Makan Tidak Habis Bikin Bumi Menangis

Makan Tidak Habis Bikin Bumi Menangis

Limbah Makanan oleh Jas Min | Unsplash

Mulai dari suhu yang meningkat hingga bencana alam telah banyak kita rasakan, begitulah gejala krisis iklim. Bukan hanya akhir-akhir ini saja, sejak ditemukannya mesin uap dan dimulainya revolusi industri sekitar abad ke-18, iklim bumi telah mengalami perubahan secara signifikan.

Peningkatan aktivitas ekonomi seperti produksi, distribusi, hingga konsumsi sejalan dengan peningkatan gejala kerusakan bumi. Deretan gejala krisis iklim setiap harinya semakin bertambah dan memburuk hingga saat ini.

Krisis iklim menjadi isu atau perbincangan utama abad ini. Mengutip pernyataan Antonio Guterres, saat ini bumi tidak lagi ada di fase pemanasan global (global warming), tetapi sudah pada fase pendidihan global (global boiling). Perlahan tapi pasti, gejala krisis iklim yang tidak segera diatasi akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia.

Climate.Gov

Adapun ancaman yang akan dihadapi jika krisis iklim terus terjadi, antara lain masalah ekonomi, masalah kesehatan, hingga masalah sosial masyarakat. Sebuah laporan, ditilik dari CNBC Indonesia, menunjukkan bahwa kerugian akibat krisis iklim global telah mencapai US$391 juta atau setara Rp 62,21 triliun per hari (kurs=Rp15.900/dolar AS) selama dua dekade terakhir.

Perkembangan aktivitas manusia menjadi faktor utama terjadinya perubahan iklim. Salah satu efek dari aktivitas manusia adalah emisi gas rumah kaca.

Dilansir dari Detik, Emisi gas rumah kaca antropogenik sendiri adalah gas buangan yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dapat berupa berbagai macam senyawa gas, mulai dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NO2), dan berbagai macam lainnya. Salah satu aktivitas penyumbang gas buangan yang sering tidak kita sadari adalah kebiasaan untuk menyisakan makanan.

Limbah makanan kontributor utama

Hal yang sering dianggap sepele ternyata menjadi faktor utama penyebab krisis iklim. Aktivitas menyisakan makanan atau food waste berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Saat membusuk di tempat pembuangan sampah, ia menghasilkan gas rumah kaca yang disebut metana, yang lebih berbahaya daripada CO₂.

Gas rumah kaca juga dikeluarkan dalam produksi dan transportasi makanan. Emisi dari kendaraan yang mengangkut makanan menghasilkan CO₂. Menurut United Nation Enviroment Programme (UNEP) dalam Food Waste Index Report 2021, diperkirakan 8-10% emisi gas rumah kaca secara global dihasilkan dari makanan sisa yang terbuang.

Berdasarkan laporan yang sama, ditemukan beberapa fakta seperti terdapat kurang lebih 931 juta ton makanan terbuang pada tahun 2019, yang mana sekitar 60% di antaranya berasal dari limbah rumah tangga, kemudian 26% berasal dari layanan penyedia makanan (restaurant, warung makan, dan lainnya) dan 13% berasal dari retail.

Sementara itu data dari KLHK pada tahun 2021, diketahui bahwa dari keseluruhan limbah yang dihasilkan di dunia sekitar 1/3-nya adalah sampah berupa sisa makanan (29,1%).

Dampak limbah sisa makanan:

  • Semua sumber daya yang digunakan dalam setiap proses terciptanya makanan menjadi sia-sia.
  • Biaya lingkungan yang harus dibayar, terutama dalam setiap proses produksi makanan, mulai dari pembukaan lahan, limbah yang dihasilkan, pendistribusian makanan, hingga proses pengolahan makanan hingga siap makan.
  • Kontributor gas emisi rumah kaca yang memperparah krisis iklim secara langsung. Limbah sisa makanan yang membusuk di tempat penampungan sampah menghasilkan gas metana. Selain itu, setiap proses produksi dan distribusi makanan juga menghasilkan gas CO2.

Memahami isu iklim secara menyeluruh adalah suatu keharusan. Menyasar pada penyebab utama krisis iklim, kita harus cermat dan segera dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Sebagai individu yang peduli, bisa dengan mengurangi konsumsi produk yang menyumbang gas emisi rumah kaca, kemudian mulai merubah kebiasaan sehari-hari terutama dalam konsumsi makanan.

Mulai dari bijak dalam mengonsumsi hingga bijak dalam mengelola sampah. Seperti pepatah mengatakan, “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”.

Semoga bermanfaat!

 

 

Sumber:

  • https://www.cnbcindonesia.com/news/20230809062618-4-461295/ini-bukan-lagi-era-global-warming-tapi-global-boiling
  • https://www.cnbcindonesia.com/research/20231029155745-128-484594/krisis-iklim-bikin-boncos-dunia-rugi-rp62-triliun-per-hari
  • "Krisis Iklim: Refleksi Sebuah Ketidakberdayaan" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6763693/krisis-iklim-refleksi-sebuah-ketidakberdayaan.
  • Fao.org. 2015. Food and Agriculture Organization of the United Nations, SAVE FOOD: Global Initiative on Food Loss and Waste
  • https://www.unep.org/resources/report/unep-food-waste-index-report-2021
  • https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2022/05/25/food-loss-food-waste-ketika-makanan-yang-terbuang-menjadi-masalah-bagi-lingkungan/