Mengelola Sumber Daya Air Tak Semudah Menuang Air Galon

Mengelola Sumber Daya Air Tak Semudah Menuang Air Galon

Daerah Irigasi (DI) Baka Dompu, Lombok, NTB

#SobatHebatIndonesiaBaik
#JadiKontributorJadiInspirator
#BerbagiMenginspirasi
#SohIBBerkompetisiArtikel

Banyak yang membayangkan mengelola sumber daya air untuk kebutuhan air minum, irigasi, peternakan, perikanan, industri dan jasa semudah membagi air galon untuk membuat kopi. Tidak sesederhana itu bestie. Banyak faktor harus dipertimbangkan. Ada kebutuhan para pengguna air yang beragam, budaya turun temurun, pencemaran, sampah sungai, sedimen waduk, hilangnya daerah tangkapan air di hulu dan tentu saja ketersediaan air. Bagaimana jika ketersediaan air tidak cukup?

Pulau Lombok di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah salah satu contoh terbaik pengelolaan air di Indonesia. Kebutuhan air di pulau Lombok mencapai 4,4 miliar meter kubik pertahun. Prediksi ketersedian air di pulau Lombok tahun 2020-2021 berada di kisaran 2,5 miliar kubik. Jumlah itu sudah dikurangi beberapa pengurang seperti hujan yang turun di muara dan DAS efektif. Ada selisih besar antara ketersediaan dan kebutuhan air.

Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara Satu (BWS NT I) sebagai institusi yang diamanahi tanggung jawab mengelola air, mengambil pendekatan terbaik untuk melakukan alokasi air. Mereka mengelola ketersedian dan kebutuhan air sekaligus. Salah satunya dengan pengaturan alokasi air berdasarkan ketersediaan air juga pengaturan pola tanam.

Integrated Water Recourses Management (IWRM) merupakan filosofi utama pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan air terpadu harus memperhitungkan efectivity, equity dan sustainabilty untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup.

Pengelolaan sumber daya air diterapkan karena sumber daya semakin terbatas sementara kebutuhan cenderung mengalami peningkatan. Tidak hanya irigasi pertanian sebagai pengguna air terbesar, tetapi juga rumah tangga dan industri.

Ada yang kemudian berpendapat bahwa IWRM merupakan konsepsi ideal yang sulit diterapkan karena membutuhkan seperangkat keadaan ideal yang tidak dijumpai dalam kenyataan. Ada banyak faktor penghambat, misalnya tipisnya koordinasi antar instansi atau lembaga, budaya masyarakat yang individualistik, infrastuktur yang tidak memadai sampai SDM yang tidak kompeten.

Alih-alih berhenti karena banyaknya persoalan, diskursus tentang IWRM terus dimatangkan. Untuk mencapai kondisi ideal IWRM ini diperlukan sebuah assesment situasi dan kondisi sehingga memunculkan diagnosa persoalan apa saja yang harus diatasi. Untuk memudahkan perhitungan dalam assesment dibuat sebuah tool yang dinamakan Smart Water Management (SWM).

“SWM merupakan alat bantu untuk mengimplementasikan atau mencapai Integrated Water Recourses Management (IWRM),” terang Hendra Ahyadi, Kepala BWS NT I.
Salah satu ilustrasi penerapan SWM misalnya pemetaan wilayah sungai. SWM tidak hanya mencatat curah hujan atau debet air sungai saja melainkan segala aspek terkait pengelolaan air yang berkelanjutan.

High Level Divertion (HLD)

HLD Jurang Sate
High Level Divertion (HLD) di Daerah Irigasi (DI) Jurang Sate, Lombok, NTB

Pulau Lombok memiliki sistem transfer air irigasi bernama interkoneksi nama lainnya high level diversion (HLD). Tujuannya menyuplai air dari wilayah basah ke wilayah kering. Setiap sungai merupakan saluran irigasi alami. Namun dalam prakteknya sistem interkoneksi belum dapat mendistribusikan air dengan pemerataan optimal.

Berbagai upaya telah dilakukan, baik dengan membentuk Water Trip Control (WTC), Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA), Dewan Sumber Daya Air, Komisi Irigasi (Komir) Provinsi/Kabupaten dan Forum Komunikasi DAS. Namun belum sepenuhnya berhasil mengatasi permasalahan klasik yaitu keadilan air untuk semua.

