Milenial Mengaku Tidak Punya Cukup Uang untuk Membeli Rumah

Milenial Mengaku Tidak Punya Cukup Uang untuk Membeli Rumah

Rumah bagi milenial menjadi kebutuhan tersier | Pixabay (Pexels)

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Berbeda dibanding generasi sebelumnya milenial menganggap kepemilikan rumah bukan menjadi hal yang mendesak. Alih-alih membeli mereka lebih senang dengan menyewa tempat tinggal. Alasannya bisa bermacam-macam mulai dari fleksibiltas, berpindah-pindah agar menemukan suasana baru yang nyaman sampai keengganan memiliki hunian yang tidak sesuai dengan karakteristik ‘rumah idaman.’

Piggy Bank, Saving, and Money Image | Pixabay(Luxstorm)

Renter generation. Ya, itulah julukan untuk para milenial saat ini. Usia muda ‘mendesak’ mereka untuk memperoleh kebahagiaan sesegera mungkin sementara kebahagiaan di ‘usia tua’ seperti memiliki rumah nampaknya berada pada wishlist paling akhir.

Bukan berarti memiliki tempat tinggal tidak penting bagi mereka, gaya hidup anak muda saat ini memang agak sedikit berbeda dibanding pendahulunya. Terlihat jelas dari bagaimana mereka menyusun skala prioritas pada setiap jenjang kehidupan yang dilalui.

Taruhlah mereka dihadapkan pada dua pilihan antara membeli mobil atau menyicil rumah, manakah yang akan dipilih oleh para milenial menurut kamu?

Tergantung.

Mereka yang memiliki keinginan untuk berkeluarga biasanya akan lebih memilih untuk menyicil rumah dibanding mobil. Selain menawarkan citra positif kepada calon mertua,  keamanan anak dan istri tentunya menjadi prioritas. Kepemilikan rumah pribadi adalah prasyarat utama untuk membangun keluarga yang sehat. Tersedianya hunian yang layak menjadi salah satu ciri dari keluarga yang sejahtera.

Berbeda bagi mereka yang memutuskan single dalam jangka waktu tertentu. Produktivitas mereka biasanya ‘terjamin’ lewat ketersediaan sarana transportasi. Mobilitas harus terus terjaga se-ekstrem apapun cuacanya.

Memang betul bahwa saat ini bekerja dari jarak jauh menjadi hal yang biasa. Namun,  generasi produktif ini terlalu cepat bosan. Mereka rela menempuh sekian jarak untuk menemukan co-working space yang nyaman untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Tidak heran ketika pandemi banyak orang yang memilih bali sebagai lokasi yang ideal ‘work from home’. Padahal fasilitas internet sebenarnya hampir tersedia di berbagai sudut kota di Indonesia.

Artinya, hunian dimasa depan dalam dunia yang semakin hybrid harus bisa menyediakan suasana hiburan dan bekerja dalam satu ruangan yang sama.

Ini menjadi sinyal bagi para penyedia KPR ataupun developer bagaimana menggaet para milenial untuk memiliki hunian bukan hanya karena harganya yang terjangkau tetapi tersedianya productive space dalam satu bangunan. Secara estetika terpenuhi begitupun dari segi fungsionalnya.

Sayangnya ketika berbicara soal rumah masih banyak dikalangan masyarakat terutama dari mereka yang berpenghasilan rendah (MBR), termasuk milenial, masih tidak sanggup untuk membeli rumah.

Menurut survey Rumah.com, 50 persen milenial mengaku tidak punya cukup uang untuk membeli rumah.

House Building Drawing | Pixabay (Kalhh)

“Tiga alasan tertinggi yang menjadi hambatan generasi milenial untuk membeli properti,  yaitu yang pertama tidak memiliki cukup tabungan. Kedua belum menikah dan ketiga masih ingin merawat orang tua,” ujar Country Manager Rumah.com Marine Novita dalam Webinar Tren Hunian Pascapandemi: Temuan Konsumen Sentimen Studi dan Langkah Industri Properti.

Sementara survey yang dilakukan BTN mengungkapkan beberapa alasan milenial belum membeli rumah diantaranya belum menemukan rumah yang tepat (28,6%), belum mampu secara finansial (24,9%), belum mampu membayar DP (17%), belum mampu bayar KPR (10,4%), belum perlu (5,4%), dan belum terpikir (2,79%).

Seperti yang disampaikan di awal bahwa karakteristik hunian yang tidak sesuai dengan konsep ‘rumah idaman’ di kepala para milenial menjadi salah satu alasan mengapa renter generation lebih memilih untuk menyewa dibanding membeli rumah.

Direktur Utama PT.SMF, Ananta Wiyogo, juga mengungkapkan bahwa salah satu persoalan yang membuat generasi milenial sulit memiliki tempat tinggal atau rumah adalah soal selera.

“Tapi kan seleranya lain,dia ingin suasana rumah yang dekat dengan public transportation,dan harganya kan ngga bisa murah.Harusnya harganya yang lebih tinggi,” ujar Ananta dalam Webinar Ekosistem Pembiayaan Perumahan untuk mewujudkan Pembiayaan Perumahan yang Terjangkau, Rabu (23/11/2022).

Sudah bukan rahasia lagi jika harga properti selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Data terakhir dari Indonesia Property Market Index menunjukkan indeks harga properti naik tipis sebesar 1% secara kuartalan,sementara secara tahunan naik sebesar 4,9%.

Rata-rata milenial memiliki kemampuan membeli rumah pada kisaran harga 200 juta sampai 400 juta dengan cara kredit. Rumah seharga itu terkadang berada cukup jauh dari pusat perkotaan. Lokasi tempat tinggal yang terlampau jauh dari kantor tentunya hanya akan menambah beban pengeluaran.

Ketika harga rumah 400 jutaan berada dipinggiran kota, jauh dari tempat kerja, dan minimnya fasilitas transportasi, orang cenderung akan lebih memilih tinggal di pusat kota dengan fasilitas umum yang lengkap, sekalipun dengan cara menyewa.

Sementara ketika kita sibuk membayar biaya sewa perbulan, pihak lain terus membenahi diri dengan menyediakan fasilitas transportasi,pusat perbelanjaan dan fasilitas layanan kesehatan yang dekat dengan perumahan tersebut.

Lalu apa yang akan terjadi?

Permintaan rumah di lokasi tersebut mengalami peningkatan seiring dengan tersedianya fasilitas umum yang lengkap,dekat dan murah. Akibatnya, harga rumah menjadi semakin mahal.Kenaikan upah pun tidak sebanding dengan tingkat inflasi.

Suku bunga tidak dapat diprediksi begitupun dengan faktor eksternal lainnya yang bisa memicu gejolak ekonomi yang kuat. Pada akhirnya penundaan menjadikan para milenial makin sulit untuk membeli rumah.