A. A. Maramis, Sang Pemimpin “Cadangan” yang Menjadi Pemimpin “Bayangan” PDRI

A. A. Maramis, Sang Pemimpin “Cadangan” yang Menjadi Pemimpin “Bayangan” PDRI

A. A. Maramis | Sumber: Wikimedia Commons (Post of Indonesia)

Alexander Andries Maramis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mr. A. A. Maramis adalah salah satu tokoh sentral dalam kabinet Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Maramis lahir pada 20 Juni 1897. Dia dinamai seperti nama ayahnya sendiri, yakni Andries Alexander Maramis (dengan susunan yang di balik antara nama depan dan nama tengah). Pada Juni 1924, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dengan gelar sarjana hukum "Meester in de Rechten” (disingkat Mr.).

Latar belakang pendidikannya di Belanda membuat dia memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya tersebut, dia kembali pulang ke Indonesia dan memutuskan untuk tidak mengabdikan diri kepada pemerintah kolonial melainkan memilih bekerja sebagai pengacara.

Maramis Pernah Menjadi Dosen

Saat masih berprofesi sebagai pengacara, dia diangkat menjadi anggota ke-57 dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dia juga anggota dari Panitia 8 dan Panitia 9 yang merupakan panitia kecil bentukan BPUPKI.

Kemudian, dia ditunjuk sebagai Menteri Negara dalam kabinet presidensil Indonesia yang pertama. Maramis juga pernah menempati beberapa jabatan menteri lainnya di dalam kabinet dan banyak lagi jabatan strategis yang pernah didudukinya di bangku pemerintahan Indonesia maupun organisasi-organisasi nasional lainnya.

Bahkan, pria tersebut juga pernah diangkat menjadi seorang Dosen Fakultas Hukum di Jakarta.

Agresi Militer Belanda Kedua

Pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua dan berhasil menguasai Yogyakarta yang merupakan ibukota RI saat itu, para pemimpin Indonesia sempat mengirim dua telegram.

Salah satunya ditujukan kepada Syafruddin Prawinegara (Menteri Kemakmuran) yang berisi pemberitahuan bahwa Belanda telah memulai serangannya atas Yogyakarta pada hari Minggu, 19 Desember 1948, pukul enam pagi. Lalu, kepada Syarifudin diberikan kuasa untuk membentuk PDRI di Sumatra.

Telegram yang satunya lagi ditujukan kepada Dr. Sudarsono (Duta Besar Indonesia untuk India), Lambertus Nicodemus Palar (Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB) serta Maramis yang sedang melakukan kunjungan kerja di New Delhi, India dalam jabatannya selaku Menteri Keuangan.

Telegram yang diterima Maramis dan lainnya. Dalam pesan itu, juga diberitahukan informasi mengenai serangan Agresi Militer Belanda II. Disampaikan juga mandat untuk membentuk exile government (pemerintah dalam pengasingan) Republik Indonesia di India, apabila ikhtiar Syafruddin untuk membentuk PDRI gagal. Dalam hal tersebut, mereka diharapkan untuk menghubungi Syafruddin.

Setelah keberhasilan menguasai Yogyakarta, pemerintah Belanda berulang kali menyiarkan berita bahwa pemerintahan Indonesia sudah runtuh, sebab Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Perdana Menteri Soetan Sjahrir serta para pembesar lainnya telah berhasil mereka tangkap.

Namun, akhirnya Syafruddin berhasil membentuk PDRI. Walaupun Maramis tidak menjadi pemimpin dari pemerintahan darurat Indonesia, dia ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri oleh Syafruddin dalam kabinet darurat tersebut.

Jabatan strategisnya inilah yang kemudian membuat dia memiliki kontribusi yang sangat penting dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara lain untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca-Agresi Militer Belanda II.

Ketika Syarifudin menjadi pemimpin PDRI di dalam negeri, maka Maramis menjadi yang menggerakkan rekan-rekannya untuk mencari dukungan dari dari banyak negara kepada Indonesia, khususnya negara-negara Muslim.

Dia menjadi pemimpin “bayangan” dari kabinet PDRI yang terus-menerus menyuarakan RI di dunia internasional sejak terjadinya serangan Agresi Militer Belanda II. Dia sempat ke Turki, Prancis, dan Pakistan, bahkan India melalui Perdana Menteri Jahrawal Nehru telah mengutuk serangan Belanda ke Yogyakarta, tepat pada hari terjadinya serangan tersebut.

