Antisipasi Hoax dan Polarisasi, Literasi Demokrasi Digital Jelang Pemilu 2024 Harus Jelas

Antisipasi Hoax dan Polarisasi, Literasi Demokrasi Digital Jelang Pemilu 2024 Harus Jelas

Menkominfo Johnny G Plate ketika membahas wacana e-voting Pemilu Digital.* (Sumber: Kominfo.go.id)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Pemilihan Umum (Pemilu) atau pesta demokrasi di era digital selalu rawan dibumbui “toxic” ujaran kebencian, polarisasi, dan hoax.

Masalah tersebut imbas dampak dari warganet yang tidak sehat dalam berselancar di media baru (digital) secara daring.

Khususnya bila melihat unggahan media sosial berikut laman komentarnya, belum tampak ada etika dalam penyampaikannya.

Kalangan yang beradab kuat senantiasa santun dalam berkomunikasi atau melalukan interaksi di medsos.

Namun, kebanyakan warganet masih belum jelas menempatkan posisi dirinya berhadapan dengan siapa—seolah semua netizen statusnya sejajar, tak mengindahkan lagi bagaimana komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, hingga komunikasi massa.

Hal itulah yang membuat warganet berani melontarkan ujaran kebencian dan hoax, terutama dalam mobilisasi politik mengunggah muatan konten “black campaign”.

Terkadang dalam konten negative campaign yang dibarengi data atau bukan sekadar ingin menjatuhkan lawan pun bila dibumbui kata-kata atau kalimat yang kurang santun menunjukan tidak adanya etika baik, dan bisa memantik perselisihan/konflik dampak apriori terhadap kelompol lain.

Terlebih, algoritma digital membuat polarisasi di kalangan warganet, sehingga membuat mereka kurang terbuka pemikirannya secara luas—hanya apa yang sealiran atau menjadi pilihannya saja yang selalu dianggap benar menimbulkan fanatik berlebih.

Dan bagi kalangan yang jengah menyimak muatan konten tersebut ataupun tak mau ambil pusing dengan ujaran kebencian, polarisasi dan hoax, berpotensi menimbulkan sikap apolitis hingga “golput”.

Pemilu di Era Digital
Diskusi tentang Pemilu di era digital* (Foto ilustrasi | Sumber: bali.kpu.go.id)

Maka dari itu, untuk mewujudkan Pemilu 2024 yang tertib dan anti hoax, diperlukan adanya sosialisai perihal literasi demokrasi digital yang jelas oleh pihak yang memiliki otoritas kewenangannya.

Hal itu penting guna menjadikan media baru sebagai wahana penunjang demokratisasi dan deliberasi di lingkungan masyarakat Indonesia.

Serta, memberikan pendidikan politik terhadap generasi millenial sebagai pemilih pemula, kemudian kepada masyarakat yang aktivitas kesehariannya sangat sibuk oleh rutinitas pekerjaan termasuk masyarakat urban.

Pun, terhadap masyarakat yang merasa teralienasi dan apatis terhadap politik, menjadikan media baru hanya sebatas ruang untuk mencari hiburan semata.

Antisipasi

Sebagai langkah antisipasi hoax, ujaran kebencian, polarisasi, hingga golput akibat sengkarut platform digital, ada baiknya mempelajari masalah serupa pada pemilu di luar negeri seperti kasus Donald Trump pada Pemilu Amerika Serikat (AS), di mana terjadi kemunculan ribuan akun medsos anonim atau palsu penyebar kabar bohong dan ujaran kebencian.

Namun kehadiran media baru membuktikan berdampak baik pula terhadap iklim politik seperti revolusi yang terjadi di Timur Tengah dikenal sebagai “Arab Spring”, dan revolusi di Mesir. Di mana keduanya sama-sama menggunakan medsos dalam menjalin komunikasi sampai membangun kekuatan massa untuk melawan rezim otoriter.

Kajian dari persoalan tersebut dapat dijadikan pondasi dalam membentuk literasi demokrasi digital guna mewujudkan Pemilu di Indonesia yang damai sejuk tertib kondusif tanpa hoax dan konflik, dengan mencari poin-poin relevan dapat diterapkan kepada warganet Tanah Air selain menuntut tanggung jawab transparansi dan akuntabilitas para aktor-aktor politik yang terlibat dalam Pemilu Indonesia.

Pengawasan kampanye digital di media sosial
Kampanye digital di media sosial harus diawasi secara ketat.* (Sumber gambar: wonogiri.bawaslu.go.id)

Kesadaran kritis pun harus terus disemai pada platform digital karena media baru merupakan ruang publik yang terbuka untuk dinikmati khalayak luas, hanya saja norma dan etika tetap harus dijaga hingga tidak lantas meruntuhkan batas-batas intelektualitas.

Satu hal perlu digarisbawahi, perusahan platform digital ekspektasinya bisnis meraup keuntungan secara ekonomi memanfaatkan data perilaku penggunanya dengan pengembangan kecerdasan buatan sejurus dengan industri periklanan sebagai sumber pendapatannya.

Sehingga manakala terjadi pengelompokan audiens dalam jumlah banyak seperti halnya polarisasi massa politik, di sanalah platform digital akan menambang keuntungan tak peduli dalam konten bermuatan hoax ataupun ujaran kebencian yang memecah belah masyarakat.

Apalagi jikalau peran media massa yang biasa menyajikan berita-berita sesuai kaidah jurnalistik yang benar di masa pemilu tidak dapat menjernihkan situasi, dengan tidak lagi bertindak netral atau berimbang.

Satu hal diharapkan dari media massa meski tidak bisa netral tetapi independen dalam mengawal pemilu. Sekalipun berita-beritanya sekadar menyampaikan pesan dari client, tapi tidak disertai keberpihakan mencolok.

Lantas, seluruh pemangku kepentingan terkait kesuksesan pemilu di Indonesia harus bahu-membahu berkolaborasi membuat ‘literasi demokrasi digital’ yang terstruktur baik untuk disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya dalam mengatur lalu-lintas politik di dunia maya.

Patroli siber harus semakin digencarkan, hingga membuat rambu-rambu khusus bukan terhadap pengguna media baru, akan tetapi juga kepada perusahaan-perusahaan penyedia platform digital agar turut bertanggungjawab.

Menuntut perusahaan platform digital asing harus membuka kantor perwakilan dan gudang data di Indonesia, guna menjaga keamanan data masyarakat penggunanya dan kedaulatan digital Tanah Air.

Serta terhadap warganet hingga content creators yang selalu aktif berinteraksi pada jagat daring, harus mulai diberikan pemahaman tentang etika bermedia sosial baik, dan diberikan edukasi tentang sistem algoritma digital sebagai langkah mencegah terjadinya echo chamber effect dan polarisasi.***