Yuk Jadi Pendidik Melek Teknologi Digital

Yuk Jadi Pendidik Melek Teknologi Digital

BERAGAM KOMPETENSI PENDIDIK

#SobatHebatIndonesiaBaik 

#JadiKontributorJadiInspirator

#BerbagiMenginspirasi

#SohIBBerkompetisiArtikel

Dalam beberapa kesempatan mengajar didalam kelas kepada mahasiswa, saya seringkali menyampaikan mengenai pentingnya inovasi dalam pendidikan, saya selalu menganalogikan inovasi sebagai pengalaman yang dilakukan oleh pendidik sepanjang karirnya, “coba anda bayangkan, bagaimana jadinya peserta didik, apabila pendidik menyampaikan materi pembelajaran, dengan teknik, gaya, ataupun media yang sama, yang pernah pendidik tersebut alami ketika menjadi peserta didik ” ucap saya kepada mahasiswa, dalam kondisi seperti ini saya teringat ucapan Imam Ali bin Abi Thalib, “ajarilah anakmu sesuai dengan zamannya dan bukan zamanmu”. Kemudian saya melanjutkan, “atau pendidik yang menyampaikan teknik pengajaran yang sama/monoton secara berulang-ulang kepada peserta didik”. Bagi saya tindakan demikian adalah salah satu penyakit dalam pengajaran, lazimnya para pendidik yang demikian adalah para pendidik yang mendominasi kelas (teacher-centered) dengan metode pengajaran ceramah sepanjang waktu pelajaran, namun dalam hal ini bukan berarti metode ceramah tidak baik, metode ceramah bisa diadopsi sesuai dengan materi pengajaran, tidak semua materi pengajaran cocok disampaikan dengan metode ceramah apalagi disampaikan selama waktu pelajaran penuh. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana capeknya pendidik jika menggunakan pendekatan ceramah. 

Perilaku guru yang mendominasi kelas hanya menciptakan suasana pembelajaran yang tidak nyaman bagi peserta didik, ketika peserta didik berada dalam kondisi tidak nyaman, hal tersebut menjadi pertanda bahwa tujuan pembelajaran relatif gagal, dimana seharusnya peserta didik dapat menguasai materi pengajaran sebagaimana tertera dalam kompetensi dasar ataupun dalam indikator kompetensi dasar yang telah dibuat dan ditetapkan. Jika terjadi demikian, bagaimana pendidik dapat melakukan penilaian secara otentik kepada peserta didik?

Didalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Lantas bagaimana peserta didik dapat mengembangkan potensinya apabila suasana pengajaran didominasi oleh pendidik? Jawabannya, peserta didik tidak dapat mengembangkan potensi terbesarnya apabila kelas didominasi oleh guru. Fungsi dan tujuan pendidikan mengamanatkan sekaligus menegaskan bahwa pembelajaran ideal adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered), dimana peserta didik yang mendominasi kelas sehingga setiap potensi dari mereka dapat berkembang, sementara fungsi dan tugas guru adalah membimbing sekaligus sebagai fasilitator. Saya meyakini betul, jika pendidik mampu menjadi, pembimbing sekaligus fasilitator didalam kelas, maka tidak akan lagi kita temukan para pendidik yang menegang urat lehernya karena setiap hari menyeramahi siswa.

Keadaan Memaksa Kita untuk Inovatif

Pandemi covid 19 telah mengubah cara-cara pendidik dalam melakukan aktivitas pengajaran, pengajaran yang umumnya dilakukan secara tatap muka nyaris nihil dilaksanakan selama pandemi, mungkin di beberapa sekolah atau lembaga pendidikan tetap dilakukan secara tatap muka namun terbatas dan sembunyi-sembunyi, namun secara umum pengajaran secara tatap muka tidak diperbolehkan, lembaga-lembaga pendidikan hening tanpa suara riuh peserta didik ketika di halaman sekolah menjelang masuk kelas, waktu istirahat, ataupun ketika pulang sekolah, juga suara nyaring para pendidik yang terdengar sampai tembok rumah tetangga. Beberapa orang mendramatisir “sekolah sepi bak kota mati”. Sebagai gantinya pengajaran dilakukan secara daring,  tidak ada lagi tatap muka, sekalipun bisa tatap muka, tatap muka hanya dilakukan melalui layar ponsel, komputer ataupun laptop.

