KTT ASEAN 2023 INDONESIA: Membangun Ekosistem Media Bermartabat di Asia Tenggara

KTT ASEAN 2023 INDONESIA: Membangun Ekosistem Media Bermartabat di Asia Tenggara

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ketika meluncurkan Keketuaan Indonesia untuk KTT ASEAN 2023.* (Dok. Kementerian Luar Negeri | source: asean2023.id)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Media selalu menjadi topik bahasan hingga isu yang strategis dari masa ke masa. Terlebih tatkala terbangun relasi yang membentuk jaringan sosial hingga budaya baru di lingkungan masyarakat domestik sampai luar negeri.

Tak ayal, fenomena media tersebut membentuk pola komunikasi hingga identitas berhubungan dengan struktur baru.

Media senantiasa memberikan penafsiran dan pembentukan citra membangun kultur global di mana kini semua masyarakat beradaptasi dapat terhubung tanpa batasan lagi lewat sambungan internet.

Termasuk dalam pola hubungan internasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

Dan, citra mengenai suatu fenomena sangat tergantung pada bagaimana si aktor melakukan pemaknaan, serta konstruksinya.

Seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, jagat media lantas mengalami konvergensi. Peluang hingga tantangan baru muncul, sehingga membutuhkan adaptasi yang relevan mengikutinya.

Bagi yang tidak dapat beradaptasi baik, imbasnya merasa terdisrupsi sampai mengalami degradasi lantaran tak bisa menangkap peluang.

Sebagaimana isu pembuatan produk regulasi “Media Sustainability” atau serupa publisher rights  yakni peraturan untuk ekosistem media, khususnya kantor pemberitaan atau penerbit dengan perusahaa platform digital.

Ditambah, sekarang media harus pula bisa menerap integrated broadcast broadband sejalan perkembangan teknologi 5G.

Kerja pada ruang redaksi kini bukan semata dijalankan wartawan, namun ditopang konten yang diproduksi content creator pada sebuah kantor berita atau perusahaan media massa.

Satu hal menjadi budaya baru, di mana kegiatan peliputan bisa dilakukan secara virtual, serta terjadi pemuatan karya content creator yang terunggah di medsos dijadikan bahan berita.

Pun, sebaliknya content creator melakukan pengeditan karya jurnalistik menjadi unggahan media sosial dengan beragam bumbu opini yang memantik diskusi pada ruang maya dari para netizen.

Contoh kasus yang sedang hangat adalah kasus Bima Yudho Saputro. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Australia asal Provinsi Lampung yang sedang viral di media sosial TikTok hingga menjadi trending topic mengisi laman-laman media mainstream.

Sisi baik dari Bima Yudho Saputro, ia pintar untuk menggerakan khalayak luas dalam menanggapi kritik sosialnya terhadap masalah infrastruktur di Provinsi Lampung. Bahkan ampuh membuat pemerintah langsung meresponnya dengan memperbaiki jalan-jalan rusak di sana—kendati terjadi perangai negatif, adanya dugaan intimidasi terhadap keluarga Bima.

Sisi negatifnya, terkait masalah etika. Pasalnya, bila menyimak unggahan-ungahan Bima di akun TikTok @AwbimaxReborn, pemilihan kata yang disampaikannya bila disinggung dengan soal tata krama sopan santun budaya bangsa Indonesia, baginya seorang mahasiswa dinilai kurang etis.

Karena, bagaimanapun keluhuran orang berilmu itu harus dibarengi dengan adab yang baik pula. Namun, hal ini harus juga memperhatikan circle atau lingkungan yang membentuk pola perilaku Bima—apakah sejak kecil di lingkungan keluarganya seperti itu, ataukah pasca dia kuliah di Australia menjadi berubah tutur perkataannya.

Memang ada benarnya, jika mengutip salah satu unggahan video Bima Yudho Saputro bahwa perkataan dia cenderung kurang santun, seperti kala dia menyebut “janda” kepada Presiden ke-5 RI, Hj. Megawati Soekarnoputri.

Walaupun Bima menandaskan pernyataannya dengan membandingkan terhadap perilaku pejabat pemerintahan yang diduga berperilaku baik hanya semata kamuflase agar dipandang suci dalam menjaga martabat yang berwibawa, padahal di belakang itu suka melakukan hal negatif yang tidak berpihak kepada rakyat seperti korupsi.

Media Bermartabat ASEAN

Membaca fenomena media yang terjadi, juga kasus Bima Yudho Saputro, masalah ini dapat menjadi acuan untuk dibahas dengan negara-negara ASEAN, guna membuat regulasi dalam rangka membangun ekosistem media yang bermartabat, atau konten berkualitas menjunjung nilai-nilai etika akan budaya masing-masing bangsa, sampai pada perumusan model bisnis media saling menguntungkan di antara negara-negara ASEAN.

