Literasi Finansial Bagi UMKM: Menyikapi Dilema Antara Bisnis dan Krisis (Iklim)

Literasi Finansial Bagi UMKM: Menyikapi Dilema Antara Bisnis dan Krisis (Iklim)

Literasi Finansial

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel 

 

Di India, seorang ibu bersikeras menggunakan kue kotoran sapi atau uples dalam Bahasa Hindi sebagai bahan bakar untuk memasak. Meskipun memiliki cadangan batu bara nomor empat di dunia, baginya hal itu lebih baik daripada ia beserta 700 rumah tangga harus membakar batu bara yang justru akan menggoreng bumi lebih panas lagi.

Sementara, sekelompok warga desa di Indonesia berbondong-bondong mengubah tanah pesisir menjadi tambak udang intensif. Mereka menanggalkan jalanya karena populasi ikan di laut semakin berkurang dan tidak menjanjikan. Rekayasa produksi udang yang singkat dengan hasil melimpah secara massal, mampu memulihkan perekonomian dengan cepat.

Namun, tidak butuh waktu yang lama, percepatan itu menjadi ancaman baru: penyakit menyerang udang. Rupanya limbah budidaya dialirkan ke laut begitu saja sementara mereka memanfaatkannya kembali untuk budidaya siklus berikutnya. Gagal panen semakin memperkeruh keadaan di tengah tagihan utang, air sungai beserta laut yang tercemar.

Budidaya Udang Secara Intensif | Dokumen Pribadi

 

Seakan luka lama belum terobati, dua tahun yang lalu, dunia dihantam bencana baru. Kali ini berupa wabah (Virus Covid-19) yang mampu mengurangi jutaan populasi manusia di bumi sekaligus membersihkan polusi udara hampir mencapai 50%. Di sisi lain, produktivitas pabrik menurun, ekonomi menurun dan pengangguran melambung tinggi

Peristiwa seorang ibu dengan kotoran sapinya, petambak dengan air yang tercemar dan pandemi Covid-19 cukup menjadi gambaran bahwa dunia sedang dalam kedaan darurat. Dilema antara kebutuhan untuk bertahan hidup dan krisis iklim menjadi pertanyaan besar bagi manusia. Manakah yang harus diprioritaskan?

Ilustrasi Pencemaran Air | Halowater

Menghentikan seluruh aktivitas untuk bumi beristirahat memang sangat perlu, tapi butuh waktu sekitar 40 tahun hidup tanpa karbon. Kita dapat membayangkan kejahatan kemanusiaan akan terjadi secara ekstrim. Di sisi lain, membiarkan aktivitas bisnis berjalan terus dapat menimbulkan kerusakan alam dan berantai pada ancaman yang lebih kompleks.

Menyikapi dilema antara keberlangsungan bisnis disaat krisis (iklim) diperlukan langkah konkrit guna menciptakan kesadaran mengenai pentingnya hubungan antara kelestarian lingkungan dan keberlangsungan bisnis. Kita tidak perlu menunggu 40 tahun lagi untuk memulai usaha, atau kita tidak perlu menunggu bencana-bencana baru berdatangan untuk merawat alam. Tetapi, gerakan itu dimulai dari sekarang: secara kolektif, kalkulatif dan kritis.

Di Indonesia, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 65,47 juta unit pada tahun 2019. Jumlah tersebut dibanding dengan total usaha di Indonesia menempati prosentase 99,99%, sedangkan 0,01% adalah usaha berskala besar. Angka 99,99% menjadi angka yang cukup besar untuk memulai gerakan bisnis berwawasan kelestarian alam.

Selain dari kuantitas yang besar, keberadaan UMKM dan usaha berskala besar di Indonesia sama-sama memberikan dampak terhadap alam. Aktivitas produksi yang mengambil hasil alam, hingga pembuangan limbah yang kembali ke alam jauh lebih tidak terkontrol terjadi pada pelaku UMKM. Masih ingat dengan petambak udang dan pembuangan limbahnya?

Literasi finansial bagi UMKM merupakan formulasi sekaligus alat untuk memberikan wawasan mengenai keberlangsungan usaha dan ekosistem alam yang berbasis data. Pembenahan usaha yang dimulai dari menejemen keuangan hingga laporan keuangan yang akuntabel akan memberikan bukti nyata bahwasannya terdapat hubungan timbal balik dari aktivitas usaha.

Literasi Finansial | Dokumen Pribadi

Secara sederhana, seorang petambak udang yang membaca laporan laba rugi akan menganalisis mengapa tambak saya untung atau mengapa rugi? Di bagian apa yang membuat untung? Dan di titik mana pula biaya yang paling besar dikeluarkan ketika terjadi kerugian? Begitupula dengan membaca neraca, ia akan mengetahui kemampuan finansial untuk melakukan usaha pada siklus berikutnya.

Jeremy Rifkin seorang teoris ekonomi sosial dalam seminarnya yang berjudul “The Third Industrial Revolution: A Radical New Sharing Economy” mengatakan bahwa agregat efisiensi di dunia yang paling tinggi dicapai oleh negara Jepang dengan angka 20% pada tahun 1990. Artinya, dari produksi yang dilakukan hanya 20% yang benar-benar masuk ke dalam barang atau jasa. Sisanya, sebanyak 80% terbuang begitu saja (inefisien).

Melalui data finansial pelaku UMKM lebih kritis terhadap resiko sekaligus mampu menjadi perencana yang baik. Gerakan efisiensi usaha yang dilakukan oleh 99,99% UMKM di Indonesia akan menjadi sebuah gerakan kolektif yang berdampak besar terhadap upaya menekan krisis iklim. Kesadaran secara kolektif mengenai arti kata “keberlanjutan” akan membawa pada keselarasan antara keberlangsungan usaha sekaligus kelestarian alam.

 

Sumber Bacaan:

Mahdi, M. Ivan. 2022. Berapa Jumlah UMKM di Indonesia. (https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/berapa-jumlah-umkm-di-indoesia), diakses pada Selasa, 5 Juli 2022.

Garasi Movie. 2019. Before The Flood (2016) Film Dokumenter Sub Indoensia. (https://youtu.be/xW-bM1AvHR4), diakses pada Selasa, 5 Juli 2022.

Henriques, Martha. Virus Corona: Dampak “Lockdown” pada Penurunan Polusi, Akankah Selamanya? (https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-52194438), diakses pada Selasa, 5 Juli 2022.

Vice. 2017. The Third Industrial Revolution: A Radical New Sharing Economy. (https://youtu.be/QX3M8Ka9vUA), diakses pada Selasa, 5 Juli 2022.