Mengenal Sosok Inem Jogja: Menebar Kebaikan Untuk Kemanusiaan

Mengenal Sosok Inem Jogja: Menebar Kebaikan Untuk Kemanusiaan

Mengenal Sosok Inem Jogja: Menebar Kebaikan Untuk Kemanusiaan

Sosok Inem Jogja | Sumber: Suara.com

 

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Inem Jogja, seorang wanita paruh baya yang mengabdikan dirinya bagi orang-orang miskin dan menderita di sekitaran kota Yogyakarta. Inem Jogja merupakan salah seorang tokoh inspiratif, yang peduli terhadap liyan, yakni mereka yang menjadi “orang ketiga” (disingkirkan) dalam masyarakat.

Inem merekam segala aksinya di jalanan saat ia membantu orang-orang yang kerap kali  keberadaannya tidak diperhitungkan. Melalui media sosialnya, Inem berusaha  untuk menebarkan kebaikan. Ia berusaha mengajak orang untuk peduli kepada mereka yang  membutuhkan. Inem merupakan salah satu sosok sahabat sejati bagi mereka yang miskin,  lemah, kecil, dan tersingkir. Inem adalah sahabat sejati bagi liyan. Kisah Inem Jogja menggugah penulis untuk merenungkan kembali makna “menjadi  sahabat bagi liyan”.

 

Siapakah Sosok Dibalik Inem Jogja?

Made Dyah Agustina adalah pribadi dibalik sosok Inem  Jogja. Made adalah lulusan Program Pasca Sarjana Magister  Pertunjukan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.  Sebelum menjadi Inem, Made merupakan dosen dari salah satu  perguruan tinggi di kota Yogyakarta. Namun, setelah empat  tahun bekerja sebagai dosen, Made memilih resign dari  pekerjaannya, sebab ia merasa tidak memiliki banyak waktu  bagi keluarganya.

Di waktu senggangnya mengurus rumah tangga, Made memutuskan untuk melakukan kegiatan positif, yang berguna bagi masyarakat. Akhirnya, Made memilih menjadi sosok Inem yang menolong orang-orang kecil, miskin, menderita dan tersingkir di kota Yogyakarta. Sosok “Inem” dipakai oleh Made, sebab biasanya nama Inem identik dengan pelayan atau pembantu. Made ingin menjadi sosok Inem yang membantu dan melayani masyarakat Yogyakarta.

Inem Membantu Masyrakat | Sumber: Jateng.Tribunnews.com

 

Berperilaku seperti “Wong Edan” untuk Menebar Kebaikan

Ketika menjalankan aksinya di jalanan, Inem selalu berpenampilan nyentrik, bahkan terkesan aneh. Pasalnya ketika Made menjadi Inem, ia merias wajahnya mirip seperti “badut”. Bahkan banyak orang sering menyebutnya “Wong Edan”, sebutan bagi orang gila dalam bahasa Jawa. Inem mengaku tak masalah jika orang menyebutnya wong edan, baginya lebih baik menjadi wong edan tapi bermanfaat daripada menjadi orang waras namun tidak berguna.

Sosok Inem yang terbilang aneh ini, sebenarnya mengungkapkan beragam filosofi  kehidupan. Made sendiri mengatakan bahwa sosok Inem sebenarnya transpirasi dari sebuah  tarian berjudul “Edan-edanan”. Filosofi dari tari “Edan-edanan” adalah sebagai tolak bala dari  pengaruh negatif. Jadi, sosok Inem hadir sebagai simbol mengusir hal-hal negatif di kota  Yogyakarta.

