49 Tahun Ikatan Pustakawan Indonesia, Quo Vadis?

49 Tahun Ikatan Pustakawan Indonesia, Quo Vadis?

Ilustrasi buku di perpustakaan | Sumber: Pexels (Element5 Digital)

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Pada tanggal 7 Juli yang lalu, Pustakawan Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-49. Sejarah Hari Pustakawan dicanangkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 1990. Hari Pustakawan tidak terlepas dari lahirnya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai wadah bagi pengembangan pustakawan dan para pegiat literasi di tanah air. IPI lahir tanggal 7 Juli 1973 pada Kongres Pustakawan Indonesia yang diadakan di Ciawi, Bogor pada tanggal 5–7 Juli 1973.

Kongres tersebut menetapkan bahwa tanggal 7 Juli sebagai Hari Pustakawan Nasional. Kongres IPI terakhir diadakan pada tanggal 9 s.d 12 Oktober 2018 di Surabaya. Kongres memilih dan menetapkan T. Syamsul Bahri sebagai Ketua Umum IPI periode 2018-2022. Rencananya, IPI kembali akan melaksanakan kongresnya pada tanggal 11 s.d 14 Oktober 2022 di Surabaya.

Di usianya yang ke-49 tahun, IPI tetap konsisten dan komitmen dalam membentuk profesionalisme pustakawan Indonesia. Peran IPI tersebut ditunjukkan dengan mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang perpustakaan...(Firmansyah H, 2009). Berdasarkan narasi di atas, IPI berperan dalam meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia dengan melakukan kegiatan ilmiah dan mempublikasikan karya pustakawan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kegiatan ilmiah yang dimaksud adalah seminar dan pelatihan yang diadakan di PNRI atau Dinas Kearsipan dan Perpustakaan di setiap Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Karya pustakawan yang dipublikasi berupa prosiding hasil seminar yang dapat diakses oleh mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi baik secara online maupun offline.

Struktur kepengurusan IPI tak hanya di pusat saja, tetapi juga tersebar di provinsi/ kabupaten / kota. Memang tidak semua pustakawan yang menjadi anggota atau pengurus IPI. Akan tetapi, setiap kegiatan seperti Kongres atau Musda (Musyawarah Daerah) Pustakawan Indonesia senantiasa dilibatkan untuk berpartisipasi sebagai peserta. Berjalannya kegiatan IPI ditingkat pusat tentu tidak terlepas adanya dukungan dari Kepala PNRI sebagai sebagai pembina IPI Pusat.

Kerjasama dan sinergi yang baik antara IPI Pusat dan PNRI membawa pengaruh besar dalam peningkatan profesionalisme pustakawan baik di pusat maupun daerah. Sejatinya, IPI Pusat dan PNRI ibarat dua sisi mata uang. Sepintas lalu kelihatan sama, tetapi berbeda bentuknya. PNRI sebagai pembina IPI Pusat telah melakukan tugasnya dengan maksimal.

Adakalanya, Pengurus IPI Pusat diundang sebagai narasumber dalam seminar nasional oleh IPI Provinsi/Kabupaten/Kota. Kegiatan seminar biasanya diadakan di hotel atau perpustakaan perguruan tinggi. Ketika pandemi Covid 19 mewabah, acara umumnya dilaksanakan melalui webinar atau web seminar untuk menghindari penularan virus corona.

Isu yang muncul selanjutnya adalah subtansi IPI sebagai organisasi profesi itu sendiri. Tanpa pernah belajar ilmu Perpustakaan dan Kepustakawanan, seseorang langsung mendapat mandat me-manage organisasi profesi. Jika di IPI Pusat, yang menjadi leader itu pure berlatarbelakang ilmu Perpustakaan dan Informasi dan berprofesi sebagai pustakawan maka di daerah Ketua IPI dapat dijabat oleh siapa saja. Asalkan peduli dengan perpustakaan di wilayahnya. Di sini, sebetulnya menimbulkan “paradoks” sehingga isu ini tetap kontroversial bagi pustakawan.

Bukan rahasia umum lagi sebenarnya bahwa pengurus IPI provinsi/ kabupaten/ kota termasuk Ketua IPI dijabat oleh orang yang bukan dari kalangan fungsional pustakawan, adakalanya dijabat birokrat atau dosen. Mungkin ini agak aneh, tetapi demikian fakta yang terdapat di lapangan. Organisasi profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak pernah memiliki pengurus yang nondokter.

Minimal yang menjadi pengurusnya adalah dokter umum yang tamat ko-as (ko-asisten). Demikian pula Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), yang pengurus dan anggotanya berprofesi sebagai pengacara dengan pendidikan Sarjana Hukum. Yang tidak berprofesi pengacara tidak dibenarkan menjadi anggota organisasi ini.

Sejujurnya, penulis tidak mengetahui mengapa organisasi pustakawan tidak diketuai oleh orang yang duduk pada jabatan fungsional pustakawan? Apakah pustakawan tidak memiliki rasa percaya diri untuk memimpin organisasi profesinya karena pengetahuan kepemipinan dan keterampilan manajerialnya terbatas? Atau memang organisasi IPI itu sendiri tidak mensyaratkan pustakawan untuk menjadi ketua. Dengan kata lain, siapapun berpeluang menjadi ketua apabila terdapat dukungan forum sebanyak 2/3 n+1 dari peserta yang hadir dalam pemilihan Ketua IPI provinsi/ kabupaten/ kota.