Nehru bisa segera mendengar kabar serangan tersebut karena keterangan Maramis dan kawan-kawan dirilis di All India Radio.

Hubungan yang baik antara Indonesia dan India terus dipelihara oleh Maramis dan teman-temannya. Mereka bertemu dengan Nehru pada 11 Januari 1949 dan meminta agar India menolong perjuangan Indonesia.

Maramis dan Konferensi Asia Kedua

Maramis terus-menerus menekankan pentingnya Konferensi Asia kedua untuk menjelaskan kepada dunia bahwa tidak akan ada lagi pemerintahan kolonial di Asia. Hal ini direspon oleh Nehru dengan menyelenggarakan Konferensi Asia kedua tersebut. Dalam konferensi tersebut, PDRI mengirim utusan yang terdiri dari Maramis, Sumitro, Sudarsono, Utoyo (Duta Besar Singapura) dan H. M. Rasjidi (Duta Besar Mesir).

Kiprah Maramis dan kawan-kawan dalam konferensi tersebut berbuah manis. Pada 22 Januari 1949, konferensi itu menghasilkan delapan butir resolusi untuk Dewan Keamanan PBB yang menyeret Belanda duduk kembali di meja perundingan dan menghasilkan perjanjian Roem-Royen yang ditanda tangani pada 7 Mei 1949.

Perjanjian tersebut akhirnya membuat Belanda melepas para pemimpin Indonesia serta tahanan politik lainnya dan mendorong diadakannya KMB (Konferensi Meja Bundar).

Suara Maramis dalam Sebuah Buku

Maramis mengemukakan pikirannya demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam sebuah buku berjudul No More Legal Power of the Netherlands in Indonesia. Dalam buku tersebut, dia menyatakan bahwa Belanda tidak lagi berhak menguasai Indonesia karena sempat mengalami pendudukan asing pada 1941, sehingga pemerintahannya mengungsi ke London yang mengakibatkan Belanda kehilangan kontrol langsung terhadap Hindia Belanda.

Tulisan Maramis dalam bukunya ini juga menjadi landasan bagi L. N. Palar di PBB dalam menghadapi tuntutan-tuntutan delegasi Belanda selanjutnya. Maramis yang tahu betul soal Hukum Internasional menggunakannya sebagai landasan untuk membela RI.

Pasca-perjanjian tersebut, Soekarno dan Hatta kembali ke Indonesia. Kemudian, pada 13 Juli 1949, Syafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno yang menandai berakhinya PDRI. Adapun kesuksesan Maramis sebagai Menteri Luar Negeri PDRI dihargai betul oleh pemerintah.

Situasi dalam negeri serta kurangnya komunikasi dengan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri melatarbelakangi keluarnya Surat Keputusan untuk menetapkan dia menjadi Duta Istimewa dengan Kuasa Penuh, yang bertanggung jawab untuk mengawasi perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri.

Tugas Maramis yang mengharuskan dia untuk sering berada di luar negeri membuatnya dipercaya untuk melengkapi delegasi RI dalam KMB sebagai Penasihat Delegasi bersama dengan Soekanto. Hasil KMB inilah yang membuat Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan penuh atas Indonesia dengan tidak bersyarat dan dengan tidak dapat dibatalkan lagi.

Maramis terus terlibat dalam pemerintahan hingga dipensiunkan oleh pemerintah pada 1959. Dia adalah orang yang ditunjuk sebagai pemimpin “cadangan” dari pemerintahan darurat Indonesia, apabila PDRI tidak berhasil dibentuk.

Namun, keberhasilan terbentuknya PDRI menjadikan dia sebagai pemimpin “bayangan” dari pemerintahan darurat tersebut. Maramis adalah tokoh bangsa Indonesia, sang ahli hukum, dan diplomasi.

 

Daftar Pustaka:

  • Historia. (2022, October 08). Alexander Andries Maramis, Diplomat dalam Situasi Gawat Darurat. Retrieved December 04, 2022, from Situs Resmi Media Keuangan Kemenkeu: https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/alexander-andries-maramis-diplomat-dalam-situasi-gawat-darurat
  • Parengkuan, F. E. (1982). A. A. MARAMIS, SH. Retrieved December 04, 2022, from Situs Resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KEMDIKBUDRISTEK): https://repositori.kemdikbud.go.id/23275/1/A.A.%20MARAMIS%2C%20SH..pdf