Anak Muda di Tengah Isu Global

Anak Muda di Tengah Isu Global

Anak Muda di Tengah Isu Global

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohibBerkompetisiArtikel

Eksistensi youth movement di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh beberapa mahasiswa STOVIA. Dikutip dari laman kompas.com, Budi Utomo memiliki program yang cenderung ke arah bidang sosial karena organisasi politik dilarang pemerintah Hindia Belanda pada saat itu.

Kemunculan Budi Utomo mengilhami lahirnya beberapa organisasi kepemudaan lain yang bersifat kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dan lain-lain. Organisasi Budi Utomo ini kemudian menjadi salah satu organisasi yang menginisiasi Kongres Pemuda I yang dilaksanakan pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926 di Jakarta. Namun, karena dianggap gagal dalam mewujudkan cita-cita persatuan pemuda, maka pada tanggal 27 - 28 Oktober diadakanlah Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. 

Tokoh-tokoh pendiri Budi Utomo diambil dari kemendikbud.co.id
Pendiri Budi Utomo | Kemendikbud.go.id

Inilah bukti gerakan anak muda sejatinya sudah ada jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan sejak periode berdirinya Budi Utomo sampai kemerdekaan diproklamirkan, anak muda memiliki peran yang sangat krusial dan signifikan dalam mendorong lahirnya kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Tidak berhenti sampai di situ, gerakan kaum muda masih menunjukkan nafasnya pasca kemerdekaan, sebut saja peristiwa Revolusi dan Reformasi yang masing-masing terjadi pada tahun 1966 dan 1998. Gerakan masif anak muda pada masa itu berhasil menumbangkan rezim yang dianggap gagal membawa kemakmuran bagi rakyat. Anak muda berhasil membawa angin segar perubahan bagi perjalanan sejarah Republik Indonesia. 

Lalu, bagaimana dengan gerakan anak muda pada masa yang akan datang? 

Kaysie Brown pada 21 Desember 2021 yang lalu menulis pada laman United Nation Foundation, bahwa ada lima isu utama yang harus diperhatikan masyarakat global pada tahun 2022 ini, yaitu: (1) Respon dan pemulihan Covid-19 tetap yang utama; (2) Pengentasan kemiskinan, janji tidak meninggalkan siapapun, dan SDGs; (3) Mempercepat ambisi, dampak, dan akuntabilitas iklim; (4) Mendorong aksi mendesak terhadap kesetaraan gender dan hak-hak perempuan; dan (5) Krisis dan konflik kemanusiaan yang berkembang.

Seperti yang dituliskan Brown, isu pertama, yaitu penanganan Covid-19 harus menjadi prioritas utama. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China ini menyebar dengan sangat cepat ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Kecepatan pemerintah dalam penanganan Covid-19 mutlak dibutuhkan, maka diterapkanlah social distancing hingga lockdown (di Indonesia diterapkan PSBB dan PPKM) untuk menghalau transmisi Covid-19. Setali dua uang, sosialisasi “stay at home” dan 5M marak dilakukan baik dalam jaringan maupun luar jaringan.

Pemakaman Jenazah Covid-19 di TPU Srengseng Sawah, Jakarta Selatan oleh Kristianto Purnomo (kompas.com)
Pemakaman Jenazah Covid -19 di TPU Srengseng Sawah, Jakarta Selatan | KOMPAS.com (Kristianto Purnomo)

Pemberian vaksin menjadi prioritas pemerintah, sehari setelah Presiden Joko Widodo menerima dosis pertama vaksin Sinovac pada tanggal 13 Januari 2020 yang lalu, pemberian vaksin secara serentak dan bertahap mulai dilakukan. Hingga saat ini, pemerintah masih bekerja keras untuk ketercapaian seluruh masyarakat mendapatkan suntikan vaksin dosis ke-3 atau booster. Dilansir dari lifestyle.sindonews.com, Indonesia tercatat masih rendah dalam capaian vaksinasi booster Covid-19. Sejauh ini, baru tercatat sekitar 24 persen.

Menurut Brown, memang terjadi kesenjangan yang besar dalam hal penanganan Covid-19 antara negara berpenghasilan tinggi dan negara berpenghasilan rendah, terutama berkenaan dengan kecepatan distribusi vaksin.

