Pulih Bersama Wanita Lembah Anjasmara

Pulih Bersama Wanita Lembah Anjasmara

Pulih Bersama Wanita Lembah Anjasmara

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel #Makin Tahu Indonesia

Siang itu Anis menangis, beriring terik matahari penuh yang mulai mengiris. Entah apa yang salah, atau mungkin nasib telah memaksanya pasrah.

Oleh teman sebayanya di “kota”, julukan anak dusun miskin ditempel tepat di dahinya. Atau adapula, yang ringan, menyebut Anis itu anak hutan. Beban? Tentu dan sangat berat bagi ia.

Bagi seorang gadis kecil seperti Anis, yang masih hanya bisa menangis.

Sepenggal paragraf di atas bukan merupakan karangan fiksi atau cuplikan narasi dari sebuah drama, melainkan kejadian nyata dari anak perempuan asal Dusun Mendira. Sebuah dusun di Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang mungkin namanya baru pertama terdengar di telinga rekan-rekan pembaca.

Sisi Lain Si Dusun Miskin

Kabut tipis masih menggaris tanah kala saya, rekan-rekan dan beberapa ibu asal Mendira mulai menjajak tanah menuju hutan desa. Di antara rombongan, terdapat sosok yang sudah saya kenal. Ialah Hayu Dyah Patria, seorang pemerhati lingkungan yang juga peneliti tanaman pangan liar.

Perjalanan menuju dalam hutan kawasan Mendira I Dokumentasi Pribadi
Perjalanan menuju dalam hutan kawasan Mendira I Dokumentasi Pribadi

Keberadaan saya di Dusun Mendira, tentu bukan tanpa alasan. Saya mengikuti acara Residensi Dusun Mendira, yang merupakan salah satu dari rangkaian upaya Mbak Hayu dan rekan sejawat menjawab permasalahan di dusun miskin tersebut.

Berkilas ke belakang, perbincangan saya bermula ketika waktu rehat tiba. Dipayungi tanaman perdu, obrolan saya dan Mbak Hayu mulai bergulat seru.

“Mbak Hayu melihat Mendira ini seperti apa?” tanya saya.

“Awalnya diajak teman yang bilang kalau dusun ini dusun miskin, warganya ingin berkembang,” jawab Mbak Hayu sambil selonjor di bilik kayu.

Lebih lanjut, ia bercerita ketika sampai di Dusun Mendira, ekspektasi awal dari sebuah dusun miskin justru terpental jauh dari benaknya. Apa yang ia lihat di Mendira adalah sebuah wilayah dengan kekayaan alam hayati dan bahan pangan liar yang sangat beragam.

“Surga” ketahanan pangan nampaknya.

“Apa yang di katakan orang lain tentang Mendira itu desa miskin, ternyata salah besar, di sana kaya.”

Beban Menanggung Para Wanita Gunung

Sambil memetik daun pegagan, Hayu lanjut menjelaskan. Selain permasalahan kesehatan, kesejahteraan juga menjadi isu yang tidak bisa dianggap remeh. Ketika pertama datang dan memperkenalkan diri, Hayu dan tim sudah disuguhi jawaban mencengangkan.

“Ketika saya pergi ke daerah pelosok, hampir 90% wanita yang saya tanyai, mau makan apa? Mereka jawab makanan untuk orang miskin mbak!”

Tumbukan liar yang bisa dimakan namun kian terlupakan I Dokumentasi Pribadi
Tumbuhan liar yang bisa dimakan namun kian terlupakan I Dokumentasi Pribadi

Jawaban makanan untuk orang miskin nyatanya merujuk pada beragam jenis kekayaan hayati berupa tumbuhan serta buah yang banyak tersedia di sekitar wilayah hutan Mendira.

Menurut Hayu, ini saja sudah merupakan keterbalikan mindset yang perlu untuk segera dibenahi.

Ketika di luar sana banyak bahan makanan organik yang sulit didapat karena harga atau ketersediaan, warga Mendira justru terjebak dalam pola pikir bahwa makanan hasil hutan yang sehat dan penuh manfaat, dianggap sebagai makanan “non-ningrat”.

Cabai hijau hutan, rasa pedasnya tak kalah mengigit I Dokumentasi Pribadi
Cabai hijau hutan, rasa pedasnya tak kalah mengigit I Dokumentasi Pribadi

Belum cukup bukti, penulis kembali menggali fakta lain terkait dengan opini masyarakat. Ada sebuah stereotip yang sudah lama menghantui masyarakat Mendira, tentang kebiasaan “ramban” atau mengambil hasil bumi yang ada di hutan atau di kebun di sekitar rumah.