Inem Bersahabat dengan liyan | Sumberjateng.tribunnews.com

Beragam Aksi Inem Jogja

Lalu aksi apa saja yang telah dilakukan oleh Inem selama ini? Made mengungkapkan bahwa sosok Inem mulai diperankannya sejak Januari 2018. Sejak saat itu, Inem telah melakukan berbagai aksi yang inspiratif. Inem turun ke jalanan seputar kota Yogyakarta untuk membantu para pedagang kecil, membagikan makanan dan Inem membagikan makanan kepada tukang becak sembako, serta mendengarkan berbagai keluh kesah mereka. Made sendiri mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak memiliki waktu khusus untuk menjadi sosok Inem. Selagi Made memiliki waktu luang dari rutinitasnya, ia turun ke jalan dan menebar kebaikan melalui sosok Inem. “Saya jadi Inem ini kan untuk mengisi waktu luang. Jadi, seminggu bisa cuma sekali keliling Jogja atau kalau memang benar-benar banyak waktu luangnya, ya bisa seminggu sampai empat kali”, ungkap Made. Walaupun hanya sebatas pengisi waktu luang, tindakan Inem ini sungguh bermanfaat bagi banyak orang. Jika melihat berbagai akun media sosial milik Inem Jogja, terlihat banyak orang merasa terhibur sekaligus teringankan bebannya dengan hadirnya sosok Inem ini. Misalnya saja, banyak pedagang atau pengrajin kecil yang barang-barangnya dibeli oleh Inem. Bahkan kadang kala Inem juga membantu mereka berjualan. Inem juga menjual nasi kotak dengan harga yang sangat murah, sebesar dua ribu rupiah saja, kepada mereka yang berkekurangan. Inem juga menyediakan telinganya untuk mendengarkan cerita dan keluh kesah para pedagang dan orang-orang kecil, serta mereka para lansia.

Selain membantu mereka yang menderita, Inem juga melakukan aksi sosial lain, misalnya membersihkan sampah di jalanan, serta membersihkan tempat-tempat ibadah, kendatipun rumah ibadah itu bukan rumah ibadah dari agamanya. Semua itu dilakukan Inem semata-mata untuk berbuat baik, dan ingin berguna bagi sesamanya. Inem menolong tanpa memandang latar belakang orang yang ditolongnya.

Inem bukan hanya membantu mereka yang berkekurangan, namun juga menggerakkan orang untuk peduli kepada mereka yang menderita. Aksi Inem ini ternyata menyentuh hati banyak orang, mendorong mereka berbuat baik kepada sesama. Mereka mengirimkan berbagai donasi mulai dari uang, makanan, sembako, dan berbagai barang lainnya kepada Inem untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Meskipun mendapat banyak donasi, Inem tidak pernah ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, semua disalurkannya bagi mereka yang membutuhkan.

Masa pandemi Covid-19 tidak menyurutkan niat Inem untuk berbuat baik. Sebaliknya,  Inem tertantang untuk menolong sesamanya. Dibantu oleh beberapa donatur, Inem  membagikan berbagai sembako, masker, dan hand sanitizer, dengan tetap mematuhi protokol  kesehatan yang ada. Inem membagikan sembako, masker dan hand sanitizer kepada driver ojek  online, tukang parkir, pedagang kaki lima, pengemis dan juga gelandangan. Inem juga  menyerukan kepada masyarakat dan anak-anak kecil pentingnya melaksanakan gerakan 3M  (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) yang digalakkan pemerintah sebagai upaya  meminimalkan penyebaran virus Corona. 

Beranikan kita menjadi “Wong Edan” seperti Inem?

Inem membuat kita berkaca, bagaimana dengan kehidupan kita kini? Sudahkah kita menjadi sahabat bagi liyan di sekitar kita? Liyan di masa kini adalah mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, mereka yang hidup di jalanan, mereka yang kehilangan pekerjaannya, mereka yang usahanya menjadi bangkrut, mereka yang sering kali ditolak keberadaannya oleh masyarakat.

Mampukah kita keluar dari zona nyaman kita untuk menjadi sahabat bagi liyan, seperti yang diteladankan oleh Inem? Maukah kita keluar dari keegoisan kita untuk menyapa, peduli dan membantu mereka yang berkesusahan? Masa Pasca Pandemi menuntut kita menjadi “wong edan”, bukan dalam arti mengalami gangguan jiwa, namun menjadi orang yang melampaui batas keegoisan kita. Kita diajak oleh Inem untuk memiliki kesadaran “Aku” yang hidup guna bermanfaat bagi orang lain. Kita diajak untuk menjadi wong edan, yang memiliki empati kepada mereka yang menderita, mencintai mereka layaknya kita mencintai diri kita sendiri. Kita diminta untuk mengasihi liyan secara afektif (secara perasaan) sekaligus efektif (melalui tindakan yang tepat guna). Kita menjadi edan karena kita melakukan yang tidak biasa dilakukan kebanyakan orang. Kita edan karena mau berempati, mencintai, melayani dan bersahabat dengan liyan. Kita diminta menjadi pribadi yang baru, yang mau menjadi wong edan untuk mau peduli, menolong, dan bekerja sama dengan siapa pun untuk kesejahteraan bersama.