Pemuda & Gerakan Anti-Radikalisme : Memulai dari Indonesia

Pemuda & Gerakan Anti-Radikalisme : Memulai dari Indonesia

Bendera Indonesia | unsplash.com

SohIBBerkompetisiArtikel

Sudah sejak lama Asia Tenggara dikenal sebagai kawasan dengan peranan yang sangat penting dalam percaturan ekonomi dan politik global. Posisinya yang strategis dan bentang alamnya yang kaya membuat kawasan ini menjadi ajang tarik-menarik pengaruh antar negara adikuasa. Ajang tarik-menarik ini bahkan tidak banyak mengalami perubahan meski beberapa dekade telah berlalu. Jika sebelumnya persaingan muncul antara AS dan Soviet, maka sekarang, peta percaturan bergeser menjadi persaingan antara AS dan Tiongkok.

Kondisi geopolitik yang ‘selalu’ tidak stabil inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa ASEAN menjadi penting untuk didirikan, apalagi selat itu negara-negara di Asia Tenggara masih dihantui berbagai ancaman, maka menjaga stabilitas kawasan menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.

https://unsplash.com/photos/7dnIhDzIDnI
a red and white flag flying in the wind | unsplash.com

Pendirian ASEAN memiliki urgensi yang sangat besar bagi negara-negara di Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri misalnya, pendirian ASEAN memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berkembang dengan lebih cepat, baik dari segi ekonomi, teknologi, pendidikan, maupun aspek-aspek lainnya, terlebih ASEAN berpotensi untuk menjadi kawasan yang sebanding dengan Uni Eropa.

Meski demikian, sampai saat ini, ASEAN masih dihadapkan pada kegamangan karena permasalahan kepemimpinan dan stabilitas internal yang masih bermasalah. Isu terorisme, radikalisme, dan intoleransi menjadi salah satu isu yang mengganjal, terutama dalam hal kesejahteraan dan keamanan di kawasan. ASEAN, hari ini, tengah dihadapkan pada bottle neck yang harus segera dipecahkan.

Radikalisme agama & stabilitas yang terganggu

Kondisi instabilitas keamanan di negara-negara ASEAN mulai meruncing sejak maraknya aksi terorisme dan menyebarnya paham radikalisme yang dipelopori oleh jaringan-jaringan radikal di beberapa negara ASEAN, seperti JI di Indonesia dan Abu Sayyaf di Filipina. Kehadiran kelompok-kelompok ini juga mulai melahirkan ancaman Iaten , seperti menyebarnya paham radikalisme di kalangan anak muda dan lahirnya sikap intoleransi di tengah masyarakat.

Narasi radikalisme seakan mendapat angin segar di beberapa tahun terakhir sejak meruncingnya isu-isu agama di Iingkungan politik, sebut saja insiden "pelecehan" yang dilakukan oleh salah satu pejabat publik di tahun 2016 lalu. Insiden ini sontak menimbulkan kegaduhan dan diikuti dengan munculnya narasi-narasi radikalisme di media sosial .

Hal ini sejalan dengan penelitian Affandi (2004) yang menyebutkan kalau radikalisme muncul sebagai ekspresi ketidakpuasan atas kondisi yang ada di sekitarnya dan umumnya didorong oleh pemahaman keagamaan yang ekstrem dan keras. Akibatnya, radikalisme seringkali dilekatkan dengan perang sabil untuk melawan penguasa yang lalim dan pada akhirnya, aksi-aksi radikalisme selalu erat kaitannya dengan tindak kekerasan dan upaya mengeliminasi pihak yang menjadi lawan.

https://unsplash.com/photos/LheHIV3XpGM
Ruined side-street in Shingal (Sinjar) following war with the Islamic State | Unsplash (Levi Meir Clancy)

Menurut hemat penulis, penyebaran radikalisme sebagai narasi menjadi alasan mengapa radikalisme cepat sekali menyebar terutama di Indonesia. Kondisi ini terbentuk akibat kurangnya pembekalan terhadap masyarakat untuk mengenal ajaran agamanya secara utuh, ditambah lagi dengan narasi anti pemerintah di tengah lahirnya kebijakan-kebijakan non-populis. Pemerintah dianggap sebagai entitas yang sudah menyimpang dari ajaran agama dan dianggap menyengsarakan masyarakat.

Kondisi ini diperparah dengan hilangnya rasa nasionalisme yang membuat masyarakat cenderung menempatkan pemerintah pada posisi antagonis. Akibatnya, masyarakat tidak mampu menimbang secara kritis atas narasi-narasi kekerasan yang disampaikan dan cenderung mengamini narasi radikal yang diterima, terutama apabila dikaitkan dengan pemerintah & kelompok lain sebagai lawan.

