MEMAKNAI KEBERSAMAAN UNTUK MELAMPAUI GARIS-GARIS IDENTITAS

MEMAKNAI KEBERSAMAAN UNTUK MELAMPAUI GARIS-GARIS IDENTITAS

setiap orang punya kesempatan yang sama, dan berjuang bersama menjadi kuat

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Umur saya 26 tahun 6 bulan 7 hari sampai hari ini (07 Juli 2022), dan saya baru saja menikah. Usia pernikahan saya sudah satu tahun, dan belum memiliki buah hati, belum juga ada tanda-tanda hadirnya bayi ke tengah keluarga kecil saya. Apa alasannya? Karena saya memang belum memprogram kehamilan bersama pasangan saya. Ada begitu banyak alasan saya memutuskan untuk tidak menjadi ibu muda. Meskipun di lingkungan saya, dengan kultur pedesaan, terus mendesak saya untuk segera memiliki buah hati, untuk membuktikan pernikahan saya berhasil. Sebab, salah satu barometer kebahagiaan dan keberhasilan biduk rumah tangga di desa saya adalah, kehadiran seorang bayi. Tetapi sekali lagi, saya masih belum siap untuk menjadi ibu, saya masih merasa muda dengan umur saya yang sebentar lagi memasuki tahun ke 27 di dunia ini. Saya ingin menunjukkan bahwa, untuk menjadi maju dan lebih baik, tidak dibatasi oleh garis alasan apapun, termasuk status pernikahan.

Sejak saya duduk di bangku sekolah sampai lulus perguruan tinggi, saya tidak menyadari sepenuhnya bahwa, saya akan menjadi orang tua kelak. Masa muda saya habis di dalam bangku sekolah dan bangku kuliah, dan akan habis di dalam rumah tangga, mengurusi anak dan suami. Sebagai perwujudan atas keimanan dan budaya patriarkhi yang relative masih sangat kuat di Indonesia. Akan tetapi, pada titik inilah pula, kesadaran saya tumbuh sepenuhnya, secara alami, bahwa saya adalah bagian penerus bangsa ini. Bahwa posisi saya akan sangat menentukan, terhadap semua element kehidupan. Maka betul kemudian bahwa, untuk menumbuhkan kesadaran pada diri seseorang, tidak cukup dengan mencacah teori ini dan itu, tetapi juga butuh moment. Satu situasi yang sangat dekat dengan diri kita. Saya disadar-pahamkan oleh situasi saya setelah menikah, bahwa mengarungi hidup bersama orang tercinta tidak hanya butuh cinta. Bahwa untuk tiba pada kebahagiaan, tidak cukup ditentukan oleh satu keadaaan, tetapi mesti melewati proses dan cobaan.

Apa yang saya rasakan dan pahami, pasti berlaku pula pada bangsa kita secara umum. Bangsa yang sangat besar dan kaya ini, dipukul bertubi-tubi oleh perubahan sosial yang radikal. Gelombang dahsyat keretakan ikatan sosial, dimulai ketika kontestasi elektoral 2019 bersenyawa dengan politik identitas. Polarisasi identitas yang berbau SARA, dijadikan sebagai pelatuk untuk meraih simpati rakyat dan menaikkan rating elektabilitas. Tetapi di sisi yang lain, orang banyak lupa tentang Bhinnike Tunggal Ika dan Pancasila. Semua orang dipaksa untuk berubah untuk saling menjauh oleh kontetasi politik.

Setelah fenomena politik elektoral itu, bangsa kita dihantam oleh ganasnya Corona Virus. Ketika pemerintah mengucapkan peraturan social distancing, sejak saat itu pula kondisi sosial berubah secara drastis dan total. Kita dipaksa untuk beradapatasi dengan situasi dan kondisi yang baru, yang belum pernah terbayangkan samasekali. Keadaan ini membuat habit baru masyarakat, di mana tingkat resiliensi masyarakat menghadapi keadaan baru terasah, untuk menemukan daya lenting yang juga baru. Mulai dari sistem bisnis yang berubah, pendidikan, hingga ke ranah ritual-ritual keagamaan, semua dipaksa berubah oleh Pandemi Covid-19. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang tidak adaptif dengan Covid-19. Perusahaan dan bisnis banyak yang jatuh, PHK menambah pilu kondisi ekonomi di tengah krisis kesehatan. Bahkan suasan bathin masyarakatpun, dibatasi untuk menggali cahaya kedamaian spiritual dari ritual-ritual keagamaan. Covid-19 memaksa manusia Indonesia untuk melompat pada krisis multidimensional.

                                    Social Distancing ǀ berita (smpyodarci.sch.id)

Dua situasi sosial ini, politik dan pandemi, memaksa kita untuk tidak saling berpegang tangan. Berjabat tangan berarti sama halnya mengundang bahaya. Dalam politik, berjabat tangan berbahaya karena bersepakat dengan kedzaliman, menggadaikan iman, dan lain sebagainya, karena isu-isu SARA yang dikapitalisasi ke dalam politik oleh segelintir orang. Sehingga orang dipaksa untuk saling menjauh satu sama lain, untuk menegaskan iman dan identitas masing-masing diri. Sementara Covid-19, berjabat tangan berarti mempermudah rantai penularan Virus Corona yang mematikan. Dua situasi yang berbeda ini, memiliki dua termin yang sama yakni, memaksa manusia Indonesia untuk saling tidak bertemu dan menjauh, untuk tidak bersama-sama dan kemudian jatuh-lemah.

