Seni Mendengar Curahan Hati

Seni Mendengar Curahan Hati

Deep talk penting untuk kesehatan mental | Sumber: unsplash.com/@priscilladupreez

Menjadi pendengar curahan hati (curhat) yang baik bukanlah sebuah ilmu eksak layaknya matematika. Kita tidak dapat bergantung kepada rumus-rumus untuk mengetahui caranya.

Setiap orang mengalami banyak hal berbeda dalam hidupnya sehingga kita (sebagai pendengar) harus mampu menyesuaikan diri dengan si pembicara. Meskipun begitu, setidaknya terdapat dua “aturan main” yang dapat diterapkan.

Pertama-tama, kita mesti menyadari terlebih dahulu bahwa ada tiga realitas hidup seseorang yang berposisi sebagai “pembicara”. Pertama adalah apa yang boleh kita dengar. Yang kedua adalah apa yang belum boleh kita dengar, dan realitas terakhir adalah apa yang tidak boleh kita dengar.

Tidak semua orang langsung mau begitu saja membicarakan segala sesuatu dalam hidupnya kepada orang lain. Jadi, sebagai pendengar, cukup dengarkan apa yang ingin diceritakan oleh si pembicara. Jangan memaksanya untuk menceritakan sesuatu yang dia tidak (atau belum) mau ceritakan. Tidak “bocor telinga”, itulah aturan main yang pertama.

Aturan yang satu ini jarang disadari. Masih ada orang yang beranggapan bahwa “makin banyak yang diceritakan kepadaku, maka makin paham pula aku akan situasinya”. Pikir orang tersebut, “Dengan mengetahui semua seluk-beluk tentang dirinya, aku pasti makin berempati”.

Padahal, tidaklah demikian. Justru dengan mengetahui semua seluk-beluk si pembicara, kita malah gampang terjerumus pada pelanggaran terhadap aturan main kedua, yakni tidak “bocor mulut”.

Anti-bocor telinga juga berarti kesiapan seorang pendengar untuk menetralkan telinganya atas setiap informasi mengenai realitas hidup si pembicara. Seorang pendengar dianjurkan untuk menjaga jarak dari setiap perspektif (orang lain maupun dirinya sendiri) tentang si pembicara.

Bila tenggelam dalam perspektif, maka kita hanya akan kelelap dalam sikap menghakimi yang impulsif.

Keberhasilan “Aturan Main” Kedua

Adapun keberhasilan mewujudkan aturan kedua, ditandai oleh dua parameter. Pertama, seseorang dikatakan sukses menjadi pendengar yang tidak “bocor mulut” bila dia tidak menceritakan curhat si pembicara kepada orang lain.

Kadang-kadang, seseorang yang berada dalam masa “butuh didengarkan” suka berlebihan (over) dalam bercerita. Malah apa yang disampaikannya bisa jadi merupakan aibnya.

Oleh karenanya, penting bagi seorang pendengar untuk senantiasa menjadikan dirinya sebagai orang terakhir yang mendengarkan isi curhat si pembicara tersebut. Semua orang tahu ini penting, tetapi tidak semua mampu melakukannya.

Itulah mengapa, dikatakan sebelumnya kalau mengetahui semua seluk-beluk realitas hidup si pembicara justru berpotensi menjerumuskan kita menjadi pendengar yang “bocor mulut”.

Parameter keberhasilan yang kedua adalah ketika pendengar berhasil melakukan tugasnya, yaitu mendengar bukannya berkomentar. Pendengar yang “anti-bocor mulut” menstimulus dirinya untuk mendengar baik-baik apa pun yang diucapkan si pembicara tanpa memberi komentar.

Sering terjadi, ketika seseorang —yang katanya ingin menjadi pendengar— justru paling banyak berkomentar sehingga posisi “siapa yang harusnya didengarkan” malah kelihatan kabur (tidak jelas). Pendengar yang harusnya mendengar justru menjadi yang paling banyak berbicara. Sebaliknya, pembicara yang seharusnya bercerita malah terpaksa harus mendengar.

Menjadi pendengar yang baik sulit dilakukan karena aktivitas tersebut bersifat “saat ini” dan “di sini”. Padahal, curhatannya adalah kisah “lampau” yang terjadi “entah di mana”. Itulah sebabnya ketika mendengar orang lain curhat, kita mesti siap untuk mendengarkan semua yang terucap darinya, bahkan termasuk sikap jemawanya.