Diakui memang ada plus minusnya organisasi pustakawan dipimpin oleh orang yang bukan berlatarbelakang fungsional yang sama, meskipun masih memiliki sikap empati kepada pustakawan. Hal itu patut disyukuri. Apabila yang memimpin seorang birokrat atau tim sukses gubernur/ bupati/ walikota maka apabila yang bersangkutan itu mampu“berpandai-pandai” dihadapan “induak samang” maka dapat dipastikan alokasi anggaran untuk Dinas Kearsipan dan Perpustakaan provinsi/ kabupaten/ kota akan mengucur deras bak air keluar dari keran.

Jikalau ketua IPI provinsi/ kabupaten/ kota dipimpin oleh seorang dosen dengan latarbelakang ilmu perpustakaan dan informasi maka yang bersangkutan akan menerapkan praxis ilmu perpustakaan dan informasi melalui sharing knowledge kepada para pustakawan. Apalagi kalau dosen itu tim sukses gubernur/ walikota/ bupati yang memiliki kemampuan melobi, maka dapat dipastikan apa pun kegiatan perpustakaan dan kepustakawanan akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan apa pun.

Penulis berasumsi bahwa enggannya pustakawan tampil sebagai Ketua IPI Provinsi/Kabupaten/Kota lebih disebabkan oleh rutinitas pekerjaan dan yang bersangkutan telah berpuas hati dengan profesinya itu sehingga tidak ingin disibukkan dengan mengurus hal-hal yang terkait dengan organisasi profesinya. Di sisi lain, pustakawan yang direkomendasikan pimpinannya enggan mengikuti pelatihan manajemen dan kepemimpinan karena menurutnya hal tersebut tidak perlu.

Ketika ada pustakawan lain yang mencalonkannya sebagai Ketua IPI provinsi/ kabupaten/ kota, yang bersangkutan menjadi tidak percaya diri (minder) atau merasa tidak sanggup untuk memimpin organisasi profesinya. Dengan kata lain, pustakawan telah “menyabotase” dirinya sendiri sehingga tidak berani tampil untuk memimpin.

Tugas berat Ketua IPI sebenarnya ada di provinsi. Ketua IPI Provinsi memiliki tanggung jawab yang besar membina cabang IPI kabupaten/ kota. Cabang yang vakum semestinya dihidupkan kembali dengan membentuk formatur yang komposisinya satu orang dari IPI provinsi dan dua lagi dari kabupaten/ kota yang bersangkutan. Perlu digarisbawahi bahwa vakumnya kegiatan kepustakawanan di Kabupaten/Kota merupakan kegagalan dari pembinaan Provinsi dan juga pemangku kepentingan yang bersangkutan.

Vakumnya aktivitas IPI Kota Padang mencerminkan lemahnya kepemimpinan IPI Kota Padang itu sendiri. Hal ini mengindikasikan proses regenerasi yang gagal dari senior kepada junior. Fenomena ini tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan butuh intervensi IPI Sumbar. Pimpinan IPI Sumbar seyogianya melakukan komunikasi dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan kata lain, IPI Sumbar tidak hanya “menunggu bola” dan membiarkan kevakuman tersebut terjadi. Oleh sebab itu perlu adanya sense of crisis dari pihak berwenang tersebut dalam mengatasi kondisi yang terjadi.

Apabila IPI Kota Padang eksis mungkin banyak kegiatan yang berkaitan dengan pustakawan dan kepustakawanan dapat dilaksanakan sebelum pandemi Covid 19. Apalagi sejak tahun 2019, International Federation of Library Association and Institution (IFLA) telah menggulirkan isu Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. IPI Kota Padang dituntut dapat berperan aktif menginisiasi masyarakat agar dapat menumbuhkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) untuk meningkatkan minat baca dan literasi.

Kafe yang marak bermunculan di Kota Padang dapat dijadikan TBM dan pemilik Kafe dapat diberikan pelatihan yang berkaitan dengan literasi kopi dan minat baca. Kafe dianjurkan menyediakan koleksi buku motivasi dan wirausaha yang sifatnya bacaan ringan agar mudah diakses pengunjungnya.

Eksistensi TBM sangat penting bagi peningkatan literasi masyarakat. Tak hanya sekadar tempat “kongkow-kongkow”, tetapi juga sebagai tempat menambah wawasan anak sekolah pendidikan dasar dan menengah yang lokasi rumahnya relatif jauh dari pusat Kota Padang. Untuk selanjutnya IPI Kota Padang dapat memperjuangkan Kota Padang sebagai Kota Literasi yang terpandang secara nasional.

Masa Kepengurusan IPI Sumbar Periode 2019-2022 sebentar lagi akan berakhir. Vakumnya kegiatan IPI Kota Padang seyogianya menjadi catatan bagi IPI Sumbar bahwa membina pustakawan itu tidak mudah. Semua unsur pustakawan dari berbagai kalangan apakah perguruan tinggi, sekolah/madrasah, dinas perpustakaan dan kearsipan dituntut saling bersinergi dan berkomunikasi dengan baik. Output yang diharapkan adalah menguatnya silaturrahim antar sesama pustakawan. Sebagaimana tercermin dalam adagium Adat Minangkabau, saciok bak ayam sadanciang bak basi, basamo mangko manjadi.

Tulisan ini sejatinya adalah otokritik sekaligus ekspresi kecintaan penulis kepada profesi pustakawan dan organisasinya. Saatnya IPI Sumbar berubah di era disrupsi.

"Change starts from the inside out. We begin by improving our attitude, not by changing our external conditions." (Berubah dimulai dari dalam keluar. Kita memulainya dengan memperbaiki sikap kita bukan dengan mengubah kondisi luar kita) - Bruce Lee, aktor film laga Amerika Serikat.