Mereformasi Image Pustakawan Perguruan Tinggi di Era Digital

Mereformasi Image Pustakawan Perguruan Tinggi di Era Digital

Pustakawan Universitas Andalas

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Ketika menekuni perkuliahan Ilmu Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara, dosen saya yang bernama Margriet Mandagie pernah bercerita di ruang kuliah bahwa perpustakaan dahulu adalah tempat buangan atau hukuman bagi pegawai administrasi yang indisipliner. Beliau juga menggambarkan sosok pustakawan seperti seseorang yang memakai kaca mata tebal yang berada dibalik tumpukan buku yang berdebu. Didalam gambaran saya, pustakawan lebih mirip dengan seorang nerd yang memakai kaca mata tebal, kutu buku, berpakaian norak dan busananya tidak mengikuti trend terbaru.

Pada kesempatan lain ketika saya berkuliah di Universitas Padjadjaran, Agus Rusmana yang merupakan dosen favorit mahasiswa menjelaskan bahwa pustakawan itu sebaiknya seperti direktur sebuah perusahaan yang memakai jas, dasi dan menenteng tas presiden. Bagi beliau imej seperti itu yang membuat pustakawan menjadi orang yang professional dalam bidangnya sehingga tidak dipandang rendah oleh orang lain.

            Berangkat dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bahwa imej pustakawan memiliki kesan negatif di masa lampau. Imej secara definisi bermakna gambaran tentang sesuatu yang berwujud benda. Gambaran pustakawan yang negatif tetap ada disekitar kita. Terlebih lagi di Perpustakaan Perguruan Tinggi.

Misalnya, ketika melayani pemustaka yang meminjam atau mengembalikan koleksi perpustakaan. Kita mengetahui bahwa ada beberapa pemustaka yang tidak berasal dari tempat domisili kita. Akan tetapi dalam komunikasi dengan mereka, tak jarang kita menggunakan bahasa daerah sehingga imej yang muncul dari pemustaka bahwa kita dianggap sebagai “kampungan” , “kupen” (kurang pendidikan) atau tak pandai berbahasa Indonesia. Sebenarnya kita tak perlu malu berbahasa Indonesia menggunakan logat Minang. Yang penting kita memiliki kemauan untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dalam pengucapan agak “belepotan”.

Lawan bicara tetap menghargai ketidakfasihan kita dalam berbahasa. Ketika Musliar Kasim masih menjabat Rektor Universitas Andalas disaat acara wirid jumat, pernah mengatakan bahwa kita jangan membawa “bahasa kampung” kita disini (baca : kantor) karena tak semua orang Minang yang berkuliah disini. Memang benar apa yang disampaikan beliau, namun rekan sejawat pustakawan masih belum “mengikhlaskan” hatinya untuk menerima sumbang saran tersebut.

Imej lain yang mengandung citra negatif terkait dengan penggunaan teknologi informasi. Di era digital, jejaring sosial tumbuh laksana jamur di musim hujan. Mulai dari Friendster, Facebook sampai Tweeter. Dalam hal ini, pustakawan hanya memanfaatkan jejaring sosial untuk mencari teman lama dan teman baru.

Jejaring sosial sangat jarang dimanfaatkan oleh pustakawan untuk mengirim pesanan kepada pemustaka yang membutuhkan artikel ilmiah untuk keperluan risetnya. Kebanyakan pustakawan hanya memanfaatkan e-mail untuk mengirim artikel kepada pemustaka. Padahal pemustaka lebih senang artikel yang dibutuhkan dikirimkan melalui facebook.

Pemustaka dapat memberikan masukan kepada pustakawan secara tulisan tentang sesuai atau tidaknya artikel yang dipesan terkait risetnya. Jika pemustaka mengetahui bahwa pustakawan hanya memanfaatkan facebook sekedar untuk chatting belaka maka itu “biasa” tapi akan sangat “luar biasa” kalau dimanfaatkan untuk mengirim artikel yang dibutuhkan pemustaka. 

Agar imej pustakawan perguruan tinggi menjadi lebih baik sebaiknya pustakawan perlu “mereformasi” dirinya. Perubahan imej hanya dapat dilakukan dengan penyadaran diri. Tanpa adanya penyadaran diri maka mustahil imej pustakawan dapat berubah. Reformasi yang urgen dilakukan berkaitan dengan lingua franca yang wajib kita gunakan dalam pelayanan informasi yaitu bahasa Indonesia.

Di samping itu tidak ada salahnya pustakawan perguruan tinggi belajar mengenai hal terbaru terkait teknologi informasi. Memahami teknologi informasi adalah metode yang up-to-date dalam “mereduksi” virus gagap teknologi yang senantiasa “menginfeksi” pustakawan perguruan tinggi. Intinya, life long learning (pendidikan sepanjang hayat) tak hanya sekedar menjadi kata tanpa kenyataan.