Self Love: Menjadi Manusia Autentik ala Filsafat

Self Love: Menjadi Manusia Autentik ala Filsafat

Mencintai diri sendiri penting tetapi sering diabaikan | Foto oleh Unsplash (Hassan OUAJBIR)

Kebanyakan dari kita cenderung merasa kesulitan mengungkapkan “I Love Me” daripada “I Love You”. Ini terjadi bukan karena kita benar-benar mampu mencintai orang lain tanpa mencintai diri sendiri.

Mustahil SohIB bisa berada pada fase ungkapan yang terakhir disebutkan, tanpa melewati tahap ungkapan yang pertama. Justru ini terjadi karena kita kurang memahami apa makna yang lebih dalam dari mencintai diri sendiri.

Seorang filsuf eksistensialis Jerman bernama Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa manusia tidak akan pernah menghayati keberadaan (eksistensi) dirinya bila terus terjebak dalam kata “engkau”.

Manusia yang autentik berarti manusia yang menghayati keberadaan dirinya sebagai “aku” bukan “engkau”. Pendapatnya ini mengingatkan kita kalau mencintai diri sendiri adalah syarat untuk menjadi manusia yang autentik, sebab jika SohIB tidak mencintai diri sendiri, kamu akan terus mengejar eksistensi yang ditentukan orang lain dan gagal menemukan eksistensi diri yang autentik.

Seandainya, “kata orang” terus menjadi bentuk pengakuan tertinggi bagi kita, maka kita hanya hidup dalam kepura-puraan.

Filsafat Menakrifkan Self Love

Manusia dan eksistensinya adalah ladang penelitian filsafat. Pada saat yang bersamaan, manusia juga sekaligus menggunakannya dan bertindak sebagai peneliti. Dalam meneliti manusia dan eksistensinya, filsafat mengajarkan kita untuk mengenali, memahami dan menerima diri kita apa adanya. Apa yang diajarkannya ini merupakan definisi dari mencintai diri sendiri.

Pikiran adalah penggerak utama. Tak heran bila ada ungkapan “You are What You Think” yang secara harfiah berarti “Kamu adalah apa yang kamu pikirkan”. Bila kita gagal dalam menjaga kualitas berpikir yang jernih, maka dengan mudah kita terikat oleh paradigma-paradigma orang lain terhadap kita.

Akhirnya, apa pun yang kita lakukan ujung-ujungnya kita anggap sebagai sebuah kesalahan karena orang lain menganggapnya demikian. Selanjutnya, beban kesalahan tersebut kita tempatkan ke atas pundak kita yang lama-kelamaan membuat kita terjerumus ke dalam kesalahan berikutnya, yaitu gagal untuk mencintai diri sendiri (self love).

Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga kualitas berpikir yang jernih. Filsafat memberikan tawaran yang unik untuk melakukan hal tersebut. Demi menjaga kualitas berpikir, filsafat mengajak kita berpikir.

Namun, berpikir yang dimaksud adalah berpikir dengan akal budi yang memang sedari dahulu sudah kita miliki. Selanjutnya, akal budi akan membawa kita kepada logika untuk memahami, membedakan dan memilah mana yang baik dan berguna bagi diri kita serta mana yang salah dan nirguna.

Filsafat menawarkan angin segar dalam memandang manusia dan eksistensinya; tidak hanya secara teori, tetapi juga dalam praktiknya. Keberhasilan memahami diri yang didorong oleh filsafat ini, pada akhirnya memampukan kita dalam mencintai diri sendiri. Demikianlah cara filsafat dalam menakrifkan self love.

Pentingnya Self Love

Sejak dahulu, manusia memang hidup sebagai makhluk sosial. Pada satu sisi, hal ini membuat kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan, sehingga bersosialisasi adalah langkah yang tepat untuk mengembangkan setiap potensi diri kita masing-masing.

Saat bersosialisasi, kita belajar mengenal dan menghayati keberadaan kita di tempat di mana kita hidup. Kita pasti jauh lebih cepat berkembang dengan berasosiasi (bentuk bersosialisasi tingkat lanjut), yakni bergabung dan bersatu dengan orang lain yang memiliki tujuan atau kepentingan yang sama.