Galuh Rizqi Novelia dari Unit Alokasi Air BWS NT I menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah perbedaan pendekatan dalam alokasi air di lapangan. Unit Alokasi Air memberikan jadwal pembagian air real time dengan memperhitungan kondisi hidrologis, kondisi hujan beberapa hari ke depan, kondisi cuaca ekstrem dan prediksi ketersediaan air. Sesudah memperhitungkan banyak variabel, perhitungan dilakukan untuk menentukan distribusi air yang paling mungkin untuk dilakukan. Tentu saja berdasarkan prinsip keadilan alokasi air.

“Di lapangan, user (petani) menerapkan metode pembagian air tradisional berpatokan pada keputusan alokasi yang diteken pemerintah daerah beberapa dekade lalu. Pembagian air tidak dapat dilakukan tanpa melihat ketersediaan airnya,” ujar Galuh.

Persoalan lain adalah tindakan pengambilan air ilegal di saluran induk. Menurut Surana, pengamat pengairan di NTB, tindakan ilegal tersebut sudah ditanyakan kepada pihak berwenang namun belum ada solusi.

Ada budaya yang masih dipercayai masyarakat petani bahwa penggunaan air secukupnya untuk irigasi tidak akan menjamin kesuksesan bertani. Materialisasi budaya sebagai karakteristik utama modernitas melahirkan mental meminta air lebih banyak sebagai naluri utama saat pembagian air dilakukan. Individualisasi seperti ini mengabaikan pijakan nilai luhur tentang keadilan.

Munculnya individualisasi merupakan akibat ketidakpercayaan pada institusionalisme dan munculnya subjek rasional modern. Manusia modern sebagai subjek rasional mengotonomikan diri mereka dari sekat institusi dan karenanya memperjuangkan kuasa individu di atas belenggu sistem. Peningkatan individualisme ini tidak hanya merusak sistem produktif tetapi juga rasa keadilan dan nilai luhur sebuah bangsa yang menegaskan bahwa semua memiliki hak yang sama akan air.

Tanpa melihat persoalan secara menyeluruh tentang ketersediaan dan kebutuhan air yang tidak seimbang, masih terjadi praktik ilegal pengambilan air, pemanfaatan air atau badan air secara kontraproduktif sampai pelanggaran kesepakatan pola tanam.

Pengelolaan SDA berkelanjutan harus dilandasi prinsip untuk menggunakan sumber daya air seefektif mungkin. Semakin tinggi efektivitas, semakin sedikit yang terbuang, sehingga tidak mengakibatkan konflik antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Pengelolaan SDA berkelanjutan ditopang oleh kelanjutan ekologis, ekonomis dan sosial. Selain itu pengelolaan SDA tidak hanya dimanfaatkan saat ini saja tetapi juga harus diwariskan untuk generasi yang akan datang.

Karenanya untuk mematangkan penerapan IWRM diperlukan assesment situasi dan kondisi sehingga memunculkan diagnosa persoalan apa saja yang harus diatasi. Untuk memudahkan perhitungan dalam assesment dibuat tool yakni Smart Water Management (SWM). Anggap saja SWM seperti SAP 2000 (Structure Analysis Program) untuk menghitung struktur atau tulangan dalam pembangunan gedung.

Praktik SWM di sungai tidak hanya mencatat curah hujan atau debet air sungai saja melainkan segala aspek terkait pengelolaan air yang berkelanjutan. SWM tools memetakan wilayah sungai, mencatat debit sungai, luas wilayah tangkapan air, luas daerah bantaran, dst. Ketika terjadi pelanggaran pemanfaatan daerah bantaran sungai, sistem SWM mengirimkan peringatan bahwa ada tindakan yang dapat mengancam keberlangsungan sungai dan dengan cepat diambil tindakan, tidak menunggu bencana mengetuk pintu kita. (sebayudi)

Hasil wawancara dengan Dr. Hendra Ahyadi (Kepala BWS NT I), Surono (Komisi Irigasi NTB) dan Galuh Rizqi Novelia (Unit Alokasi Air BWS NT I).

Foto: Dokumentasi Sisda BWS NT I