Kura-Kura vs Kupu-Kupu: Implikasi Dilema Terhadap Karakter Kepemimpinan Mahasiswa

Kura-Kura vs Kupu-Kupu: Implikasi Dilema Terhadap Karakter Kepemimpinan Mahasiswa

Mahasiswa | Sumber: pixabay.com/illustrations/mahasiswa-buku-pendidikan-persiapan-8040860

Mahasiswa adalah tingkatan tertinggi dari aktivitas belajar di lembaga pendidikan formal. Setiap mahasiswa pastinya berharap agar sesegera mungkin bisa menerapkan ilmunya di kehidupan sehari-hari (dalam lingkungan apa pun) maupun kelak di dunia pekerjaan setelah lulus. Pendek kata, kesuksesan ialah hal yang didambakan dari setiap mahasiswa.

Demi mewujudkan harapan tersebut, seorang mahasiswa mesti mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun, dalam proses perkuliahan, ada begitu banyak dilema yang dihadapi oleh seorang mahasiswa yang berimplikasi terhadap karakter kepemimpinannya.

Apa saja hal tersebut? Lalu, bagaimana dilema tersebut memengaruhi terhadap karakter kepemimpinan seorang mahasiswa?

Saat ini untuk meraih kesuksesan dalam bidang apa pun, kita tidak hanya harus menguasai kemampuan atau keterampilan akademis untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang biasa disebut hard skill. Namun, juga harus mempunyai kemampuan atau keterampilan nonakademis dalam mengelola hard skill tersebut, yang disebut soft skill.

Hard skill adalah keterampilan yang dapat terlihat dengan mudah, sedangkan soft skill adalah suatu kecenderungan pribadi seseorang. Kedua hal ini memang berbeda, tetapi saling berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Apa pun bidang pekerjaannya, kita dituntut untuk memiliki kedua hal ini.

Kebanyakan mahasiswa pastinya tidak asing lagi dengan istilah yang merupakan sindiran untuk mendeskripsikan gambaran mahasiswa yang terdiri atas dua tipe. Kedua istilah tersebut adalah mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah-pulang) dan mahasiswa “kura-kura” (kuliah-rapat).

Mahasiswa “kupu-kupu” adalah para mahasiswa yang menghabiskan waktu perkuliahannya untuk mendapat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi. Setelah aktivitas perkuliahan selesai, biasanya mereka segera pulang untuk belajar atau menyelesaikan tugas-tugas mata kuliah.

Tak jarang, mahasiswa tipe ini cenderung mengabaikan pengalaman karena beranggapan bahwa pengalaman bisa dicari belakangan, sedangkan IPK adalah sesuatu yang terutama dalam perkuliahan dan harus dioptimalkan; aktif berorganisasi hanya akan membuang-buang waktu dan berisiko membuatnya mengulang mata kuliah.

Oleh karena itu, lebih baik menggunakan waktu tersebut untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas agar dapat memenuhi standar nilai kelulusan dari setiap mata kuliah dan bisa lulus tepat waktu dari perguruan tinggi.

Selain itu, banyaknya jumlah beasiswa dan lowongan pekerjaan yang mewajibkan pelamarnya memiliki IPK yang tinggi turut menjadi alasan dari para mahasiswa memilih menjadi tipe ini.

Lagi pula, secara umum, mereka toh akan dianggap memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat karena di mata orang-orang biasanya mahasiswa dengan kemampuan akademis yang baik pasti memiliki pola pikir yang dewasa serta rasa tanggung jawab yang merupakan kriteria dari seorang pemimpin.

Sebaliknya, mahasiswa “kura-kura” adalah para mahasiswa yang menghabiskan waktu perkuliahannya dengan menyibukkan diri bergabung dalam berbagai kegiatan organisasi. Setelah aktivitas perkuliahan selesai, biasanya mereka mengikuti rapat-rapat organisasi.

Mahasiswa tipe ini cenderung mengabaikan IPK dengan keyakinan bahwa dengan bergabung ke dalam organisasi, maka mereka akan mendapat pengalaman dan relasi.

Mereka beranggapan bahwa kedua hal inilah yang akan memudahkannya untuk mendapatkan beasiswa maupun pekerjaan di kemudian hari. Selain itu, mereka berpikir kalau soft skill lebih mudah berkembang ketika aktif berorganisasi, mulai dari kemampuan bekerja sama dalam tim, public speaking, berpikir kritis dan kreatif, dan sebagainya. Hal ini juga menjadi alasan para mahasiswa memilih menjadi tipe ini.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari masing-masing sudut pandang tersebut, tetapi kedua hal tersebut seharusnya dilakukan oleh mahasiswa dalam porsi yang seimbang. Baik hard skill maupun soft skill dapat berkembang di tipe mana pun juga. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa melakukan keduanya secara bersamaan adalah hal yang sangat sulit.

Bayangkan saja, bagaimana caranya menjadi kupu-kupu dan kura-kura sekaligus pada waktu yang bersamaan? Oleh karena itu, untuk menyiasatinya dibutuhkan skala prioritas atau istilah keren yang diungkapkan oleh Sean Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective Teens adalah “Put First Things First (mengutamakan hal-hal terpenting).

Bagi seorang mahasiswa, kuliah adalah hal yang terpenting dan berusaha mengoptimalkan IPK berarti menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap kewajiban sebagai mahasiswa.

Walaupun demikian, tetap saja nilai yang baik tanpa pengalaman adalah hal yang sia-sia dan pengalaman tanpa nilai yang baik adalah hal yang sia-sia juga. Jadi, hal terbaik yang dapat kita lakukan ialah menempatkan kepentingan untuk mengoptimalkan IPK sebagai prioritas dan aktif berorganisasi sebagai penunjang.

Dari uraian di atas, kita telah melihat pilihan-pilihan yang menjadi dilema bagi seorang mahasiswa. Ada dualisme di sana: hard skill atau soft skill, akademis atau nonakademis, serta IPK tinggi (nilai) atau aktif berorganisasi (pengalaman).

Sebagai mahasiswa, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan menekankan ego untuk memilih salah satu saja dari pilihan-pilihan ini. Jangan lupa bahwa selain mewujudkan harapan pribadi, ada pula harapan-harapan dari orang-orang yang kita sayangi; orang-orang yang senantiasa mendukung kita.

Kedua pilihan dalam pola dualisme tersebut berpengaruh terhadap masa depan seorang mahasiswa. Setiap pilihan yang pertama adalah prioritas dan setiap pilihan yang kedua adalah penunjang.

Dilema inilah yang membedakan mahasiswa dengan siswa di tingkat SD/sederajat sampai SMA/sederajat. Dalam proses perkuliahan, mungkin kita tidak bisa mencapai kesempurnaan dan tidak bisa sempurna dalam pencapaian, tetapi respons terhadap berbagai realitas ini menunjukkan kualitas jiwa kepemimpinan kita sebagai mahasiswa.