Namun, pada sisi yang lain, dengan bersosialisasi berarti mau tidak mau kita mesti bersiap dengan pandangan dan penilaian orang lain atas kita.

Sudut pandang orang lain inilah yang kerap kali menimbulkan masalah bagi diri kita secara fisik, bahkan secara mental. Itulah sebabnya, pada zaman modern sekarang ini, isu kesehatan mental menjadi permasalahan yang kerap kali terdengar. Ini disebabkan oleh kecenderungan orang untuk menerima setiap opini yang ada tanpa melakukan filter terlebih dahulu.

Hal itu mengakibatkan munculnya rasa rendah diri karena standar penilaian yang ditentukan oleh orang lain. Tentu saja itu tidak baik, sebab pendapat orang lain tentang dirimu tidak dapat dikendalikan. Pendapat orang lain sepenuhnya berada di luar kontrol SohIB.

Kita tidak dapat memaksakan mereka terus menilai kita dengan positif, tetapi keliru juga jika SohIB mengatakan bahwa semua orang hanya bisa berpandangan negatif terhadap kita.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mencintai diri sendiri agar apa pun pandangan orang, kamu tidak terpengaruh. Perkara mencintai diri sendiri adalah urusan belajar seumur hidup, artinya selama kita hidup selama itu pula kita harus melakukannya.

Namun, ganjaran bagi mereka yang berhasil melakukannya ialah hidup dalam kecukupan diri, kemerdekaan, dan kebahagiaan.

Kecukupan diri. Dalam self love, kita menerapkan standar penilaian diri pribadi. Standar tersebut kita tetapkan dengan mengukur kemampuan diri kita. Hal ini meliputi setiap kelebihan dan juga kekurangan yang dimiliki.

Itu berarti, SohIB menerima kondisi dan situasi apa pun yang dialami, sebab orang yang mencintai dirinya tidaklah mungkin berniat untuk menyakiti dirinya. Dengan demikian, kamu akan berhasil mencukupkan diri dengan apa yang dipunyai.

Segala kekurangan dan kelebihan tersebut kita terima dengan apa adanya, meskipun mungkin saja ada orang yang mengharapkan ada apanya. Dampaknya sebagai makhluk sosial, kita juga dapat menerima orang lain dengan apa adanya. SohIB memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri.

Kemerdekaan. Keberhasilan dalam menerapkan standar penilaian diri pribadi menandakan kita telah menjadi manusia yang merdeka; bebas dari cara pandang lama yang memvalidasi omongan buruk orang terhadap diri kita, sebab tidak ada lagi istilah “kata orang” dalam proses penetapan standar tersebut.

Saya adalah saya, kamu adalah kamu, dan dia adalah dia. Kita sampai kepada sebuah pengertian bahwa semua manusia adalah subjek pada kisah hidupnya masing-masing, bukan objek. Dampaknya sebagai makhluk sosial, kita mampu mencintai orang lain, tetapi cinta tersebut tidak membuat kita merasa pantas untuk mengikat mereka.

Kebahagiaan. Sebelumnya, kita terikat oleh pelbagai beban paradima yang dikenakan orang atas kita, tetapi jangan salah, itu bisa terjadi karena kita mengizinkannya terjadi. Jadi, sebenarnya kitalah yang justru memperbudak diri sendiri, bukannya orang lain yang memperbudak kita.

Namun, tercapainya kecukupan diri dan kemerdekaan membuat kita terlepas dari pelbagai beban paradigma tersebut. Beban yang sejak lama pastinya menyakiti, hingga membuat potensi diri tertahan.

Puncak dari semuanya adalah kita berhasil mencapai kebahagiaan. Ini bukan kebahagiaan semu, sebab asalnya dari dalam diri kita; bukan pula hasil pujian orang lain belaka, melainkan hasil usaha kita dalam memahami keberadaan diri sendiri.

 

Sumber Referensi

  • Dika Sri Pandanari, “LSF DISCOURSE,” Kajian Tokoh: Beberapa Menit Bersama Sartre, July 19, 2020, accessed January 21, 2023, https://lsfdiscourse.org/jean-paul-sartre.
  • Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, Third. (U.S.A: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2003), 423.

[3] Ibid., 402.