Korupsi: Berdiri di Persimpangan antara Etika atau Keserakahan

Korupsi: Berdiri di Persimpangan antara Etika atau Keserakahan

Sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/menghentikan-dan-memberantas-konsep-korupsi-tangan-manusia-merobek-selembar-kertas-gm1401892190-454981797

Dalam berbagai kesempatan, SohIB pasti diperhadapkan pada persimpangan jalan yang diantaranya mesti SohIB pilih salah satu untuk kemudian SohIB lalui. Memilih antara menjunjung tinggi nilai etika atau mengikuti nafsu keserakahan, antara bersikap jujur atau memilih berbohong.

Jalan yang SohIB pilih akan menentukan apakah SohIB akan menjadi pelaku korupsi atau menjadi pribadi yang antikorupsi. Oleh karena itu, sebelum terjun ke praktik antikorupsi, SohIB harus mengerti terlebih dahulu mengenai apa itu korupsi, apa dampaknya, dan mengapa korupsi bisa terjadi?

Semua pertanyaan tersebut mesti SohIB pelajari sebagai sebuah kesatuan yang utuh dalam rangka mencari tahu solusi yang harus SohIB lakukan untuk mencegah dan mengatasi korupsi. Setidaknya ada tiga hal yang dikemukakan di sini dan patut untuk kita sadari sebagai dasar untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut tersebut.

Baca juga: Wujudkan Desa Merdeka Sinyal, Kominfo Perkuat Infrastruktur Digital di Desa

Hal pertama yang mestinya SohIB sadari adalah bahwa tindakan korupsi bertentangan dengan hukum negara. Secara khusus, memang korupsi diartikan sebagai tindakan penyelewengan uang negara demi keuntungan pribadi atau golongan tertentu.

Dalam pengertian ini, melakukan korupsi sama dengan mencuri uang negara atau lebih tepatnya mencuri uang rakyat. Sudah jelas bahwa orang yang melakukan pencurian adalah orang yang melanggar hukum negara dan harus menerima hukuman yang setimpal.

Namun, dalam pengertian yang lebih luas, SohIB dapat mendefinisikannya sebagai sebuah tindakan penyelewengan terhadap tanggung jawab dalam bentuk apa pun yang dipercayakan kepada kita, tidak peduli besar kecilnya tanggung jawab tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka SohIB dapat menyadari bahwa tindakan korupsi tidak hanya bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga menciderai etika atau moralitas kita sebagai manusia; makhluk hidup yang memiliki akal budi yang mampu menalar segala sesuatu dengan baik.

Baca juga: Nusantara Sail 2023 Berlayar dari Jakarta ke IKN, Diikuti 101 Pelaut Internasional

Kedua, pentingnya kesadaran bahwa korupsi tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. SohIB dapat melihatnya dengan jelas melalui kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara kita sendiri, di mana terdapat orang-orang yang dipercaya oleh rakyat untuk mengemban tugas memimpin negara dan menggunakan keuangannya dengan tanggung jawab untuk kemaslahatan masyarakat luas, malah menyia-nyiakan kepercayaan tersebut demi keuntungan pribadi atau orang lain yang merupakan golongannya.

Mirisnya, masyarakatlah yang terkena dampak sebagai imbas dari tindakan tak terpuji tersebut. Keuangan negara yang semestinya dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat sia-sia begitu saja akibat korupsi yang disebabkan oleh ketamakan para oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Biasanya ketika seseorang berhasil melakukan korupsi, maka hal berikutnya yang akan dilakukannya adalah mencari pembenaran diri dengan beranggapan bahwa tindakan yang dilakukannya bukanlah korupsi. Kalau pun ada orang lain yang mencoba menyadarkan dan mengatakan bahwa yang dia lakukan adalah korupsi, maka dia tetap akan bersikeras bahwa kesalahan yang dia lakukan bukanlah sebuah kesalahan.

Tidak jarang demi melancarkan niatnya untuk menutupi tindakan tersebut, dia rela melakukan segala cara. Kita dapat mempelajari pola ini dari tindakan para koruptor yang biasanya akan melakukan suap kepada orang lain untuk menutupi kebobrokannya.