Dua keadaan ini, merupakan moment yang sangat dekat dengan diri masing-masing, dan cukup untuk dijadikan sebuah pelajaran di masa depan. Agar tidak terjebak pada situasi yang sama mengerikannya. Saya dan suami saya belajar, untuk tidak saling berdebat di atas tempat tidur karena soal politik. Biar kehangatan berkeluarga tidak direcoki oleh politik culas, yang memecah-mecahkan harmoni sekaligus romantisme bagi keluarga saya. Dari Covid-19 kita belajar, bahwa mendekat lebih hangat daripada saling menjauh.

Dinamika politik elektoral 2019 dan Covid-19, setelah menjadi gejolak yang menjauhkan manusia Indonesia, sekarang sudah saatnya “duo 19” ini, menjadi gelombang yang mengantarkan manusia Indonesia pada kebersatupaduan, untuk menuju kebahagiaan bersama. Dua situasi ini, menumbuhkan perspektif baru manusia Indonesia, terutama anak muda. Situasi yang berubah drastis akibat dua term ini, mengantarkan anak muda beranjak sadar bahwa, politik tidak boleh mengangkangi kebhinnekaan, keyakinan dan identitas tidak boleh ditegaskan oleh diskriminasi. Maka dari itu, dalam menyongsong masa depan anak muda Indonesia, telah ditempa oleh latar belakang sosial yang demikian kompleks.

Saya yakin bahwa, Covid-19 mendorong anak muda, memiliki perspektif baru tentang arah masa depan, karena ini terjadi pada diri saya. Ada perubahan signifikan terjadi pada saya, dan juga kalangan muda Indonesia, di dalam melihat peluang. Krisis multidimensional yang diakibatkan oleh Covid-19, memantik kesadaran anak muda untuk melakukan proyeksi-proyeksi kreatif yang bersandar pada kekuatan teknologi. Saya adalah perempuan yang sangat tertarik dengan dunia politik, bahkan saya merasa tidak ada energi bisnis di dalam diri saya. Akan tetapi kemudian, kesulitan yang diakibatkan oleh Covid-19, menyadarkan saya bahwa untuk bangkit dari keadaan ini perlu kerja-kerja ekonomi selain politik. Sehingga tidak membebani neraca negara dengan kesulitan yang bisa dihadapi masing-masing individu.

                                   Bisnis baru, trading saham ǀ Berita (harapanrakyat.com)

Covid-19 menempa anak muda untuk mengoptimalkan potensi dan peluang-peluang yang ada sekecil apapun. Sebelumnya, saya tidak pernah mengetahui apa itu bisnis berjangka, apa itu istilah trading dan pernak-perniknya. Tetapi Covid-19, membangun kebiasaan baru yakni, untuk mengetahui dan mencoba hal baru. Covid-19 sekaligus, memperkenalkan peluang-peluang baru yang sebelumnya samasekali tidak dekat dengan kita. Pada moment krisis ini kita pada dasarnya diberi kekayaan: kebiasaan baru untuk mencoba hal baru, dan; peluang-peluang baru. Dua komponen yang diciptakan untuk bersatu-padu menjadi sebuah kekuatan. Ketika Covid-19 berada di puncak terdahsyatnya tahun 2021 di Indonesia, ada fenomena baru di kalangan anak muda Indonesia, yaitu fenomena maraknya investasi, trading di berbagai platform. Meskipun, ada beberapa kasus ‘investasi bodong’ yang menunjukkan ketidaksiapan masyarakat di wilayah ini, akan tetapi yang paling penting adalah bahwa, masyarakat mulai membangun jalan baru. Jalan yang boleh disebut sebagai bentuk adaptasi atas situasi mencekam yang dihadapi, daya lenting yang mulai digunakan meskipun masih sangat terbatas. Fenomena ini merupakan menifestasi dari kebiasaan baru masyarakat, sekaligus bentuk kemampuan masyarakat untuk menggali peluang baru.

Terlihat tahun ini, Presidensi G20 yang diselenggarakan di Indonesia, akan menjadi jalan baru bagi anak muda Indonesia untuk mengambil peran signifikan, baik di tingkat regional ataupun di level internasional. G20 yang diproyeksikan untuk merespon krisis finansial secara global, menjadi momentum yang tepat bagi anak muda Indonesia untuk mengambil bagian, sebagai gerakan baru untuk mereformasi pertumbuhan ekonomi yang telah porak-poranda akibat Covid-19. G20 tahun ini, akan menjadi monumental karena hadir setelah situasi dunia yang kacau akibat pandemi. Suatu latar belakang sosial yang dapat dijadikan sebagai moment krusial, menumbuhkan kesadaran untuk bergerak maju dalam semua sektor kehidupan.

                                    Meski berbeda, kebersamaan itu indah ǀ Berita (sorogan.id)

Jadi pada prinsipnya, kebersamaan yang kuat hanya tumbuh di dalam satu penderitaan. Moment penderitaan ini sudah sangat dekat dengan Manusia Indonesia hari ini. Kontestasi Politik 2019 dan Covid-19, menjadi latar belakang kesedihan bersama, sekaligus menjadi alasan untuk bangkit bersama. Latar belakang sosial ini, akan mendorong anak muda khususnya untuk tidak terjebak pada perbedaan identitas, politik dan keyakinan. Menjadi istri bagi saya hari ini adalah anugrah yang spesial, bisa mengerjakan banyak hal, bukan hanya soal politik tetapi juga domestik. Bahwa, perbedaan adalah suatu keniscayaan, tetapi kebersamaan adalah suatu keharusan.