Bullying Kekerasan Fisik di Lingkungan Sekolah Marak Terjadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Bullying Kekerasan Fisik di Lingkungan Sekolah Marak Terjadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Ilustrasi korban bullying | Pexels: Mikhail Nilov

Belakangan ini marak terjadi bullying di sekolah. Hal ini terbukti dengan beredarnya video kekerasan fisik di media sosial. Mirisnya, kekerasan ini dilakukan oleh siswa terhadap sesamanya.

Beberapa di antaranya adalah kekerasan siswa SMP di Balikpapan yang dilakukan di masjid. Bahkan terdapat penganiayaan terhadap siswa di Cilacap yang ditonton oleh sekelompok siswa lainnya.

Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan menyakiti hati, ya, SohIB. Lalu, apakah yang menyebabkan terjadinya bullying? Bagaimana cara mengatasinya?

Bullying atau perundungan merupakan penindasan atau perilaku yang dilakukan oleh pihak yang merasa berkuasa dan memiliki kekuatan terhadap pihak yang dianggap lebih lemah atau dianggap berbeda. Perilaku ini biasanya dilakukan berulang kali dan terbentuk dari kebiasaan.

Penyebab Terjadinya Bullying

Ada tiga pihak yang terlibat dalam kasus perundungan, yakni pelaku, korban, dan saksi. Lantas, mengapa pelaku melakukan bullying berupa kekerasan?

Menurut berbagai sumber, pelaku bullying merupakan seseorang yang sebelumnya mengalami atau melihat kekerasan. Mereka berpotensi melakukan hal yang sama dengan meniru perilaku orang sekitar, seperti menerima kekerasan dari orang tua sendiri dan media lewat film yang menampilkan kekerasan.

Pola asuh yang terlalu keras juga mempengaruhi seorang anak melakukan penindasan terhadap orang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang tua, sehingga kurang mengawasi pergaulan dan tidak mengedukasi anaknya tentang akhlak dan empati. Terkadang pelaku juga ingin dianggap populer dan berkuasa sehingga mereka melakukan kekerasan.

Aplikasi Mencari Tour Guide Wisata yang Terpercaya dari Kemenparekraf
Perundung merasa dirinya berkuasa sehingga melakukan kekerasan | Pexels: Keira Burton

Lalu, mengapa korban hanya diam saja dan tidak melawan? Pola asuh pendisiplinan berupa hukuman fisik dari orang tua atau guru rupanya dapat menimbulkan seseorang menjadi penakut.

SohIB, hubungan lingkungan yang dikenal anak berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Dengan kata lain, yang berkuasa dapat berbuat seenaknya dan yang lemah harus tunduk. Secara tidak langsung, terbentuk di benak mereka bahwa mereka pantas mendapatkan penindasan.

Kurangnya edukasi tentang bullying juga menyebabkan anak tidak memahami bentuk penindasan ini. Selain itu, korban tidak menyuarakan tentang hal yang dialaminya karena tidak ingin dicap sebagai pengadu. Korban yang tidak berdaya sering ditemui akibat lawannya yang berjumlah banyak, sementara korban sendirian.

Selanjutnya, saksi dari tindakan bullying sering tidak mampu menolong atau bersaksi. Mereka biasanya juga merasa takut, entah takut tidak ditemani atau takut menjadi korban selanjutnya karena merasa terancam.

Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui dampak negatif dari bullying, karena jika tidak segera ditangani, pelaku perundungan dapat berpotensi lebih besar menjadi pelaku kriminal. Sementara itu, korban mengalami luka fisik dalam, trauma, malu, takut ke sekolah, kehilangan rasa percaya diri, dan menyendiri dalam jangka pendek.

FYI, bullying juga menyebabkan efek jangka panjang terhadap korban yang bersifat psikis. Menurut Prasetyo (2011), korban yang lemah, pendiam, dan tidak pernah melawan akan menyebabkan bullying terjadi terus menerus sampai membuat korban depresi.