Banyak orang yang menganggap bahwa ramban disimbolkan sebagai kebiasaan orang “kelas dua” yang layak mendapat celaan hingga cemooh yang menyakitkan.

Miris dan mengejutkan.

Awal Berjuang Melawan Ketertinggalan

Tak terasa perbincangan penulis dengan Mbak Hayu sudah cukup lama, ketika salah satu ibu-ibu menawarkan wedang jahe hangat yang terasa nikmat sangat, membalut tubuh dari sejuk hawa hutan yang masih pekat.

Ia menuturkan, hal pertama yang ia lakukan adalah mendekati para wanita yang ada di dusun tersebut. Ia merasa bahwa wanita memiliki peran sentral yang amat sangat penting bagi ketahanan pangan domestik.

Langkah besar mulai dilancarkan dengan tertancapnya panji Komunitas Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA) Mendira, sebagai wadah para wanita yang ada di Dusun Mendira untuk mengembangkan potensi diri lewat pemanfaatan kekayaan hayati dan pengembangan pangan liar.

Hayu Dyah dan warga Mendira membangun dapur komunitas I Dokumentasi Pribadi
Hayu Dyah dan warga Mendira membangun dapur komunitas I Dokumentasi Pribadi

Beberapa upaya, yang dilakukan yakni melakukan pendataan potensi dari kekayaan hayati yang ada di hutan sekitar desa. Hayu menemukan ternyata banyak tanaman yang bisa dimakan dan memiliki gizi sangat tinggi seperti tanaman krokot, tempuyung, lateng, sintrong dan lain sebagainya.

“Makanan organik di kira mahal, sebenarnya alam hutan itu “mall gratis” untuk makanan organik.” tegas Hayu.

Buah Usaha Wanita Mendira

Membutuhkan waktu hampir 1 tahun untuk kemudian hasil kerja keras ibu-ibu Mendira mulai terlihat jelas.

Dari kebun komunal yang mereka kembangkan, ibu-ibu bisa melakukan panen untuk beberapa jenis tanaman yang memiliki nilai jual cukup baik, salah satunya adalah daun sintrong yang mirip bayam namun memiliki cita rasa unik. Dari hasil panen tersebut, sebagian dimanfaatkan sendiri oleh warga dan sebagian lagi mulai ditawarkan untuk dijual.

 “Bisa setiap bulan mereka bisa dapat 6 jt, itu baru satu toko.”

Pasar organik di Surabaya tempat hasil panen KPSKA dijual I Dokumentasi Pribadi
Pasar organik di Surabaya tempat hasil panen KPSKA dijual I Dokumentasi Pribadi

Ini tentu menjadi jawaban atas salah satu masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat Mendira yakni terkait bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga. Bukti usaha untuk bangkit bersama di tangan kuat para wanita.

Pasar Hijau tempat hasil kebun KPSKA dijual I Dokumentasi Pribadi
Pasar organik di Surabaya tempat hasil panen KPSKA dijual I Dokumentasi Pribadi

Tidak berhenti di situ saja, langkah berikutnya yang ditempuh adalah dengan lebih memperkenalkan Mendira sebagai wilayah rekreasi edukasi alam yang menjanjikan.

“Kedatangan orang kota ke desa bisa meningkatkan rasa percaya diri warga. Dan ini penting sebagai motivasi.”

Ibu ibu Mendira membawa olahan hasil kebun komunitas I Dokumentasi Pribadi
Ibu ibu Mendira membawa olahan hasil kebun komunitas I Dokumentasi Pribadi

Akhirnya permasalahan sakral berhasil diselesaikan oleh Hayu Dyah di tanah Mendira yakni mengentaskan keterbalikan pola pikir warga.

Bagaimana tidak, jika dulunya bergantung pada pangan hutan diartikan beban yang berpotensi melahirkan olokan, kini lewat “ramban” warga justru makin mapan.

Opini hasil bumi yang didapat dari ramban, adalah makanan orang miskin, kini juga makin terkikis, tergerus fakta bahwa orang kota saja rela datang jauh hanya demi seikat daun sintrong yang nikmat.

Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk Pulih Bersama, sembari menikmati gaya Hidup Berkelanjutan di Mendira yang begitu memikat.

Memang usaha tidak akan pernah berkhianat