Cara Klasik Menuju Kesejahteraan

Cara Klasik Menuju Kesejahteraan

Kesejahteraan yang hakiki akan lahir dari hati dan kesadaran diri untuk saling menghargai

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

 

Kesejahteraan negeri dimulai dari kemuliaan hati | PlexReel (www.plexreel.com)

Saat menyaksikan serial petualangan misteri yang diadaptasi dari salah satu novel karya Trenton Lee Stewart, dengan judul ‘The Mysterious Benedict Society’, saya merasa baru saja menemukan satu gagasan menarik tentang anak muda dan masa depan Indonesia.  Dimana dalam serial tersebut, digambarkan ada dua sosok orang dewasa yang cerdas, dengan orientasi hidup yang berbeda. Satu pihak bersikuku menjaga kedamaian. Sementara pihak lainnya justru sibuk merusak ketenangan.

Mr. Curtain sebagai tokoh antagonis dalam serial tersebut, dikisahkan tengah memperalat anak-anak yang cerdas, untuk membantunya mengirimkan sinyal-sinyal negatif ke alam bawah sadar semua orang. Menciptakan ilusi panik yang mau tidak mau akan membuat semua orang menjadi lupa dengan tujuan hidupnya masing-masing. Dalam serial tersebut, orang-orang dibuat tidak sadar bahwa mereka sedang melangkah menuju krisis global.

Melalui sebuah teknologi yang disebut dengan ‘alat pembisik’, Mr. Curtain memilih anak-anak berprestasi untuk menjadi ‘pembawa berita’. Dimana anak-anak dengan label ‘pembawa berita’ tersebut, nantinya akan mendapatkan banyak previlage, yang tentu saja membuat mereka semakin nyaman untuk duduk di ‘alat pembisik’. Sebuah posisi yang tanpa mereka sadari, akan menjadi sebab kerusakan pada tatanan penduduk dan kotanya sendiri. Posisi yang akan membuat mereka semakin konsumtif dan kehilangan moral-moral dasar kehidupan, seperti: kejujuran, kepeduliaan, ketegasan, keberanian, pemikiran kritis, prioritas, dan tujuan.

Plot twits dari serial ini cukup menarik sebagai bahan kajian. Dimana pada dasarnya, yang dapat merusak masa depan adalah anak muda, dan hanya anak muda jugalah yang mampu memperbaikinya. Kecerdasan menjadi topik utama dari sebuah kehebatan. Tapi bukan menjadi sebab utama dari lahirnya kedamaian.

Lalu saya tertarik untuk mencari tahu, berapa banyak jumlah anak muda di Indonesia, dengan merujuk kepada standar ‘anak muda’ menurut UU Kepemudaan yang berkisar 16-30 tahun. Dan dari situs sensus.bps.go.id, tercantum bahwa lebih dari 50% penduduk Indonesia terdiri dari kategori milenial (1981-1994), generasi z (1995-2010), dan generasi z ‘alpha’ (2011-sekarang). Belum lagi jika dikalkulasi dengan dampak pandemi COVID-19 yang menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan pertanggal 24 Juni 2022; 95,7% pasien yang meninggal dunia akibat COVID-19 adalah penduduk Indonesia dengan rentan usia 31-60 tahun ke atas. Hal ini semakin memberi gambaran bagi saya, tentang betapa anak muda menjadi mayoritas di negeri ini.

Tingginya pengunjung jobfair sebagai cermin angka pengangguran | UNY Community (unycommunity.com)

Namun sayangnya, kehadiran COVID-19 di Indonesia sejak 2 Maret 2020, membuat keadaan menjadi semakin tidak bersahabat dengan anak muda. Fakta lapangan yang diulas oleh Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan bahwa pertanggal 27 Mei 2020, ada sekitar 3.05 juta pekerja yang dirumahkan, dan bahkan beberapa diPHK. Menaker Ida Fauziah memperkirakan, bahwa COVID-19 akan menambah angka pengangguran sebanyak 3-5% di tahun 2020. Belum lagi Menteri PPN atau Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang juga memperkirakan, bahwa jumlah pengangguran pada tahun 2021 akan dapat mencapai angka 10,7-12.7 juta orang. Ini berarti, sekitar 7,7%-9,1% anak muda di Indonesia mungkin saja menjadi pengangguran.