Lebih parahnya lagi jika korban mengalami trauma yang dapat terbawa hingga dewasa. Salah satu contohnya adalah korban yang mengalami gejala seperti orang kesurupan dan amnesia setelah kembali sadar.

Makanan yang Mengandung Sianida Alami, Harus Waspada?
Korban bullying menjadi penyendiri, penakut, dan mengalami gangguan kejiwaan | Pexels: Pixabay

Cara Mengatasi Bullying

Mengutip dari laman dpr.go.id, terdapat 226 kasus bullying pada tahun 2022 dan sebanyak 53 kasus di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kasus yang signifikan.

Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 54 tentang perlindungan anak di lingkungan satuan pendidikan, Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Meskipun berbagai regulasi telah terbentuk, tetapi hal tersebut masih dinilai belum efektif. Faktanya, bullying masih banyak terjadi.

Puan Maharani, Ketua DPR RI, dalam pers 29 September lalu berpendapat bahwa penanganan bullying ini saling berkaitan. Menurutnya, penyebab perundungan ini adalah faktor kurangnya support system dan bebasnya konten di media sosial.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Berikut penjabaran peran orang tua dan pihak sekolah untuk mengatasi penindasan ini:

1. Peran Orang Tua

Orang tua harus menjaga hubungan baik dengan anak. Berikan mereka edukasi tentang bentuk bullying dan dampaknya yang berbahaya. Pepatah mengatakan, orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya, maka ajarkan mereka empati agar bersikap semena-mena dengan orang lain.

Akan lebih baik jika orang tua memastikan anak berada dalam lingkungan pertemanan yang positif dan saling mendukung. Perhatikan juga sikap anak, seperti apakah mengalami perubahan menjadi lebih tertutup? Tanyakan penyebabnya dan diskusikan hal tersebut secara perlahan agar anak mau terbuka.

2. Peran guru dan sekolah

Sebagai seorang pendidik, hendaknya guru tidak meledek siswa dengan sebutan-sebutan yang menghina. Meskipun konteksnya bercanda, hal seperti ini seringkali menjadi berkelanjutan karena diikuti oleh para siswa lainnya.

Guru wajib memberikan perhatian kepada siswa yang 'berbeda', karena memungkinkan mereka adalah korban bullying. Sekolah juga dapat berperan dengan memberikan pendidikan anti-bullying dan membuat peraturan terkait hal tersebut.

Karya Sastra dan Bencana, Refleksi Kehidupan

3. Peran Teman

Teman sebaya seharusnya tidak ikut merundung dan melakukan kekerasan. Sebaliknya, mereka dapat membantu dengan menjadi saksi dan membela korban atas tindakan bullying yang terjadi pada temannya. Hal ini dapat menolong korban agar tidak merasa sendirian.

 

Referensi:

  • Prasetyo, A.B.E,. (2011). Bullying di Sekolah dan Dampaknya Bagi Masa Depan Anak. El Tarbawi Journal, 01 (04), 19-26. https://journal.uii.ac.id/Tarbawi/article/download/2776/2527
  • DPR. (2023). Pemerintah Harus Petakan Faktor Penyebab Bullying Anak. Diakses pada 9 Oktober 2023 dari https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/46802/t/Pemerintah+Harus+Petakan+Faktor+Penyebab+Bullying+Anak
  • UNICEF. (n.d.). Cara Membicarakan Bullying dengan Anak Anda. Diakses pada 10 Oktober 2023 dari https://www.unicef.org/indonesia/id/cara-membicarakan-bullying-dengan-anak-anda?gclid=Cj0KCQjwmvSoBhDOARIsAK6aV7inktnLT1kgGoDvkWPUYRN-E-muMoGGuajfmVSROKEGyigcpO46p0AaAuJxEALw_wcB
  • Supriyatno, dkk. (2021). Buku Saku Stop Bullying/Perundungan yuk. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi