Mengurus Akademik harus Menggerus Akhlak, Minat, dan Bakat (?)

Mengurus Akademik harus Menggerus Akhlak, Minat, dan Bakat (?)

Suasana Ruang Kuliah | Sumber: https://pixabay.com/photos/pendidikan-dosen-korea-6808074

Arah pendidikan Indonesia penuh dengan tanda tanya. Disrupsi teknologi membuat fokus pendidikan Indonesia selalu dikaitkan dengan Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Namun, nyatanya yang dihasilkan ialah mayoritas lulusan yang tidak lebih dari sekadar penghapal teori. Akibatnya, ketika terjun ke dunia kerja, para lulusan tersebut tak mampu berbuat banyak.

Memasuki masa akhir SMA, seseorang mulai berangan-angan tentang kehidupan setelahnya. Kata seorang pemuda, “Di umur 18, aku tamat SMA. Setelah itu, aku kuliah 4 tahun. Selepas lulus kuliah, aku akan langsung bekerja dan memberi gajiku ke orang tua. Lalu, beli rumah dan mobil di usia 24. Kemudian, menikah di usia 26.”

Boom! Betapa terkejutnya pemuda itu ketika melihat realitas tak seideal ruang sempit pemikirannya. Harus diakui —suka atau tidak— kalau sistem pendidikan negara kita punya andil dalam terciptanya konstruksi angan-angan yang demikian.

Baru-baru ini, seorang teman bercerita kepada saya. Dalam salah satu kegiatan mahasiswa di tempatnya menuntut ilmu, ada sebuah sesi pemaparan materi mengenai kehidupan di dunia kerja.

Sayangnya, itu diberikan oleh kakak-kakak tingkatnya yang sama sekali belum pernah kerja. Padahal, orang ini tahu betapa sulitnya bekerja untuk mencari uang, sebab dia senantiasa membantu usaha doorsmeer (cuci kendaraan) orang tuanya. Miris sekali ketika mengetahui bahwa kekonyolan semacam itu terjadi di salah satu kampus di Indonesia. Tempat belajar yang siswanya dilabeli kata “maha”!

Untungnya, mulai ada upaya untuk mereduksi hal-hal serupa terjadi. Meski masih dalam proses, pemerintah telah menyadari bahwa diperlukan sinergi langsung dengan DU/DI itu sendiri. Di tingkat perguruan tinggi, itu diwujudkan melalui program “Kuliah Merdeka”. Hanya saja, program serupa belum maksimal atau belum terjadi sama sekali di jenjang SMA/sederajat.

Manusia Robot

Konon katanya, SMK mampu mencetak tenaga kerja berkualitas. Memang ada program Prakerin (Praktik Kerja Industri) bagi siswa-siswa SMK, tetapi pencapaiannya belum komprehensif. Persiapan dan pembekalan yang dilakukan masih jauh dari kata cukup.

Keterbatasan pencapaian program itu selalu dipengaruhi alasan yang berpola (mirip-mirip di setiap SMK). Mulai dari ketidaktersediaan fasilitas, durasi teori dan praktik yang belum sesuai, kurangnya kecakapan guru dalam memaparkan materi tentang teknologi up to date (terkini) yang selalu update (berkembang), koordinasi pemerintah yang lemah dalam menjembatani sekolah dengan DU/DI hingga jurusan yang ternyata tak sesuai dengan minat dan bakat siswanya.

Alasan terakhir ini adalah hal klasik yang merupakan dampak ketika akademik dikedepankan, sementara minat dan bakat diabaikan.

Jika yang diperbaharui hanya akademiknya saja, maka jangan heran jika yang tercipta adalah manusia robot. Wujud dan tenaganya memang manusia, tetapi pengetahuannya sebatas teori —karena tidak sesuai minat dan bakat— dengan pola pikir yang tidak lebih daripada robot, yakni “cukup lakukan apa pun yang diperintahkan”.

Robot itu penurut dan mampu bersiaga 24 jam penuh, tetapi tak pernah kehabisan tenaga. Robot bahkan mampu belajar dari banyak guru pada saat yang bersamaan sehingga meski pola pikirnya statis, pengetahuannya dapat berkembang pesat.

Contohnya ialah Translators (aplikasi-aplikasi penerjemah bahasa) dan ChatGPT yang belakangan masif diperbincangkan. Oleh karenanya, jangan heran kalau isu “Artificial Intelegence (AI) akan menggantikan manusia” makin bergaung. Lha wong kualitas manusia kebanyakan saja tidak lebih baik daripada robot ciptaan manusia lainnya.

Oleh karena itu, pertama-tama mestinya dunia pendidikan harus dibuat untuk mendukung minat dan bakat. Manusia bisa berkreasi dan berinovasi ketika pola pikirnya dinamis. Pengetahuan akademik yang kita pelajari bertahun-tahun bisa terlupakan.

Namun, passion (gairah) selalu mendorong kita menjadi enthusiast (penggila), sehingga minat dan bakat itu baru hilang bersamaan dengan kematian kita. Meskipun demikian, hasil karya dari minat dan bakat akan tetap abadi.

“Buku” dan “konsep demokrasi” adalah dua dari sekian banyak contoh karya yang tercipta melalui bakat dan minat. Keduanya tetap abadi meski pengarang atau penciptanya sudah mati.

Keduanya lahir dari pemikir-pemikir yang mendedikasikan dirinya kepada minat dan bakat mereka, bukan lahir dari rahim penghapal belaka. Menariknya, sama seperti buku yang konkret, demokrasi yang wujudnya abstrak pun juga amerta.

Perbedaan lainnya antara manusia dan robot ialah keberadaan emosi dan nalar. Keduanya memampukan manusia untuk membedakan benar dan salah. Robot bisa belajar dari banyak guru pada saat bersamaan, tetapi —saking penurutnya— robot akan tetap menyerap informasi apa pun tanpa memperhatikan benar-salahnya.

Itulah mengapa, translators tak selalu benar dalam memberikan terjemahan. Grammar atau tata bahasanya pun bisa jadi ngawur. Dalam translators sudah ditanamkan kemampuan penerjemahan bahasa.

Kemudian, begitu diluncurkan translators akan belajar dari semua penggunanya. Padahal, tak semua penggunanya itu mahir berbahasa, apalagi mau memberikan feedback (umpan balik) bila ada kesalahan terjemahan.

Emosi dan nalar juga memiliki keterkaitan dengan akhlak. Akhlak di sini bukan soal etiket saja. Bukan pula tentang “terlihat manut” kepada ajaran agama. Di Indonesia, kita sudah berulang kali dipertontonkan kelakuan orang-orang yang mengenakan identitas agama untuk mencapai kepuasan atau mencari pembenaran diri semata. Sebuah kereligiusan yang hanya tampak di permukaan saja.

Oleh karenanya, berakhlak berarti menjadi manusia yang inheren dengan kemanusiaan. Sam Ratulangi menyebutnya sebagai “si tou timou tumou tou [manusia yang memanusiakan manusia]”.

Artinya, seseorang bisa disebut sebagai manusia yang utuh (autentik) ketika mampu memanusiakan manusia (dirinya sendiri dan orang lain). Dengan kata lain, akhlak adalah integritas manusia itu sendiri.

Humaniora sebagai Solusi

Kita sampai pada pertanyaan: “jalan ninja” apa yang bisa ditempuh untuk mengharmonikan akhlak, minat, bakat, dan akademik? Jawabannya ialah dengan membuat suasana pendidikan yang inklusif. Suasana dengan jumlah pengajar dan fasilitas ajar antara keempat elemen tersebut tidak berat sebelah.

Dewasa ini, sebuah institusi pendidikan selalu dihubung-hubungkan dengan profit (baca: pertumbuhan ekonomi dari segi keuangan) yang akan dihasilkan lulusannya bagi negara. Kita tentu perlu ekonom, insinyur, developer aplikasi, dan tenaga ahli lain yang “berkelas”. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan sains memang penting dalam satuan pendidikan.

Namun, bukankah tujuan pendidikan (dan negara) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah cerdas cuma identik dengan intelektualitas? Percuma rakyat Indonesia semuanya intelek, jika itu dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban sebagai warga negara (maupun warga dunia). Percuma pejabat berasal dari elite berpendidikan kalau terjerat KKN.

Sejarah dunia bahkan mencatat kalau hal sehebat “teori relativitas khusus” dari sang genius —Albert Einstein— pun disalahgunakan orang-orang genius lainnya untuk menciptakan bom atom yang membunuh banyak jiwa.

Oleh karenanya, sebagai fondasi keutamaan pendidikan, Indonesia memerlukan humaniora. Ilmu yang memajukan manusia untuk menjadi manusia autentik, seperti seni, filsafat, sejarah, dan lainnya.