Oleh karena itu, meskipun Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang berhasil dalam penanganan Covid-19, namun perbaikan harus tetap dilakukan dalam beberapa aspek, terutama dalam hal kecukupan tenaga dan fasilitas kesehatan. Masyarakat Indonesia yang majemuk juga menjadi tantangan tersendiri, menyamakan persepsi masyarakat mengenai pentingnya vaksin adalah hal yang mutlak harus dilakukan, mengingat sempat terjadi pro kontra berkaitan dengan hal tersebut. Sosialisasi dan kampanye yang masif akan efektif bila dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, disinilah peran anak muda sangat dibutuhkan, sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah berkenaan dengan penanganan Covid-19.

Isu kedua yang menjadi fokus berkenaan dengan kemiskinan. Kemiskinan telah menjadi momok pemerintah di belahan dunia manapun, bahkan sebelum pandemi Covid-19 menghantam dunia. Selain di bidang kesehatan, dampak sistemis Covid-19 paling dirasakan di bidang ekonomi. Kebijakan pemerintah menerapkan social distancing dan lockdown tak urung membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi ampuh untuk menangkal penyebaran Covid-19, di sisi lain tekanan yang amat keras di bidang ekonomi. Cita-cita SDGs mewujudkan masyarakat dunia tanpa kemiskinan 2030 semakin jauh panggang dari api.

Isu ketiga adalah perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi isu yang sangat krusial beberapa dekade tarakhir. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga bumi tetap hijau semakin tinggi. Kampanye perubahan iklim mengalami tren naik di berbagai negara yang sebagian besar digawangi dan dimotori oleh anak muda. Berbagai kebijakan pemerintah juga tak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan.

Isu keempat berkenaan dengan kesetaraan gender. Perempuan harus diberi kesempatan dan peran yang sama seperti laki-laki dalam berbagai sektor, termasuk pada sektor-sektor yang selama ini hanya didominasi laki-laki. Budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai warga second class dan yang membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik harus dihapuskan. Kesetaran gender sejatinya akan membawa manfaat bagi perempuan itu sendiri, bagi warga masyarakat yang lain, serta bagi keseluruhan proses pembangunan yang berkelanjutan.

Meskipun saat ini, kampanye kesetaraan gender banyak digaungkan, namun masih banyak temuan mengenai kekerasan yang dialami perempuan, terutama di masa pandemi Covid-19. Dilansir dari voaindonesia.com, PBB memperkirakan hampir 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami penganiayaan, dan angka tersebut meningkat saat terjadi krisis seperti pandemi Covid-19.

Isu terakhir, isu kelima yang harus mendapat perhatian serius adalah krisis dan konflik kemanusiaan. Sebagai contohnya adalah genosida terhadap muslim Uighur di Myanmar. “In 2022, 274 million people are expected to need humanitarian, in almost 20% increase from already record high number in 2022, tulis Brown.

Menilik isu-isu di atas, sejatinya gerakan anak muda masa yang akan datang akan banyak dilakukan di kelima skup isu tersebut. Dampak multisektor yang diakibatkan wabah Covid-19 membutuhkan kerjasama dan upaya berbagai pihak dalam pemulihannya, termasuk anak muda.  Partisipasi anak muda, akan menjadi katalisator pemulihan pasca Covid-19. 

Mangingat isu-isu tersebut tidak akan bisa ditangani oleh satu negara saja, tetapi melalui solidaritas berbagai bangsa dan negara, maka gerakan anak muda ke depannya akan bersifat cross country. Forum diskusi lintas negara membahas pemulihan pasca Covid-19, kemiskinan, kesetaraan gender, dan lain-lain dilakukan lintas negara dengan dasar voluntary (suka rela) dan rasa tanggung jawab. Sejalan dengan misi Indonesia dalam Presidensi G20 yang mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia mengajak seluruh negara G20 untuk bangkit dari keterpurukan akibat hantaman pandemi Covid-19, maka peran serta Indonesia akan lebih menonjol ke depannya, dan sekali lagi anak muda lah yang diharapkan akan menjadi garda paling depan dalam membawa masyarakat dunia yang lebih baik.