Cerita dari Desa Purba yang Dijamah Dunia Maya

Cerita dari Desa Purba yang Dijamah Dunia Maya

Info barcode Desa Adat Bena | Arai Amelya

#SohIBBerkompetisiArtikel

“Iya, jadi di Denmark itu iklan wisata dari kalian hampir setiap hari kami tonton di TV. Kami jadi tahu soal komodo, banyak orang Denmark berwisata ke Labuan Bajo, seperti saya ini,”

Aku mengangguk di samping Johanna sambil meneguk sedikit dari kopi yang disediakan untuk kami.

Kutoleh ke arah luar pondok, hujan masih enggan berhenti di wilayah Manggarai ini. Untung saja aku dan temanku sudah memotret sawah jaring laba-laba yang populer itu sejam lalu di atas bukit, sebelum hujan dengan begitu deras mengguyur.

Sudah empat jam kami berkendara sepeda motor dari Labuan Bajo, dan telah sampai di wilayah Cancar ini. Perjalanan kami masih cukup lama sebelum akhirnya tiba di Bajawa, malam nanti. Temanku mengajak untuk singgah sebentar melihat sawah jaring laba-laba yang memang jadi salah satu ikon wisata Cancar ini.

Disebut demikian, karena di Cancar ini ada lahan sawah yang pematangnya dibentuk menyerupai jaring laba-laba atau orang Flores setempat akan menyebutnya sebagai lodok. Sawah-sawah ini dibagi dengan sistem lingko yang dilakukan oleh Tu’a Teno (Ketua Adat) setempat. Dalam lingko, pembagian lahan sawah dilakukan secara terpusat yang diukur dari titik nol di bagian tengah lahan ulayat (lahan yang hendak dibagikan).

Saat penentuan lodok, diharuskan melakukan upacara adat Tenteatau yang dipimpin oleh Tu’a Teno yang menancapkan kayu teno di ulayat, lalu menumpahkan darah kambing sebagai tanda tanah sudah dibagi secara sah.

Sawah jaring laba-laba di Cancar | Arai Amelya
Sawah jaring laba-laba di Cancar | Arai Amelya

Sama seperti Johanna, aku juga tak bisa menutupi rasa takjubku pada sawah jaring laba-laba ini. Mungkin juga mereka yang melihat fotonya viral di media sosial, Cancar menjelma sebagai salah satu wisata unggulan di Flores.

Mendekati pukul tiga sore, Johanna memilih untuk pamit terlebih dulu. Kami jelas berpisah. Dia bersama seorang guide dari Labuan Bajo akan melanjutkan perjalanan ke Ruteng, sedangkan aku dan temanku akan menempuh jalan lebih jauh ke Bajawa karena tujuan kami adalah Desa Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Desa Megalitikum, Bena Menolak Tertinggal Zaman

“Jadi di tahun 2021 waktu pandemi Covid-19 itu, hampir semua penghuni Desa Adat Bena ini sudah dikenalkan layanan perbankan digital. Pengunjung bisa mendapat informasi soal desa ini langsung di papan informasi yang bisa di-scan dengan ponsel. Lalu kalau mau beli kain tenun atau kerajinan lainnya, pembayarannya juga pakai QRIS karena memang warga Bena ini sudah memakai mobile banking,”

Emanuel Sebo selaku Pengelola Pariwisata Kampung Adat Bena memang patut berbangga, seperti yang dia ungkapkan kepada Kata NTT.

Bicara soal Bena tentu seperti membahas masa lalu. Perkampungan yang berada sekitar 19 kilometer dari Bajawa ini adalah desa megalitikum. Jika sesuai dengan penjelasan ahli sejarah Robert von Heine Geldern bahwa tradisi megalitik masuk ke Nusantara sekitar 2500-1000 SM, maka aku jelas tengah berpijak di pemukiman yang sudah berusia ribuan tahun lamanya.

Bena memang sangat eksotis.

Desa Adat Bena di Ngada | Arai Amelya
Desa Adat Bena di Ngada | Arai Amelya

Pesona wisatanya bisa kalian lihat dari berbagai temuan megalitik yang masih ada di sini seperti sarkofagus, punden berundak, batu melingkar, kuburan batu dan tentunya menhir.

