Menantang Hoaks Jelang Pemilu dengan Kalimasada: Chatbot Pintar Andalan Karya MAFINDO

Menantang Hoaks Jelang Pemilu dengan Kalimasada:  Chatbot Pintar Andalan Karya MAFINDO

Akses digitalisasi ternyata sudah memberikan ruang bagi ketikan alter ego ‘netizen’ untuk terus memanipulasi berita hoaks (Sumber: iStock)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Bagi pemilih pemula, pengalaman perdana mengikuti pesta demokrasi tentu terasa menarik! Apalagi di tahun 2024, rakyat sedang gahar-gaharnya nih berkampanye tentang masa depan negara di tengah transisi kursi estafet orang nomor satu di negeri ini dengan memanfaatkan segala medium, terutama internet.

Meskipun aksi coblos-coblosan masih belum mulai, akses digitalisasi tanpa disadari ternyata sudah memberikan ruang bagi ketikan alter ego ‘netizen’ untuk terus memanipulasi berita tanpa verifikasi valid yang seharusnya dibuka ke publik dan akhirnya berujung menjadi hoaks.

Lantas, sampai kapan sih manipulasi hoaks ini akan terus ‘menjerat’ pesta demokrasi dalam omong kosongnya? 

Pemilu: Ladang Manipulasi hoaks Politis

Ilustrasi Kota Suara pada Pemilu (Sumber: Unsplash)

Pemilu menjadi momen real di mana hoaks semakin mendominasi ranah politik negeri. Pada April 2022 lalu, Republika mencatat munculnya wacana bohong yang mengklaim adanya penundaan Pemilu 2024 sekaligus masa jabatan Presiden akan diperpanjang hingga tiga periode.

Tidak main-main, hoaks ini mendorong sejumlah massa aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta yang mendesak anggota parlemen untuk menolak wacana tersebut.

Jika dikomparasikan dengan euforia sepanjang Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, hoaks seakan kerap ditunggangi sebagai tameng politikus dalam berkampanye sekaligus medium pertarungan dua kandidat ganas dalam mencuri legalitas takhta pesta demokrasi. 

Pada tahun-tahun tersebut, VICE Indonesia mencatat beberapa bukti manipulasi informasi digital yang tersebar tak terkendali, seperti ketika Presiden Joko Widodo yang dipaksa mengklarifikasi hoaks bahwa dia keturunan PKI yang berniat menjual bangsa ini ke Tiongkok. 

Hingga berbagai kabar burung kejam yang menyetir fakta-fakta sebenarnya dari kasus penistaan agama oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Situasi kompleks yang akhirnya menggiring politikus asal Belitung Timur itu harus mendekam di balik jeruji besi. 

“Proses penyebaran hoaks selalu dimulai dari motif ekonomi dan emosi,” ujar Co-Founder turnbackhoax.id, Aribowo Sasmito kepada VICE Indonesia. 

Menurutnya, mereka yang menyebar hoaks dengan motif ekonomi bisa diasumsikan sebagai pelaku utama di balik ketegangan berita palsu dalam situs digital, sedangkan motif emosi biasa muncul dari korban pemberitaan yang terprovokasi, sehingga mereka turut melakukan publikasi informasi di bawah alam sadar. 

Efek domino ini menciptakan rantai berita bohong yang terus bertransformasi hingga menjadi musuh abadi dari legalitas informasi digital di Indonesia. 

Meskipun banyak pihak yang menyalahkan platform Facebook, Twitter, dan Google sebagai maestro hoaks, Aribowo menegaskan bahwa social media bukanlah sumber dari fenomena histeria massa itu. 

Kurasi konten internet secara besar-besaran oleh pengembang aplikasi, Telkom, maupun Kementerian Komunikasi dan Informasi bahkan diasumsikan tidak akan bisa membantu banyak dalam menantang berita palsu yang telah mengakar kuat dalam persepsi jutaan pengguna.

“Saya pikir hoaks tidak akan pernah hilang, kita hanya bisa mengedukasi masyarakat agar lebih cerdas mengelola suatu berita." 

Literasi Digital yang Belum Optimal

Literasi Digital masih perlu diotimalkan untuk mencegah eksistensi hoaks (Sumber: iStock)

Masifnya pengaruh kekuatan hoaks disebabkan karena Pemerintah Indonesia yang masih belum menanamkan pencerdasan literasi digital sejak dini kepada masyarakat. Hal ini membuat terbentuknya kelompok masyarakat yang terus mengikuti tren transformasi digital, tetapi masih tidak tertarik untuk mempelajari etika literasi dalam berinternet.