Entah itu sikap jemawa ketika dia membangga-banggakan sesuatu (keluarga, prestasi, bakat, dan sebagainya) atau ketika dia bercerita seolah-olah hidupnya yang paling tidak adil di dunia ini. Intinya, kalau pun saat bercerita si pembicara malah terlihat jemawa (sombong), maka biarlah demikian.

Suatu waktu, kita mungkin merasa si pembicara lebai (melebih-lebihkan) realitas hidupnya. Namun, siapa pun yang sedang didengarkan, entah itu teman, sahabat, pacar atau orang terdekat sekalipun— pendengar yang baik pasti sadar akan posisinya.

Dia membuang semua pemikiran bahwa dirinya lebih hebat daripada si pembicara. Sedekat apa pun hubungannya dengan si pembicara, dia tidak menggunakan kedekatan itu sebagai justifikasi untuk membela diri apalagi sampai berkata, “Kami kan dekat, aku harus dong kasih saran ke dia!”. Tugas pendengar, ya mendengar. Bila dia berbicara, itu justru anomali!

Diam adalah Emas (?)

Lalu, apakah mendiamkan setiap curhatan merupakan sikap yang benar-benar benar? Jawabannya “tergantung”, sebab terdapat beberapa tipe pembicara. Ada pembicara yang memang ketika didengarkan sekaligus meminta saran. Ada juga yang tidak. Seorang pendengar mesti bersegera mengenali hal dasar ini, yakni “Siapa yang sedang saya dengarkan”.

Kita boleh menawarkan diri untuk memberi saran, tetapi perhatikan dahulu apakah si pembicara adalah tipe orang yang bisa diperlakukan begitu. Inti mendengar curhat adalah memahami perasaan si pembicara.

Lagipula, hanya dengan duduk diam dan mendengarkan seseorang berbicara saja (tanpa berkomentar walau sebenarnya ingin), kita sudah melakukan hal yang lebih dari cukup untuk melegakan perasaannya.

Faktanya, untuk bisa dipercaya menjadi teman deep talk (tahap lanjutan dari pendengar yang baik) biasanya dimulai dari sikap “lebih banyak diam” saat mendengarkan si pembicara. Agar kita dapat dipercaya berkomentar, nyatanya selalu dimulai dengan tidak berkomentar apa-apa terlebih dahulu.

Kemudian, jika suatu saat telah dipercaya untuk memberi komentar atau saran, maka berbicaralah sejauh itu bermakna dalam. Tidak perlu memberi ceramah seakan-akan kita adalah pemuka agama atau orang tua si pembicara.

Tak perlu pula bertransformasi menjadi dosen yang cara mengajarnya membuat ngantuk dengan kuliah yang SKS-nya berjilid-jilid, tetapi omongannya itu-itu saja.

Bila hendak memberi saran kepada si pembicara, jangan habiskan waktu untuk mengadu nasib siapa yang paling miris. Namun, adulah gagasan tentang “apa itu nasib” dan “bagaimana menyikapinya”. Ini adalah cara memberi saran yang paling disarankan.

Saat dua orang mulai ngobrol dalam sesi “adu nasib” biasanya ada kecenderungan untuk mengadu nasib siapa yang paling terlihat baik atau tidak baik. Padahal, hal ini justru memperparah apa yang disebut nasib itu.

Oleh sebab itu, adu gagasan tentang nasib punya urgensi agar dalam obrolan deep-nya dapat, bukan talk-nya doang. Dengan demikian, sesi “adu nasib” tidak lagi membosankan, melainkan menjadi sesi yang memperluas cakrawala berpikir.

Mendengar curhat adalah latihan integritas. Fransisco Budi Hardiman dalam pendahuluan bukunya, Seni Memahami, mengatakan bahwa “memahami” berbeda dengan “mengetahui”. Kata tersebut menyiratkan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain.

Kita bisa saja memiliki banyak pengetahuan (baca: informasi) tentang seseorang, tetapi sedikit pemahaman. Menurutnya, memahami tidak bertujuan mendapat “data” belaka, melainkan menangkap “makna”. Memahami ialah kemampuan menjangkau pribadi seseorang.

Tentu pendapat beliau ini berbanding terbalik dengan realita bahwa banyak orang ternyata bersedia menjadi pendengar curhat demi mendapat gosip terbaru. Sekarang, pilihannya ada pada kita. Seni (arts)nya sudah ada, siapkah kita menjadi seniman (artists)nya?