Tidak sedikit para pendidik yang mengalami culture shock, sekaligus kebingungan menghadapi pengajaran yang berubah secara drastis tanpa melalui proses transisi terlebih dahulu. Namun bagi beberapa lembaga pendidikan yang sudah mengadopsi pembelajaran digital, mereka jauh lebih siap menghadapi kondisi seperti ini. Akhirnya pendidik dipaksa untuk mengikuti sekaligus mengadopsi teknologi kebaruan dalam pengajaran. Ditengah-tengah keterbatasan, berbagai macam lokakarya ditawarkan agar pendidik memahami, mengikuti, dan dapat mengadopsi dengan segera beragam teknologi pengajaran berbasis digital untuk kemudian dipraktikkan dalam kelas daring.

Adopsi digital yang luar biasa cepat dilakukan oleh pendidik sekaligus mematahkan teori Rogers mengenai difusi inovasi (1964), dimana menurut Rogers kecepatan adopsi digambarkan dalam kurva berbentuk S, namun dalam suasana pandemi kecepatan adopsi teknologi digital dalam pengajaran tidak lagi seperti kurva berbentuk S, namun dalam kurva horizontal pada tingkat adopsi teknologi digital yang maksimum dalam waktu yang begitu cepat. Para pendidik yang lazimnya menggunakan ponsel untuk berkomunikasi atau berselancar di dunia maya. Kini, menggunakan ponsel untuk melakukan aktivitas pengajaran. Dari mulai pra pengajaran, seperti mempersiapkan media pembelajaran sampai akhir kegiatan pengajaran yang dilakukan menggunakan aplikasi pembelajaran. Sekalipun kepayahan luar biasa dialami para pendidik kita, namun disaat yang bersamaan mereka telah menjadi pengguna inovasi pendidikan berbasis teknologi digital.

Melihat secara faktual, para pendidik yang kini menggunakan teknologi digital dalam pengajaran. Saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu pernah ditanya, “menurut bapak seperti apa sekolah yang terbaik itu”, saya jawab, “sekolah yang memiliki banyak ekstrakurikuler sehingga peserta didik mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya diluar jam pelajaran dan sekolah yang memberikan kesempatan kepada pendidiknya untuk dapat mengupgrade diri, apakah melalui workshop atau hal lainnya”. Tentu saja jawaban ini adalah tanggapan saya secara pribadi, bisa jadi berbeda dengan yang lain, namun setidaknya berdasarkan pengalaman saya sebagai orang tua ketika memilihkan sekolah bagi anak-anak, saya menetapkan 2 hal tersebut dan juga pengalaman saya sebagai pendidik. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pendidik, workshop atau kegiatan-kegiatan lainnya yang diikuti dapat mendorong pendidik untuk meningkatan keahlian mengajarnya. Bagi saya bukan hanya peserta didik yang menjadi pembelajar, namun juga berlaku bagi pendidik, pendidik adalah pembelajar sepanjang hayat, dan inovasi telah mendorong setiap orang untuk menjadi pembelajar.

Pendidikan Digital menjangkau Semua Kalangan

Hal menarik lainnya, sekaligus menjadi keunggulan dari pendidikan berbasis teknologi digital adalah “fakta” bahwa pendidikan tersebut dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan “seharusnya” bisa menjadi magnet untuk menghadirkan pendidikan berbiaya murah namun berkualitas. Coba bayangkan, pembelajaran bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, tidak perlu ongkos, dan tetek bengek lainnya yang lazim melekat pada pendidikan konvensional. Cukup memiliki gawai, maka proses pendidikan dapat dilaksanakan sehingga tidak boleh ada lagi alasan peserta didik tidak bisa mengakses pendidikan karena alasan jarak atau biaya. Lantas bagaimana dengan kendala dengan sinyal dan lainnya? yakinlah bahwa urusan penyediaan teknologi adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah bagi warganya.

Akhirnya, ketika pendidik menyadari dirinya adalah pembelajar sepanjang hayat. Pun, tersedianya pendidikan yang dapat menjangkau semua lapisan. Saya meyakini kita tengah Recover Together, Recover Stronger.