Lalu, apa relevansi dari serial ‘The Mysterious Benedict Society’ yang saya mention di awal, dengan kondisi lapangan yang terjadi pada anak muda saat ini? Ada dua hal yang menarik bagi saya, selaku generasi z. Dimana yang pertama; kita, selaku anak muda, sedang dihadapkan pada sebuah ‘takdir’ yang melibatkan perekonomian global. Dalam situasi seperti ini, belum banyak pengaruh yang bisa kita berikan. Terlebih dengan tantangan ekonomi yang harus kita pikul sebagai seseorang yang terdampak pandemi. Sampai mungkin, kita merasa bahwa belakangan ini segala sesuatu jadi semakin di luar kendali. Setiap rencana dan strategi bahkan tidak lagi mungkin untuk dieksekusi.

Seperti itulah kurang lebih cara masa depan menantang kita. Membuat segala yang kita lakukan saat ini terasa kecil dan tidak berarti. Tidak cukup punya peran untuk memberi dampak bagi orang lain. Tapi justru di sinilah relevansinya. Dimana dalam serial tersebut; keempat anak muda yang akhirnya menjadi ‘super hero’ dalam membasmi kekacauan di negeri itu, justru adalah empat anak yang ‘bukan siapa-siapa’. Mereka hanya punya kebaikan dan kecerdasan, tapi tidak punya keberuntungan. Mereka adalah anak-anak yang tidak punya seseorang untuk bergantung harap. Tapi setiap hal yang mereka lakukan; mereka melakukannya dengan suka cita. Dan untuk setiap hal tidak baik yang mereka jumpa; mereka berani menolaknya.

Kesejahteraan hidup dimulai dari kebahagiaan untuk terus berproses | ITL (www.itl.cat)

Itu point-nya. Kalau setiap anak muda mulai memperhatikan lagi moral dasar kehidupan di dalam dirinya. Mulai bisa menghargai apapun takdir yang kemudian membentuk personal branding-nya. Mulai mengerjakan sesuatu karena dibutuhkan dan bukan sebatas membutuhkan. Saya rasa angka kejahatan terkait tindak pidana dapat menurun, sebab nilai konsumtif yang menjadi faktor dasar dari tindakan-tindakan tersebut, sudah berhasil dikendalikan oleh setiap individu itu sendiri.

Adapun untuk relevansi yang kedua, saya mengambil angle dari anak-anak cerdas yang mendapat previlage sebagai ‘pembawa berita’. Ini juga menarik. Karena kenyataannya, sumber kerusakan generasi muda memang disebabkan oleh produk-produk anak muda itu sendiri. Mungkin dengan menciptakan suatu konten yang hanya akan memanjakan orang untuk berimajinasi, memviralkan sesuatu yang kemudian tidak benefit untuk dijadikan role model, menghadirkan inovasi hiburan yang bersifat wasting time, membuat tren-tren yang justru menambah tinggi sifat konsumtif, dan tentu saja masih banyak contoh lainnya yang nyata terasa.

Maka dari itu, ‘moral dasar kehidupan’ menjadi PR yang cukup penting bagi kita semua. Dan akan menjadi tanggung jawab masing-masing individu untuk memulihkan kembali kesadaran dirinya terhadap kebaikan. Sebab masa depan bukan hanya tentang eksistensi, melainkan juga empati dan emansipasi.

Di mana pun Tuhan memposisikan kita sebagai pemuda, jika kita punya ‘kebaikan dan kecerdasan’ sebagaimana yang dimiliki keempat anak dalam serial ‘The Mysterious Benedict Society’, maka apapun yang kita perbuat, baik dalam skala kecil maupun besar, semuanya akan memberi dampak yang positif untuk Indonesia. Bukankah satu pohon yang ditanam dan dirawat dapat memenuhi kebutuhan oksigen untuk dua manusia? Maka tukang kebun pun ‘super hero’. Begitu juga dengan profesi lainnya.

Setiap dari kita punya peluang kontribusi yang sama untuk kesejahteraan Indonesia. Hanya saja, ada yang sifatnya terlihat dan diakui, serta ada yang sifatnya tidak tampak dan kurang dihargai. Tapi, kalau setiap anak muda sudah kembali kepada moral dasar kehidupan dengan penuh kesadaran diri; maka akan lahir generasi anti pamrih, yang tidak lagi menilai ‘harga dirinya’ sebatas dari sebesar apa ia dihargai. Akan lahir generasi critical thinking, yang tidak lagi mengerjakan sesuatu untuk sebatas mendapatkan sesuatu. Yang berani menolak atau meninggalkan sesuatu demi nilai-nilai kemanusiaan. Yang mengerti bahwa tingkat kebermanfaatannya bukan hanya tentang deretan prestasi, melainkan juga upaya edukasi dan evaluasi.