Pemerintah Indonesia bisa menjadi penggagasnya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Association f Southeast Asian Nations (KTT ASEAN) 2023.

Karena Pemerintah Indonesia menjadi Keketuaan KTT ASEAN 2023 yang direncanakan digelar di Labuan Bajo pada Mei 2023, dan di Jakarta pada September 2023.

Kick-off Keketuaan KTT ASEAN 2023
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berjalan bersama Sekjen ASEAN, H.E. Kao Kim Hourn dan para tamu kehormatan pada acara kick-off Keketuaan Indonesia ASEAN.* (Sumber Website Resmi Presiden Republik Indonesia)

Dikabarkan laman Setneg.go.id pun, Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara sudah menjajaki kerjasama dengan Pikiran Rakyat Media Network (PRMN), yakni perusahaan media online yang didukung kemitraan content creator di berbagai daerah di Indonesia.

Dan, PRMN mempunyai traffic pembaca yang sangat tinggi, pun sempat menduduki peringkat satu Alexa Rank untuk media nasional di Indonesia.

Dengan adanya kerjasama Biro Humas Kemensetneg dengan Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) untuk menggaungkan jalannya KTT ASEAN 2023 di Indonesia, membuktikan ekosistem media di Tanah Air dapat tumbuh baik bersinergi dengan pemerintah dengan adanya kolaborasi tersebut.

Maka, dalam forum KTT ASEAN 2023 pun, Pemerintah Indonesia harus bisa berdiri di depan untuk menggagas kolaborasi media di tingkatan Asia Tenggara.

Kendati sudah ada Southeast Asian Press Council Network (SEAPC-Net), yaitu organisasi stakeholders pers se-Asia Tenggara—diketahui, Mohammad Nuh mantan Menteri Pendidikan RI dan Ketua Dewan Pers Indonesia, terpilih sebagai Ketua SEAPC-Net pada tahun 2019 lalu.

Di sini, peran Pemerintah Indonesia paling tidak bisa mendiskusikan persoalan pembuatan regulasi “Publisher Rights” yang relevan diterapkan di negara-negara ASEAN. Akan menjadi langkah baik sebelum pengesahan “Rancangan Perpres Media Sustainability” yang diajukan Dewan Pers Indonesia.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodod (Jokowi)*
Presiden Republik Indonesia Joko Widodod (Jokowi)* | Sumber Foto: Setneg.go.id

Pemerintah Indonesia bisa membukakan kran industri untuk mendukung ekosistem bisnis perusahaan media di ASEAN, dengan merumuskan peta kolaborasi media se-Asia Tenggara. Di samping berkolaborasi dalam fact checking arus informasi antar negara, serta membangun budaya masyarakat bermedia secara santun dan saling menghormati atau mengedepankan etika.

Harus membangun kesepakatan bersama dalam membentuk pola komunikasi di media—khususnya netizen dalam bermedsos, hingga content creator dalam membuat konten, yang mana musti memahami etika komunikasi interpersonal dan intrapersonal, cara berkomunikasi kelompok, hingga mengerti tentang komunikasi massa.

Sekaligus, dengan mengamati kasus Bima Yudho Saputro, jika memang gaya berbiacara TikTokers asal Lampung ini memakai bahasa kurang santun akibat pergaulannya di Australia, dan ada fakta kajian tentang budaya di sana.

Hal itu bisa menjadi catatan penting bagi Australia jika ingin masuk anggota ASEAN, harus menghormati budaya dari negara-negara seluruh anggota, selain menaati peraturan yang berlaku.

Isu Australia ingin masuk ASEAN bukanlah hal baru. Bahkan di kancah pesepakbolaan, negeri kangguru ini sudah menjadi bagian dari ASEAN Football Federation (AFF) atau organisasi sepakbola Asia Tenggara.

Terlebih, pada perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar lalu, Australia menjadi tim yang berlaga mewakili negara di bawah otoritas AFF.

Bahasan tersebut menjadi penting pula bila menelaah ilmu hubungan internasional, menurut pandangan trans-nasionalist di mana menunjukan gelaja tumbuhnya kekuatan non-state actors terutama pada sektor ekonomi. Maka, sebelum international society atau masyarakat internasional membangun jaringan bisnis/industri melewati otoritas negara, setidaknya negara-negara ASEAN sudah memiliki regulasi dalam untuk mengaturnya.***