Ada sekitar 45 rumah yang ada di Bena dengan para penghuninya yang berasal dari sembilan suku berbeda. Pada bagian tengah Bena terdapat bangunan yang disebut bhaga (pondok kecil tak berpenghuni) dan ngadhu (bangunan bertiang tunggal dengan atap serat ijuk).

Seperti ciri khas masyarakat kuno, warga Bena juga masih memuja keberadaan Yeta, sang Dewa yang bersinggasana di Gunung Inerie. Yap, kalau kalian ada di Bena, Inerie akan menjadi salah satu pemandangan yang spektakuler karena memang kampung ini tepat berada di kaki gunung setinggi 2.245 meter di atas permukaan laut itu.

Pada setiap tahunnya pada bulan Desember-Februari yang bertepatan dengan musim hujan dan angin, masyarakat Bena akan menggelar ritual adat Reba sebagai perwujudan rasa syukur mereka.

Tentu meskipun sudah ribuan tahun berlalu, masyarakat Bena sama sekali tidak meninggalkan tradisi leluhur mereka. Kendati keyakinan yang dianut sudah berbeda, warga Bena masih setia tinggal di rumah-rumah adat, serta membuat kain tenun dan kerajinan lain yang sudah diwariskan turun-temurun. Hidup dengan kekayaan budayanya, Bena menolak untuk tertinggal.

Penggunaan sistem pembayaran digital adalah salah satu upaya agar masyarakat Bena tak tergilas roda zaman. Mereka membuktikan bahwa kemajuan teknologi bisa berdampingan dengan budaya yang luhur. Sama seperti para pedagang kerajinan di Pulau Komodo yang sudah mengenalkan QRIS untuk pembayaran digital, warga Bena pun demikian.

Saat aku berkunjung ke Bena pada bulan November 2022 silam, ada banyak wisatawan entah lokal atau mancanegara yang sangat terbantu dengan keberadaan QRIS saat berbelanja karena memang sinyal internet sudah mencapai Bena.

Pengrajin kain di Bena memakai QRIS | Arai Amelya
Pengrajin kain di Bena memakai QRIS | Arai Amelya

“Sejak pakai QRIS kalau bayar, mama tidak perlu cari uang untuk kembali belanja. Nanti uangnya mama minta tolong anak ambil ke ATM, jadi bisa disimpan juga soalnya kalau uang tunai cepat habis,”

Tawa Mama Maria salah satu pengrajin kain tenun di Bena berderai. Meskipun kerutnya begitu jelas, Maria dan banyak penghuni Bena lain jelas sudah siap bermigrasi ke ranah digital.

Saatnya Masyarakat Indonesia Bermigrasi ke Ruang Digital

Dikenal sebagai negara dengan banyak sekali wilayah alam yang indah luar biasa dan tradisi budaya luhur begitu agung, Indonesia memang sudah seharusnya melangkah ke level yang berbeda dalam hal pariwisata.

Seiring dengan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ke-42 ASEAN 2023 yang kebetulan digelar di Labuan Bajo, masyarakat Bena dan pelaku wisata Flores lainnya membuktikan kalau wilayah mereka memang sanggup menjadi etalase internasional. Dalam press release resmi Kominfo, disebutkan bahwa dukungan pembangunan infrastruktur digital seperti jaringan kabel serat optik, bakcbone satelit hingga BTS (Base Transceiver Station), membuat harapan seluruh warga Tanah Air bisa merasakan internet bukanlah hal mustahil.

Tentu ini semua senada dengan dokumen rekomendasi ASEAN Youth di KTT ASEAN 2023, bahwa teknologi mampu memberikan pengaruh pada individu dan bisnis-bisnis, membuat ekonomi digital akan semakin kuat. Ini adalah peluang sekaligus upaya menghadapi tantangan ekonomi hijau di wilayah Asia Tenggara, seperti dilansir Info Publik.

Tujuan terbesarnya, ASEAN akan memiliki posisi penting dan relevan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia.

Bisakah itu terjadi? Tentu saja bisa.

Dengan semakin tingginya pengguna internet di Tanah Air dan penerapan transformasi digital dari berbagai bidang seperti ekonomi, kita tentu sama seperti warga-warga di desa purba Bena yang siap membuka pintu masa depan.

Ya, inilah kabar baik dari Indonesia.