Ambivalensi Digitalisasi : Keberkahan atau Ancaman?

Ambivalensi Digitalisasi : Keberkahan atau Ancaman?

Koneksi Digital | Unsplash (Cosmin-Serban)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Digitalisasi menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Pandemi covid 19 telah mentrigger penggunaan perangkat dan aktivitas digital. Trend digitalisasi semakin meningkat. Saat pandemi menggelora masyarakat di tiap penjuru daerah dituntut untuk beraktivitas dari rumah. Mau tidak mau mereka harus semakin sering untuk menggunakan gawai maupun perangkat digital. 

Literasi digital pun menjadi hal yang begitu penting. Tiap manusia dapat saling terkoneksi satu sama lain lintas usia bahkan lintas benua. Interaksi tidak memandang batas geografis. Dunia seolah sudah terlipat dengan mudah, hanya dalam genggaman tangan. 

Begitu juga informasi sangat mudah untuk didapatkan. Semua orang mampu saling mengakses informasi yang sama dari tempat yang berbeda. Orang yang berkuliah di kampus pinggiran daerah tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan di kampus favorit. Bahkan mereka yang tidak kuliah pun dapat dengan mudah belajar banyak hal layaknya orang kuliah. Kelas online, kursus jarak jauh, konten-konten di platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Tiktok, Facebook mampu menjadi wadah belajar yang demokratis

 

Semuanya sekarang dapat diselesaikan dalam genggaman tangan digital
Semua urusan dalam genggaman tangan digital |  Unsplash (Nordword-Themes)

Setiap orang pun juga mampu mengekspresikan diri bahkan mengenalkan berbagai potensi daerah dari tempat tinggalnya. Mereka tidak perlu membayar dengan mahal untuk mengiklankan produk maupun mempromosikan barang dagangannya. Cukup dengan belajar bagaimana memanfaatkan habit digital yang baik, mereka dapat bekerja dari rumah. 

Ini adalah keberkahan zaman yang patut disyukuri generasi zaman ini. Mereka yang kebanyakan lahir di tahun 1970-an hingga hari ini kebanyakan mampu memanfaatkan keberkahan ini untuk memudahkan aktivitas mereka. Mulai dari pekerjaan kantor, belajar hingga berjualan. 

Dimanapun tempatnya gawai bawaanya
Dimanapun tempatnya, siapapun orangnya, gadget yang selalu dilihatnya | Unsplash (Camilo-Jumenez) 

Namun keberkahan ini tidak selamanya positif. Efek dari digitalisasi ternyata tidak serta merta menjadikan manusia selalu bijak dalam penggunaannya. Banyak jebakan yang terjadi jika tidak berhati-hati dalam beraktivitas di dunia digital. Kejahatan berbasis digital semakin merajalela. Penipuan berkedok hadiah, penyedotan data pribadi, pembajakan akun bahkan pelecehan berbasis digital tiap hari selalu berkembang. 

Ini lah yang perlu diwaspadai dalam dunia digital. Manusia dapat berubah menjadi sebegitu brutal. Hal ini karena dunia digital memungkinkan manusia menjadi makhluk yang dapat kehilangan kontrol diri.  F. Budi Hardiman seorang Guru Besar dari STF Driyakara menyebut bahwa manusia berevolusi dari Homo Sapiens menjadi Homo Digitalis. Homo digitalis adalah makhluk yang dapat beraktivitas melalui dunia digital. Namun jika tidak hati-hati homo digitalis dapat terpeleset menjadi homo brutalis alias manusia brutal.

Kehilangan kontrol diri ini dapat terjadi ketika manusia terlalu sering terpapar dunia digital. Dalam dunia psikologi ada sebuah fenomena bernama ego depletion, yaitu kondisi kelelahan psikis yang menyebabkan manusia kehilangan kontrol diri. Ketika manusia sering terpapar dunia digital dalam kondisi seperti ini besar kemungkinan menjadikan media sosial sebagai pelampiasan kelelahannya. Ada yang berkomentar buruk, memposting hal-hal negatif, berbelanja online dengan boros, pelecehan seksual berbasis digital dan lain sebagainya.  Kondisi ini tentu berbahaya jika tidak diperhatikan dengan serius. Manusia dapat tereduksi dari kemanusiannya.

Kejahatan Digital
Kejahatan Digital menjadi ancaman yang mengintai Homo Digitalis | Unsplash (Fly-D)

Secara filosofis relasi manusia dan dunia digital memang cukup dilematis. Di satu sisi aktivitas manusia terbantu dengan kehadiran revolusi informasi, di sisi lain manusia semakin tereduksi makna kemanusiaannya. Manusia hari ini semakin menyukai kecepatan ketimbangan kedalaman kebenaran. Padahal belum tentu yang cepat itu tepat.

Dilema ini tentunya menjadi PR tersendiri yang harus dikerjakan. Kita memang tidak bisa memungkiri, bahwa kita begitu bergantung pada dunia digital dalam kebanyakan aktivitas kita. Secara sosial, budaya, ekonomi hingga profesionalitas peran dunia digital sangat dibutuhkan hari ini. Namun disisi lain efek negatifnya yang perlu dimitigasi. 

Pertanyaannya bagaimana cara manusia memitigasi efek buruk dari dunia digital agar perannya untuk memudahkan aktivitas manusia semakin optimal? Tentunya perlu ada manajemen relasi manusia dan dunia digital secara radikal. Perlu ada formulasi secara filosofis hingga teknis yang memungkinkan manusia tetap menjadi manusia sekalipun dalam dunia digital.