Pemilu Damai Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Pemilu Damai Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Mari ciptakan pemilu damai / pixabay (illustration:pilih pemungutan suara)

SohibBerkompetisiArtikel

Tidak lama lagi, pesta politik Indonesia akan segera digelar di tahun 2024. Partai politik mulai merancang strategi terbaik untuk menghadapi pemilu 2024. Sebagian dari mereka telah menentukan tokoh yang akan diusung untuk menjadi calon presiden, sebagian yang lain masih disibukkan dengan safari politik guna membangun koalisi terkuat demi menumbangkan lawan politiknya. Semua itu sudah mulai terasa di atas permukaan politik Indonesia.

Sementara para elit politik mulai membangung kerajaan koalisi masing-masing untuk menghadapi pemilu 2024, kita sebagai rakyat pun mesti bersiap-siap untuk menghadapi liarnya narasi yang akan beredar luas selama pergelaran pesta politik ini. Belajar dari tahun 2019, Kominfo menemukan setidaknya 3.346 hoaks yang dilempar ke tengah masyarakat yang akhirnya menimbulkan polemik di kalangan bawah. Tak sedikit hubungan baik antar saudara dapat berujung retak akibat persaingan politik. Kita mewajarkan sengitnya sebuah kompetisi, tapi tidak menerima isu politik yang mengakibatkan pecah belah.

Salah satu isu politik yang dijadikan bahan demi mendomplang suara masyarakat adalah isu tentang agama. Sejak tahun 2016, isu agama menjadi bahan hangat dan terus dimanfaatkan dalam pemilihan pejabat publik, baik tingkat bawah seperti kabupaten, sampai ke tingkat tertinggi yaitu presiden. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 80,7 persen responden masih mempertimbangkan agama para calon wakil rakyat. Hal ini tak lain karena agama menjadi titik nadi masyarakat Indonesia yang hidup menjunjung nilai-nilai keagamaan. Namun, agama yang suci dan harusnya meneduhkan, menjadi ladang kotor dan menjijikan demi memenuhi hasrat politik praktis semata. Masjid yang asalnya menjadi tempat menerima wasiat ketaqwaan, berubah menjadi lahan mendongkrak emosi untuk menjatuhkan lawan politik. Panggung keagamaan yang menjadi tempat mendapatkan ilmu ketuhanan, dirubah menjadi sarana informasi penyebaran berita hoaks. Tokoh agama yang mestinya merangkul masyarakat ke arah kebaikan, berubah menjadi sosok menakutkan dan mengajarkan kebencian pada lawan politik yang tidak didukungnya. Hal semacam ini membuat masyarakat jenuh dan kecewa dengan sebagian tokoh agama yang menunggangi agama di masa kampanye berlangsung.

Memilih dan menentukan siapa yang layak memimpin negeri ini selama 5 tahun ke depan merupakan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Namun, jangan pernah lupakan bahwa kita adalah masyarakat beradab dan menghormati satu sama lain. Adapun perbedaan pilihan politik merupakan hal wajar dan tak perlu menjadi penyebab bercerai-berai. Jagoan yang menang kita syukuri dan kawal supaya tidak melenceng dari kewajiban sebagai pemimpin, begitu juga jika lawan yang menang perlu kita syukuri dan terima, mudah-mudahan menjadi pemimpin yang terbaik bagi negeri ini. Tak perlu saling senggol dan menjatuhkan. Indonesia akan tetap berdiri selama masyarakatnya beradab dan saling menghormati satu sama lain.

Salah satu hal yang membuat tajam perbedaan politik di negeri ini adalah tersebarnya berita hoaks. Bayangkan, di masa politik yang begitu sengit, lalu disusupi berita hoaks yang memperkeruh suasana, tak heran jika masyarakat akan semakin mudah tersulut api dari berita hoaks yang mereka terima dari media tak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sebagai masyarakat, pastinya menginginkan pemilu yang sehat dan jauh dari kata perceraian. Bagaimana menciptakan pemilu damai dan sehat? Berikut upaya yang bisa dilakukan:

1. Saling Menghormati Perbedaan

Salah satu faktor yang akan membuat suasana pemilu lebih damai adalah kematangan dalam menghargai perbedaan. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu memiliki rasa saling menghormati atas perbedaan. Kita perlu sadar, bahwa perbedaan merupakan anugerah Tuhan yang perlu dipelihara. Masalahnya, di masa kampanye, perbedaan dan keanekaragaman sering dijadikan bahan politik untuk menyerang lawan politiknya. Contohnya politisasi SARA yang ramai dipakai sejak pilkada DKI tahun 2016. Perbedaan yang awalnya anugerah berubah menjadi musibah. Hal tersebut semata digunakan hanya untuk mendulang suara. Sungguh tak etis mengorbankan anugerah perbedaan hanya demi kekuasaan musiman. Akibatnya masyarakat terpecah dan hubungan sosial pun merenggang.

