TERIMA KASIH PANDEMI, KARENAMU AKU BISA MENGHARGAI SESAMAKU

TERIMA KASIH PANDEMI, KARENAMU AKU BISA MENGHARGAI SESAMAKU

Terima kasih Pandemi, Karenamu Aku Bisa Menghargai Sesamaku

Persahabatan | Unsplash (https://unsplash.com/photos/xCU7nCMNfI8?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink)

 

Tampaknya kita semua sudah terbiasa dengan Pandemi Covid-19. Pandemi yang muncul kurang lebih dua tahun lalu, telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Di awal pandemi, saya yang adalah seorang mahasiswa merasa agak senang karena kuliah dilakukan secara online. Tidak perlu ribet untuk persiapan pergi ke kampus; bahkan ketika ada kelas, saya dapat menyambi dengan berbagai hal lain. Selain itu, saya yang termasuk golongan orang introvert, mendapat lebih banyak waktu untuk sendiri, berkutat dengan diri sendiri dan hobi-hobi saya. Saya bisa menikmati hari-hari saya, bermalas-malasan, dan melakukan berbagai hal yang saya suka, berselancar di berbagai platform media sosial, dan tentunya scrolling TikTok.

Namun lambat laun, karena terlalu sering tenggelam ke dalam kesendirian, saya mulai merasa bosan dan sepi. Menginjak tahun 2021 ada beberapa keseruan dan kenangan yang saya rindukan dari masa sebelum pandemi. Kebersamaan dengan teman-teman seangkatan, berkumpul dengan keluarga di momen-momen liburan, dan bahkan pemandangan di  jalan-jalan kota yang ramai, melihat berbagai ekspresi orang di sana. Mulai dari sinilah saya mulai merasakan ada sesuatu perubahan dalam cara manusia berelasi dengan sesamanya. Akhirnya, hari-hari saya mulai dipenuhi oleh permenungan tentang apa dan bagaimana jati diri manusia – termasuk saya sendiri – sebagai seorang pribadi, sebagai seorang yang berelasi, dan sebagai orang yang hidup bermasyarakat. Permenungan saya bukanlah tanpa dasar, karena pada dasarnya saya sedikit mengemari ilmu filsafat, maka agaknya permenungan saya juga akan dipengaruhi oleh berbagai pemikiran tokoh-tokoh filsafat yang pernah saya baca.

Solidaritas | Pixabay (https://pixabay.com/images/id-4788167/)

 

Menemukan “Aku” Sebagai Seorang Pribadi

Permenungan saya dimulai dari permenungan menemukan jati diri saya sebagai seorang pribadi. Setiap manusia adalah pribadi yang menyadari dirinya sebagai “Aku” Kesadaran ini membuat setiap manusia mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Johann Gottlieb Fichte adalah seorang filsuf Jerman yang mempertanyakan mengenai kesadaran atau keyakinan tentang dirinya sendiri. Bagi Fitchte kesadaran tentang aku tidak hanya berhenti pada ranah pengetahuan tentang siapakah aku, tentang bagaimana bentuk fisik, hobi, jenis kelamin dan sebagainya. Kesadaran tentang “Aku” selalu identik dengan “tindakanku”. Jadi kesadaran tentang “Aku” adalah tentang “eksistensiku” (keberadaan) berserta dengan “tindakanku”. Misalnya seorang kepala daerah mengetahui bahwa dia adalah seorang pemimpin masyarakat, namun kesadarannya sebagai seorang kepala daerah akan tampak ketika ia menjadi pemimpin yang baik, yang bekerja keras untuk kesejahteraan masyarakatnya, sehingga ia memang layak disebut seorang kepala daerah. Maka ketika seseorang mengetahui jati dirinya yang sebenarnya, akan bertindak sesuai dengan kesadaran yang dimiliki.

Secara khusus saya sendiri. Ketika saya merenungkan siapa diri saya sendiri, ada beberapa kesadaran yang muncul. Namun kesadaran yang paling kuat adalah bahwa saya sebagai manusia memerlukan orang lain untuk hidup. Saya selalu memerlukan orang lain, paling tidak untuk berelasi dengan keluarga dan teman-teman saya, bertegur sapa, dan berdinamika dengan mereka. Lalu, pertanyaan selanjutnya yang muncul, “Apakah saya sudah mau dan mampu untuk membuka diri untuk berelasi dan membantu sesama saya?” 

 

“Aku” Selalu Berelasi dengan “Sesamaku”

Kesadaran saya selanjutnya adalah mengenai bagaimana saya sebagai seorang pribadi senantiasa berelasi dengan orang lain. Ortega y Gasset mengatakan bahwa setiap manusia adalah pribadi “aku yang belum penuh”. “Aku yang belum penuh” hendak mengambarkan bahwa setiap manusia secara alami memerlukan orang lain untuk memenuhi ruang kosong dalam dirinya, dalam hidupnya, memberikan makna hidup yang lebih indah. Konsep ini sederhana. Misalnya saja pengalaman kita semasa sekolah dipenuhi dengan banyak kenangan bersama dengan teman-teman kita, mengalami berbagai kisah suka dan duka yang berkesan. Kesan inilah yang memberikan warna di kehidupan kita masing-masing. Hidup kita “dijadikan penuh” oleh kehadiran orang lain.

Selama masa pandemi tentu saja relasi antar manusia berubah. Relasi secara virtual menjadi solusi agar relasi antar manusia tetap terjamin. Tetapi, saya merasakan bahwa relasi secara virtual tidak pernah bisa menggantikan relasi secara real. Saya merindukan relasi secara nyata, relasi yang menyertakan sentuhan, pelukan, ekspresi wajah, dan tatapan hangat. Di sinilah saya menyadari bahwa waktu-waktu saya bersama dengan orang lain begitu berharga. Orang lain memberikan makna dalam kehidupan saya.

Kebersamaan Manusia | Unsplash (https://unsplash.com/photos/Cecb0_8Hx-o?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink)

 

Masyarakat: Relasi Aku dan Sesamaku dalam Sebuah Solidaritas

Kesadaran saya mengenai keberadaan orang lain, membuat saya merenungkan kembali bagaimana relasiku dengan masyarakat di tempat saya tinggal. Kebersamaan saya dengan orang lain terlihat jelas dalam sebuah masyarakat. Masyarakat pun terbentuk untuk suatu visi, yakni menciptakan suatu kesejahteraan bersama. Dalam visi inilah solidaritas diperlukan. Solidaritas mencerminkan bahwa di setiap masyarakat ada suatu sikap empati, peduli, percaya, menghargai, tolong menolong, dan bersedia menjadi sahabat bagi sesama anggota masyarakat.

Secara tidak langsung pandemi ini telah membentuk rasa solidaritas saya – dan saya kira juga setiap Anda – sebagai seorang anggota masyarakat. Kita secara bersama berdoa untuk keselamatan orang lain, kita menaati protokol kesehatan untuk diri kita dan orang lain, kita saling menguatkan, kita memberikan donasi, kita memberikan dukungan kepada tenaga kesehatan dan medis. Itu semua kita lakukan karena kita memiliki di dalam diri kita sebuah rasa untuk solider dengan sesama kita.

 

Epilog: Terima Kasih Pandemi Covid-19

Akhir kata saya hendak mengucapkan terima kasih pada Pandemi Covid-19. Ucapan ini bukan suatu harapan agar terjadi musibah serupa, namun lebih karena saya bisa belajar memaknai kehidupan. Pandemi telah merenggut bentuk relasi manusia, namun sekaligus mengajarkan bahwa relasi dan kebersamaan kita sebagai sebuah keluarga, komunitas, dan masyarakat begitu berharga. Pandemi mengajarkan saya bahwa saya hidup bersama dengan orang lain. Masyarakat adalah rumah saya, di mana saya merasakan kasih dari orang lain, bahkan yang tidak saya kenal.

Ketika pandemi ini berakhir nantinya, saya sungguh ditantang untuk lebih bisa menghargai keberadaan orang lain, bahkan orang yang disingkirkan oleh masyarakat. Sebagai sesama manusia, saya ditantang untuk mampu memanusiakan manusia lain, bahkan yang sudah tidak dimanusiakan oleh masyarakatnya. Sebab saya menyadari jati diri saya, yakni menjadi sahabat bagi orang lain.