Mobil Listrik dan Solusi Dekarbonsasi

Mobil Listrik dan Solusi Dekarbonsasi

seperti diciptakannya teknologi kendaraan listrik berenergi baterai.

Ilustrasi Polusi Udara Akibat Asap Kendaraan: Drivespark.com

#SobatHebatIndonesiaBaik#JadiKontributorJadiInspirator#BerbagiMenginspirasi#SohIBBerkompetisiArtikel

Saat ini kita dihadapkan pada kondisi krisis iklim secara global dan ini menjadi pemabahan yang serius di seluruh dunia. Pasalnya, perubahan iklim menempati posisi paling atas penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, krisis energi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga runtuhnya ekosistem.

Mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan menjadi salah satu langkah untuk menekan perubahan iklim dan acaman krisis energi yang akan terjadi di semua negara termasuk Indonesia. Sementara sampai saat ini di Indonesia penggunaan komposisi energi fosil masih mendominasi salah satunya untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Penggunaan energi fosil ini mengakibtakan kerusakan lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air, kerusakan tanah dan lain sebagainya.

Namun kondisi demikian selalu berbenturan dengan realitas dan kebutuhan manusai. Di era modern kebutuhan akan kendaraan bermotor semakin meningkat. Manusia saat ini hidup dikejar oleh kecepatan, efektivitas dan efisiensi hingga mayoritas orang-orang memiliki kendaraan pribadi sebagai fasilitasnya. Disisi yang lain, kendaraan bermotor yang kita pakai secara pribadi atau umum telah meninggalkan jejak karbon yang menyebabkan pecemaran udara.

Setiap hari kita berbaur dengan udara yang tercemar oleh Nitrogen Oksida (NO atau NOx) dan Karbondioksida (CO2), zat yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Polusi udara karena emisi karbon ini telah lama menjadi polemik karena menyebabakan kenaikan suhu bumi, pemanasan golbal, menganggu ekosistem lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.

Selama ini kebutuhan bahan bakar kendaraan bermotor masih bergantung terhadap energi fosil. Dimana kedua hal tersebut sama-sama berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Sementara itu, kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan hidup manusia modern untuk menunjang efektivitas, efisiensi dan kecepatan. Kebutuhan akan permintaan yang terus meningkat, sementara ketersediaan bahan baku, keadaan lingkungan hingga resiko tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor inilah yang mendasari kita untuk mencari alternatif lain.

Wujud Hyundai Ioniq yang dites oleh tim detikOto Foto: Grandyos Zafna

Sebagai langkah untuk menghadapi ancaman ini, para ilmuan menciptakan berbagai teknologi terbarukan untuk memerangi perubahan iklim dan mengatasi krisis energi, seperti diciptakannya teknologi kendaraan listrik berenergi baterai. Beberapa negara di Erpoa seperti Prancis, Norwegia, dan Inggris sudah beralih meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil dan berencana untuk melarang mobil yang berbahan bakar fosil sebelum 2050.

Melasir dari kumparan.com (30/08/21), setiap satu dari sembilan mobil baru yang diproduksi di Eropa adalah mobil rendah emisi berbasis listrik atau hibrida dengan peningkatan penjualan sebesar 3,5 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu, peningkatan penjualan mobil listrik di benua itu telah berkontribusi terhadap penurunan rata-rata emisi Co2 sebesar 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya dari total mobil baru yang dijual.

Pemerintah Indonesia juga telah mendorong upaya menekan perubahan iklim dan krisis energi dengan menerbitkan regulasi penggunaan kendaraan listrik yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV) untuk Transportasi Jalan.

Melalui gelaran Presidensi G20 Indonesia 2022, mempromosikan teknologi transportasi listrik Electric Vehicle (EV) seperti mobil listrik bermerek Hyundai jenis Genesis G80. Mobil ini digadang-gadang akan segera menjadi mobil resmi KTT G20 yang akan disahkan pada bulan November di Bali kelak.

Pemerintah juga menargetkan produksi BEV pada tahun 2030 dapat mencapai 600 ribu unit untuk roda empat atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda dua. Produksi kendaraan listrik diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda empat atau lebih dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda dua.

Melansir dari katadata.co.id (22/11/21), berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mobil listrik murni (EV) menghasilkan 0 gram/km emisi CO2. Sementara mobil konvensional berbahan bakar bensin yang menyumbang 125 gram/km emisi CO2.

Sedangkan menurut Executive Vice President Engineering Technology PLN Zainal Arifin, mobil berbahan bakar fosil menghasilkan 4,1 ton emisi CO2 per 19 ribu km. Sementara dengan beralih ke mobil listrik, emisi CO2 dari sektor transportasi akan turun menjadi 1,3 ton emisi CO2 yang bersumber dari pembangkit listrik dari batu bara.

Penggunaan mobil listrik dinilai menjadi alternatif atas pencemaran lingkungan. Namun apakah ini akan benar benar berhasil?

Paradigma Ekosentrisme

Aktivitas alat berat dan armada angkutan material galian C di kawasan hutan Baitussalam, Aceh Besar, Aceh, Selasa (14/7/2020). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan kawasan hutan dan alam di proviinsi paling ujung barat pulau Sumatera itu mengalami kerusakan akibat galian bebatuan, pembukaan lahan perkebunan, serta ilegal logging ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

 

 Jika melihat dari data sebelumnya, sepuluh tahun ke depan jumlah kebutuhan kendaraan listrik akan meningkat dan terus meningkat. Sementara kendaraan listrik berbasis baterai ini menggunakan bahan dasar nikel. Artinya akan banyak kebutuhan nikel yang kita ambil dari pertambangan untuk produksi baterai.

Untuk mendapatkan nikel kita akan banyak membuka lahan tambang, penggalian tanah, hingga pemrosesan dari bahan mentah menjadi bahan yang siap untuk diolah menjadi baterai mobil. Dan hal ini juga memiliki resiko terhadap kerusakan alam.

Untuk meminilasir resiko ancaman krisis energi dan pengurangan emisi karbon, alternatif ini juga perlu dibarengi dengan pengelolaan sumber daya alam. Memanfaatkan sumber daya alam nikel sesuai kebutuhan dan secara sehat agar tidak berdampak pada kerusakan alam ataupun sosial lebih lanjut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya emisi dan Global Warming yakni aforestasi atau penanaman tanaman hutan pada lahan yang sebelumnya bukan merupakan hutan. Dengan ini diharapakan dapat meminimalkan kadar CO2 pada udara. Serta penurunan suhu bumi akitan paparan rumah kaca.

Kita perlu memiliki paradigma baru yang lebih komperhensif yakni melihat segala sesuatu merupakan bagian dari alam termasuk manusia. Pasalnya, etika tradisional yang cenderung lebih antroposentris, manusia menjadi tolak ukur satu-satunya membuat keadaan alam tidak seimbang.

Selama ini memang kita dikejar untuk memenuhi kebutuhan manusia seperti pangan, sandang dan papan serta kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier lainnya. Namun bukan berarti segala sesuatu boleh dimanfaatkan dan dilakukan asalkan kebutuhan manusia terpenuhi. Kita juga memelurkan pertimbangan aspek fungsional, etika dan estetika dari lingkungan hidup lainnya.

Manusia adalah makhluk tertinggi dalam mengambil sebuah keputusan. Jadi manusialah yang menjadi kunci dalam menjaga kelestarian alam itu sendiri. Ketika alam rusak manusia juga akan rusak, karena kita adalah bagian dari alam.