Pada tingkat yang lebih ekstrem, koruptor bahkan mampu berlagak seperti korban. Asumsinya ialah dia melakukan korupsi, tetapi toh sudah ada orang lain yang lebih dahulu melakukan hal yang sama dengannya. Jadi, korupsi bukan baru pertama kali terjadi dan bukan pula hanya dia yang melakukannya. Dengan demikian, secara tidak langsung dia telah membenarkan korupsi sebagai sesuatu yang biasa terjadi.

Alasan tradisional lainnya adalah dengan berkata bahwa dia khilaf. Mereka yang menggunakan alasan ini menganggap bahwa dirinya adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan mestinya dimaafkan.

Padahal, kalau ditanya bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan perbuatan korupsinya tersebut terhadap masyarakat, dia tidak bisa memberikan jawaban yang benar-benar jawaban. Tentu saja ini terjadi, sebab niatnya adalah membela diri bukan bertanggung jawab atas kesalahannya.

Baca juga: Capai Target Water Sustainability Global, Indonesia Ajak Dunia Prioritaskan Isu Air Bersih

Hal penting terakhir dalam rangka mencegah dan mengatasi korupsi adalah kesadaran akan adanya celah untuk melakukan korupsi, celah untuk melakukan korupsi memang bisa terdapat dalam berbagai kesempatan. Namun, dalam berbagai kesempatan itu pula, kita juga punya pilihan utama, yakni untuk tidak melakukannya.

Korupsi dapat dihindari asalkan kita memiliki nilai-nilai antikorupsi. Nilai-nilai tersebut dirumuskan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdiri atas sikap jujur, bertanggung jawab, disiplin, mandiri, kerja keras, sederhana, berani, peduli dan adil.

Kejujuran membuat SohIB mampu menolak godaan maupun tawaran untuk korupsi dengan berani. Kejujuran membuat kita menjadi pribadi yang bertanggung jawab dengan rasa kepedulian dan keadilan yang tinggi, mereka yang bersikap jujur akan disiplin dalam bekerja keras secara mandiri, tetapi tetap hidup dengan sederhana.

Kita dapat melihat sendiri bahwa nilai-nilai antikorupsi mengacu pada sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap orang untuk menahannya agar tidak melakukan korupsi. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari ajaran agama, ideologi, adat istiadat. Bahkan, yang paling utama dari hati nurani setiap pribadi.

Nilai-nilai inilah yang akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang berintegritas yakni, pribadi yang memiliki kesatuan yang utuh dalam berpikir, berbicara dan bertindak berdasarkan hati nuraninya secara konsisten. Orang yang berintegritas memiliki mutu dan standar yang tinggi. Meskipun demikian, orang tersebut tetap realistis.

Nilai-nilai antikorupsi tersebut sebenarnya sudah melekat pada diri kita semua semua begitu kita dilahirkan, sebab asal utamanya memang dari hati nurani masing-masing. Nilai-nilai tersebut juga kita pelajari di lingkungan keluarga, pendidikan, dunia kerja, dan masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan kita tidak kekurangan pemahaman akan nilai tersebut.

Hanya saja memang dibutuhkan kesabaran serta komitmen yang tinggi untuk selalu konsisten dalam menerapkan, mempertahankan kadar dan mengasahnya. Budaya antikorupsi harus ditumbuh kembangkan sejak dini di tengah-tengah kehidupan kita sebagai manusia ciptaan Tuhan sekaligus warga negara hukum.

Dengan demikian, SohIB tidak lagi bingung ketika diperhadapkan dengan persimpangan jalan tadi, sebab kita telah memilih untuk menjadi pribadi yang antikorupsi. Bila berhasil menerapkan ketiga hal di atas, maka pada saat yang bersamaan kita dapat menjadi teladan bagi orang lain. Mempraktikkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari akan memengaruhi orang lain secara persuasif untuk melakukan hal yang sama.