Karya Sastra dan Bencana, Refleksi Kehidupan

Karya Sastra dan Bencana, Refleksi Kehidupan

Saslah satu sudut Danau Maninjau sebagai Setting Novel Kemarau | Sumber: dok pribadi

Sastra sebagai kata dengan kelas nomina dalam KBBI memiliki lima pengertian. Pertama, sastra diartikan sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).

Kedua kesusastraan, ketika sastra dimaknai sebagai kitab suci Hindu, kemudian juga kitab ilmu pengetahuan. Yang keempat, sastra memiliki makna kitab, seperti pustaka atau primbon (berisi ramalan, hitungan, dan sebagainya).

Terakhir, sastra diartikan sebagai tulisan atau huruf. Hal tersebut merujuk pada berbagai makna dan arti sastra di atas. Maka, keseimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah sastra berkaitan erat dengan bahasa, gaya bahasa, dan atau tulisan yang di dalamnya ada ilmu dan pengetahuan sebagai isi.

Sastra sebagai sebuah karya diartikan sebagai hasil dari hasil sastra, baik berupa puisi, prosa, maupun lakon. Menariknya, karya sastra sering dianggap sebagai cerminan dari kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang diproyeksikan oleh penulis dalam karyanya

Karena karya sastra merupakan cerminan, maka besar kemungkinan karangan tersebut juga akan pernah terjadi bahkan berulang pada masa berikutnya.

Sastra sebagai Refleksi Kehidupan

Salah satu isi dari karya sastra adalah perihal bencana. Beberapa penulis sengaja menuliskan tema-tema berkaitan dengan bencana ini sebagai refleksi untuk kita pada masa selanjutnya setalah karya itu lahir.  Namun, bisa jadi karya tersebut merupakan refleksi juga dari karya sebelumnya.

Beberapa karya sastra yang berbicara tentang bencana ini dapat kita lihat dalam karya sastrawan Indonesia yang cukup dikenal. A.A. Navis misalnya, yang menulis novel berjudul Kemarau.

Novel tersebut bercerita tentang bencana yang terjadi di sekitar Danau Maninjau, yaitu musim panas berkepanjangan sehingga menyebabkan sawah-sawah dan lahan pertanian warga menjadi kering.

Musim kemarau yang panjang telah membuat semua penduduk desa putus asa dan akhirnya menjadi bermalas-malasan untuk bertani.

Namun, ada seorang bernama Sutan Duano, dia terus mengairi sawah dengan mengangkat air dari danau walaupun panas terik menyengat tubuhnya. Sayangnya, penduduk desa tidak mengikuti tapi malah menyebarkan fitnah pada Sutan Duano yang mengatakan bahwa pria tersebut hanya  ingin mendekati Ibu Acin dengan caranya yang demikian.

Merujuk pada kenyataan di atas, sesungguhnya musim kemarau sekarang dipengaruhi oleh el nino. Tentunya ada Sutan Duano versi lain di berbagai belahan bumi dan daerah Indonesia, yang mana dengan sukarela dan tetap semangat dalam mengairi sawahnya.

Ia juga pasti akan dianggap aneh dan bisa jadi dianggap gila oleh orang-orang lain yang tidak paham bahwa kita harus tetap berusaha untuk mendapatkan hasil yang masimal. Jangan hanya berserah diri dan menunggu kapan waktu hujan akan datang. Itulah setidaknya salah satu pesan dalam novel Kemarau karya A.A. Navis tersebut.

Karya Sastra sebagai Kekayaan Intelektual 

Karya sastra berikutnya yang juga cukup fenomenal adalah Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh.

Bahkan Dr. Suryadi, M.A yang berhasil mengumpulkan empat versi dari syair ini menyebutnya sebagai Sebuah Dokumen Pribumi Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.

Karya tersebut bagi Suryadi adalah bukti lain tentang dahsyatnya letusan Gunung Krakatau tahun 1833 yang ditulis oleh pribumi. Padahal, sebelumnya hampir semua catatan dan kajian ilmiah tentang letusan Gunung Krakatau malah dilaporkan dari orang asing.

Tidak ada kesaksian pribumi yang ada di sekitarnya. Sedangkan diketahui ada sekitar lebih kurang 36 ribuan orang jadi korban bencana tsunami pada masa itu.

Syair ini mengingatkan kita betapa dahsyatnya tsunami Aceh tahun 2004. Kejadian yang terjadi pagi hari tanggal 26 Desember itu menyisakan koraban jiwa hampir 280 ribu jiwa di 14 negara.

Peristiwa itu adalah tsunami yang terbesar setelah kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Kisah-kisah yang dilukiskan dan diceritakan dalam karya sastra tersebut hendaknya juga menjadi perhatian bagi kita sebagai pembaca, bahwa adakalanya kisah-kisah itu akan terjadi berulang namun kita tidak tahu kapan masanya.

Itulah kekayaan dimiliki manusia yang mampu merekam kejadian-kejadian disekitarnya menjadi sebuah karya yang bisa menjadi refleksi bagi pembaca.

 

Sumber:

https://nationalgeographic.grid.id/tag/krakatau