakan dua hal yang saling berkelindan. Keduanya membentuk relasi seperti lingkaran yang terhubung dan tak pernah putus. Pertama-tama, demokrasi tampak sebagai produk dari kebijakan politik. Namun, demokrasi kemudian membentuk suasana politik yang melahirkan pemerintahan yang membentuk kebijakan politik.

Di Indonesia selalu digaungkan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang merujuk kepada demokrasi. Sejak bangku Sekolah Dasar (SD), murid-murid bahkan sudah dicekoki makhluk yang bernama “demokrasi” ini. Pertanyaannya ialah apakah negara kita ini benar-benar telah menerapkannya? Secara praktis, iya.

Baca juga: Sekjen PBB Puji Semboyan Bhineka Tunggal Ika, "Bukan Hanya untuk Indonesia tapi Juga Dunia"

Penerapannya sudah dilakukan lewat pemungutan suara (voting) dalam beragam pemilihan mulai dari tingkat sekolah, seperti pemilihan ketua kelas dan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Prestasi lain yang pasti terpikirkan dengan cepat oleh kita adalah keberhasilan pemilihan-pemilihan anggota badan legislatif maupun eksekutif. Namun, kita mestinya harus berefleksi, sebab jika prestasi itu tercapai bukan berarti HAM terpenuhi secara komprehensif dan berdampak dalam jangka panjang.

Sudah menjadi rahasia umum kalau prestasi tersebut disertai keberadaan politik uang. Serangan fajar barangkali merupakan term yang lebih akrab di telinga kita. Rakyat tidak lagi memilih dengan pertimbangan visi-misi politisi, tetapi berdasarkan jumlah fee yang didapat kalau memilihnya. Bila ini terus berlangsung, maka para kawula muda yang bercita-cita untuk terjun dalam politik praktis bisa jadi mengurungkan niat.

Idealisme kaum muda kalau politik Indonesia menganut meritokrasi —yang dimanifestasikan lewat roh demokrasi— secara perlahan akan menghilang. Logikanya sederhana saja: untuk apa capek-capek terjun ke politik praktis kalau pemenangnya adalah “mereka yang ber-uang”? Kalau begini, toh hasilnya sudah ditentukan dari awal, bukan?

Kemudian, ketika pemilihan telah selesai, masyarakat justru harus menelan pahitnya kenyataan birokrasi ruwet nan korup sebagai produk dari pemilihan-pemilihan tersebut. Belakangan ini, penangkapan pejabat-pejabat karena ketahuan korupsi oleh netizen mempertontonkan perilaku korup tersebut. Digitalisasi yang harusnya oleh pemerintah dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir kusutnya birokrasi, justru lebih berfungsi di tangan masyarakat sebagai senjata dengan peluru “viralisasi”.

Dua masalah tersebut adalah sekian dari beberapa masalah menyangkut demokrasi yang terlihat di masa kini. Kita belum membahas kasus-kasus di masa lalu yang belum tertangani hingga sekarang. Enam belas tahun sudah berlalu sejak kumpulan orang berpakaian hitam mengembangkan payung mereka yang berwarna sama di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.

Tetapi kejernihan kasus tersebut pun masih tersembunyi Kompas.com 2023. Kasus-kasus kemanusiaan ini tentu tidak boleh diabaikan, sebab mereka yang menjadi korban adalah para pejuang demokrasi. Keberadaan mereka juga merupakan faktor kunci mengapa kita bisa merasakan terciptanya demokrasi di era reformasi sekarang.

SohIB perlu meng-Indonesia-kan HAM sebagai upaya mencegah, berarti meluaskan horizon berpikir mengenai HAM dalam konteks kebinekaan Indonesia selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Meng-Indonesia-kan HAM dapat berarti beberapa hal. Pertama, HAM mesti menjadi nature dari Indonesia.

HAM perlu dinaturalisasi agar menjadi bagian dari Indonesia. Kedua, meng-Indonesiakan-kan HAM juga berarti menjadi agen HAM itu sendiri. Seturut dengan luasnya wilayah Indonesia, maka demikian halnya HAM diperkenalkan dan diperjuangkan di mana pun dan kapan pun. Harmoni antara politik, demokrasi, dan HAM akan mewujudkan impian untuk Indonesia yang lebih baik dan inklusif!

Sumber Referensi

  • Bertens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. (2018). Pengantar Filsafat (Cet. 5). Penerbit PT Kanisius.
  • Kompas.com. (2023, January 21). Makna Payung Hitam dalam Perjuangan Aksi Kamisan... KOMPAS.com. https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/01/21/090307982/makna-payung-hitam-dalam-perjuangan-aksi-kamisan
  • Reza A. A. Wattimena. (2011). Filsafat Kata. Evolitera. https://rumahfilsafat.com/2011/07/15/buku-filsafat-baru-filsafat-kata