2. Menerima Kekalahan dalam Kompetisi

Sebagai pemilih, kita harus sadar bahwa kontestasi pemilu akan melahirkan pihak yang menang dan kalah. Hal tersebut merupakan fakta yang tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, menerima fakta tersebut adalah faktor penting dalam mewujudkan pemilu yang damai, hal ini dapat menjadi cermin kedewasaan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi. Bagi pihak yang menang, kemenangan merupakan mandat dan amanat dari rakyat yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Bagi pihak yang kalah, mereka berkesempatan untuk mengawal setiap kebijakan pemerintahan demi terwujud kebaikan bersama.

3. Menciptakan Kampanye Penuh Kreasi dan Inovasi

Bawaslu sendiri memiliki catatan hitam terkait penyelenggaraan pemilu yang sering muncul, seperti politik uang, politisasi isu SARA, dan kampanye hitam yang akan mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Praktek hitam di atas, agaknya perlu dihindari di masa pemilu mendatang dan mulai beralih ke arah kampanye yang penuh kreasi dan inovasi dari masing-masing kontestan. Setidaknya, hal ini tidak akan terlalu memperkeruh suasana politik di Indonesia dan akan sedikit memudarkan dominasi politik hitam dalam berdemokrasi di negara ini. KPU akan melihat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai acuan dalam antisipasi ancaman dan menyukseskan pemilu 2024.

4. Hindari Berita Hoaks

Kita sadar, media sosial merupakan paranti yang ampuh untuk menggerakkan massa. Di sana, para calon kontestan pemilu dapat dengan leluasa melakukan branding diri demi memikat suara hati masyarakat. Karena masifnya pengguna media sosial, kampanye yang disuguhkan oleh kontestan politik akan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Hal ini dapat memicu rawannya berita simpang siur dan berita tidak benar yang berkaitan dengan pemilu di tengah masyarakat. Tentu saja, berita tidak benar ini dapat memantik emosi sebagian calon pemilih yang berada dalam ketat dan tegangnya suasana politik. Perlu kiranya untuk menyadarkan rakyat terkait bahayanya informasi tidak benar dan kiat-kiat dalam mengatasi liarnya berita yang merugikan pihak lain.

 

Dengan berkembangnya teknologi, tidak ada alasan kita menelan mentah-mentah berita hoaks. Ada beragam upaya yang dapat mencegah masyarakat dari konsumsi berita hoaks. Mengutip dari Kompas.id, berikut merupakan cara pencegahan yang dapat dilakukan agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks:

1. Mengonfirmasi Informasi

Membaca informasi di media sosial membutuhkan kemampuan lebih, yaitu ada keharusan mengonfirmasi informasi yang kita dapatkan dari berbagai sumber. Alasannya, tidak semua informasi yang bertebaran di media sosial telah melewati proses verifikasi terlebih dahulu, sebagian informasi bahkan berasal dari sumber yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab. Beberapa hal yang dapat kamu lakukan adalah mengonfirmasi kebenaran informasi, mengabaikan informasi yang tidak mengandung standar jurnalistik, dan mengabaikan informasi jika ada permintaan untuk disebar, meskipun informasi tersebut benar harus dipikirkan apakah informasi tersebut dapat menyulut emosi masyarakat atau bermanfaat bagi masyarakat. Hal di atas dapat terwujud apabila masyarakat sadar untuk tetap bersikap kritis dan menjaga akal budi yang sehat.

2. Literasi Digital

Literasi digital perlu dibangun dengan tujuan masyarakat lebih bijak dalam bermedia sosial. Pentingnya literasi digital pernah disinggung oleh Menkominfo, Johnnny G. Plate dalam Pertemuan Ketiga Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 Indonesia. Namun, tingkat literasi dan kemampuan membaca yang rendah akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkannya. Solusinya cukup rumit, salah satunya melalui pendidikan dengan menumbuhkan pola pikir kritis. Alasannya karena selama ini pendidikan belum bisa menumbuhkan sikap kritis, terbukti dengan tersebarnya berita hoaks di kalangan orang berpendidikan tinggi. Selain pendidikan, solusi lainnya adalah pendekatan melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh budaya. Setidaknya, tokoh tersebut dapat memengaruhi masyarakat untuk bijak dalam bermedia sosial. Sebenarnya, MUI telah menerbitkan fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa ini terbit dilatarbelakangi oleh kekhawatiran maraknya ujaran kebencian dan hoaks melalui media sosial yang bisa menimbulkan konflik dan memecah belah masyarakat.

Pemilu merupakan salah satu tanda terciptanya demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Demokrasi yang kita ketahui menjunjung tinggi hak-hak individu dan semangat kebersamaan. Menjelang gaduhnya pesta pemilu 2024, sudah selayaknya kita mempertahankan kedamaian yang selama ini kita idamkan. Pemilu 2024 bukan alasan perpecahan, tapi sebagai wujud kebersamaan. Nilai-nilai toleransi dan saling menghargai harus tetap dijunjung oleh bangsa Indonesia. Selain itu, kita pun perlu membekali diri agar tidak mudah terkecoh oleh tipu muslihat selama gelaran pemilu 2024. Mari sama-sama ciptakan pemilu yang bersih dan damai. Tidak ada lagi perpecahan di tengah masyarakat, siapa pun pemenangnya, ia adalah pemimpin Indonesia selama 5 tahun ke depan.