Pada akhirnya, radikalisme dan intoleransi menjadi duri yang sangat mengganggu. Kohesivitas sosial & kolaborasi yang diharapkan dapat mendorong kemajuan negara justru terkorbankan akibat masyarakat yang menjadi lebih tertutup dan cenderung sensitif menghadapi perbedaan.

Pemuda Indonesia untuk stabilitas ASEAN

Paparan paham radikalisme memang sudah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Apalagi kini, radikalisme tidak hanya mengincar kelompok-kelompok agamis untuk dipengaruhi, melainkan mulai bergeser ke kalangan muda sebagai target utama.

Berdasarkan informasi yang berhasil penulis kumpulkan, narasi radikalisme saat ini umumnya mengincar pemuda dengan rentang usia 17-24 tahun karena dianggap masih mudah dipengaruhi. Hal ini terbukti dari aksi terorisme yang umumnya menggunakan anak-anak muda sebagai eksekutor, seperti kasus bom Ritz Carlton, bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, dan banyak lagi. 

Menghadapi isu yang kian mengkhawatirkan ini, peran pemuda sangat dibutuhkan untuk mempelopori gerakan anti radikalisme. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, seperti gaya penyampaian yang lebih mudah diterima, daya kreatif yang masih segar, serta keluwesan dalam menggunakan teknologi, apalagi saat ini media sosial dan anak muda menjadi dua hal yang paling rentan terkontaminasi oleh radikalisme.

Menurut penulis, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh para pemuda Indonesia untuk berkontribusi dalam mengentaskan permasalahan radikalisme ini, antara lain:

Pertama, memperdalam pemahaman agama terutama dalam konteks keindonesiaan. Memahami agama secara utuh dapat menjadi proteksi awal untuk menghindarkan diri dan orang lain dari paparan radikalisme.

https://unsplash.com/photos/d5Nk3q23ky4
house of worship in İstanbul, Turkey | Unsplash by jim pave

Gus Yasin dalam salah satu wawancara pernah mengatakan kalau radikalisme bisa diatasi dengan cara memperdalam pemahaman tentang agama agar tak ada lagi narasi keagamaan yang dipelintir demi kepentingan sekelompok orang.

Kedua, membekali diri dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang cukup. Proses berpikir yang terbentuk saat proses belajar mengajar dapat mengasah seseorang untuk menyaring kembali informasi yang didapatkan, termasuk narasi-narasi radikal yang berbahaya.

Selain itu, ilmu pengetahuan juga dapat mendorong seseorang untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi banyak orang. Karya inilah yang nantinya akan digunakan sebagai media dalam pengentasan radikalisme secara luas.

Ketiga, aktif bermedia sosial dan membangun jaringan lintas negara.

Kominfo dalam rilisnya menjelaskan bahwa paham radikalisme menyebar melalui media sosial dan pesan-pesan daring. Paham radikalisme ini disebarkan melalui berbagai bentuk, seperti artikel digital, status di media sosial, video, bahkan melalui percakapan sehari-hari.

Penyebaran paham melalui media-media daring seperti inilah yang membuat persebaran radikalisme sangat sulit untuk dilacak, bahkan tindakan kuratif hampir mustahil untuk dilakukan. Pada kondisi ini, sama seperti penyebaran paham yang dilakukan secara sporadis, penanganannya juga perlu dilakukan secara sporadis dan masif. Di titik inilah peran para pemuda yang telah terasah pemikirannya sangat diperlukan.

Para pemuda sebagai pihak yang lahir ‘bersama’ teknologi setidaknya memiliki pemahaman yang lebih mendalam saat menggunakan media sosial, selain itu mereka juga memiliki pendekatan, gaya bahasa, dan cara-cara yang lebih bisa diterima oleh generasi sebayanya dibandingkan jika dilakukan oleh generasi sebelumnya.

Melalui tahapan-tahapan ini, penulis rasa, penyebaran paham radikalisme dan intoleransi dapat diredam dan dientaskan perlahan-lahan. Meski demikian, peranan pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk menghadirkan generasi muda berkarakter dengan pemahaman agama yang baik, bersifat nasionalis, dan memiliki narasi yang matang untuk melawan penyebaran paham-paham berbahaya di lingkungannya.

Jika kondisi ini bisa terbentuk, bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti Indonesia dapat menjadi barometer dalam pengentasan terorisme dengan cara santun.