“Kelompok ini justru banyak menimbulkan masalah etika digital, sehingga kabar atau informasi yang belum terkonfirmasi menjadi tersebar secara cepat, lagi-lagi dalam bentuk hoaks,” tegas Aribowo

Belajar dari banyak kesalahan sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) sebagai upaya preventif dalam mencegah manipulasi hoaks di ruang digital menjelang Pemilu 2024. 

Selain itu, WhatsApp sebagai aplikasi informatika dengan pengguna terbesar di Indonesia pun turut berkomitmen untuk mencegah penyebaran hoaks dengan memberlakukan fitur pembatasan forward pesan serta berkolaborasi dengan KPU, Bawaslu, dan Kominfo untuk memastikan fakta sekaligus keamanan dari informasi yang beredar jelang kampanye pemilu mendatang.

Memperkenalkan Chatbot Artifisial Anti-hoaks!

WhatsApp berkolaborasi dengan MAFINDO memperkenalkan Kalimasada: chatbot Anti-Hoax perdana di Indonesia (Sumber: Unggahan Twitter MAFINDO)

Sebagai bentuk tindak lanjut dari komitmen ini, WhatsApp menggandeng organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) dalam meluncurkan Kalimasada, sebuah chatbot Anti-hoaks yang dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan guna kurasi fakta real mengenai pemilu. 

Bukan sekadar chatbot biasa, teknologi kecerdasan artifisial Kalimasada bahkan mampu membantu masyarakat dengan menyediakan informasi mengenai periksa hoaks, cek fakta terbaru, sekaligus tips dan trik melawan hoaks.

“Pada umumnya masyarakat Indonesia hanya melihat judul berita yang sensasional dari pesan yang mereka terima. Kemudian, mereka berhenti membaca pesan secara keseluruhan dan langsung meneruskannya ke kontak atau grup WhatsApp yang dimiliki,” tandas Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium MAFINDO.

Maka dari itu, dirinya berharap bahwa eksistensi chatbot pintar ini dapat memberikan cara efisien dan mudah kepada jutaan pengguna WhatsApp di Indonesia untuk memverifikasi informasi yang mereka terima

Mengakses fitur andalan dari Kalimasada ternyata cukup mudah, SohIB! Pertama, simpan terlebih dahulu nomor chatbot MAFINDO di nomor +62 8592 1600 500. 

Kemudian, buka chat room WhatsApp nomor tersebut dan ketik kata sapaan seperti “hai” atau “halo”. Nantinya muncul beberapa opsi, mulai dari periksa hoaks, cek fakta terbaru, serta tips dan trik melawan hoaks. 

Untuk mengecek hoaks, pilih opsi pertama. Kemudian pengguna harus memasukkan keyword yang ingin dicek. Misalnya "pulsa gratis", nantinya pengguna akan diberi sejumlah artikel terkait keyword tersebut.

Menariknya, menurut Septiaji pemeriksaan fakta yang dilakukan bot Kalimasada telah terintegrasi dengan database resmi MAFINDO, berkolaborasi dengan cekfakta.com yang memiliki akses ke 24 media online dan lebih dari 6.000 artikel untuk melakukan pemeriksaan fakta secara lebih akurat dan mudah. 

Tidak hanya cek fakta, masyarakat juga bisa berinteraksi dengan menu-menu yang tersedia di Kalimasada sehingga mampu menghadirkan kesan pengalaman modern yang interaktif dengan pengguna. 

Menantang hoaks jelang pemilu yang telah mengakar dalam realitas digital selama bertahun-tahun memang bukan perkara yang mudah. Maka dari itu, perlu adanya ketegasan bagi seluruh pihak, khususnya masyarakat sebagai pengguna internet dalam menggunakan informasi yang kini mudah diakses secara digital ketika berhadapan dengan triggered issue yang dirasa ‘sensitif’ di mata publik. 

“Pendidikan literasi digital yang ramah bagi generasi muda juga pantas menjadi solusi yang perlu ditanamkan sejak dini oleh Telkom dan Kementerian Komunikasi dan Informasi karena faktanya tidak semua orang dapat dengan mudah memahami bagaimana etika digitalisasi informasi seharusnya direpresentasikan dalam realitas virtual Indonesia,” tambah Aribowo di penghujung obrolan.

Dengan pencerdasan literasi digital, maka hoaks tidak semata-mata mampu memanipulasi kemampuan seseorang dalam memproses informasi yang mereka dapatkan. Siap menantang hoaks bareng Kalimasada?