Menyikapi Makna Filsafat Kebetulan dalam Kehidupan

Menyikapi Makna Filsafat Kebetulan dalam Kehidupan

Filsafat kebetulan dalam kehidupan | Sumber: Unsplash (Giammarco Boscaro)

Kemarin Aldry berjalan melewati taman. Kebetulan dia sedang lapar saat itu. Ketika melintasi taman, dia melihat seorang tukang bakso sedang melayani para pembeli. Melihat bakso di dalam gerobak abang tukang bakso tersebut, tentu membuat Aldry ngiler sehingga rasa laparnya pun makin meronta-ronta.

Namun, karena tak punya uang, dia hanya bisa menatap bakso itu dari kejauhan. Dia pun tetap melanjutkan langkah kakinya.

Tiba-tiba salah seorang pembeli bakso memanggil namanya. Tak disangka, orang tersebut adalah bu Titin yang merupakan tetangga sebelah rumah Aldry.

Kebetulan sekali, bu Titin ternyata hendak menawarkan semangkuk bakso gratis kepadanya. Aldry awalnya malu-malu sehingga mencoba basa-basi terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya dia menerima tawaran tersebut dengan lapang dada.

Kebetulan: Merugikan atau Menguntungkan?

Dalam keseharian, kita mengalami banyak kejadian. Di antara beragam kejadian tersebut, banyak pula yang terjadi tanpa terduga sebelumnya. Kebetulan, merupakan kata pamungkas yang biasa kita pakai untuk menamai kejadian tak terduga itu. Umumnya, kita mendefinisikan “kebetulan” sebagai “sesuatu yang terjadi dengan tidak sengaja dan tak terduga”.

Terkadang sebuah kebetulan bisa jadi mengesalkan. Umpamanya, SohIB sedang terburu-buru pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor, tetapi di tengah jalan ada razia. Padahal, sebelumnya tidak pernah ada razia di jalur tersebut.

Arus lalu lintas pun menjadi sedikit tersendat. Akibatnya, kamu yang sedang terburu-buru malah harus menunggu gerak kendaraan di depanmu. Kamu pun kesal dan mengeluh, “Kenapa harus razia sekarang, sih?”

Namun, apabila yang terjadi ialah razianya baru saja selesai ketika kamu melewati jalur tersebut, maka definisi kebetulan dalam benakmu akan makin panjang menjadi “Sesuatu yang terjadi dengan tidak sengaja dan tak terduga, tetapi tepat sasaran”.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kebetulan sebenarnya bersifat netral dan tidak menghasilkan apa-apa. Interpretasi kitalah yang membuatnya bermuatan nilai “merugikan” atau “menguntungkan”. Tergantung paradigma mana yang kita kenakan.

Bukan Fenomena Absurd

Sebenarnya kebetulan bukanlah semata-mata fenomena absurd. Ada alasan mengapa kebetulan menjadi kebetulan. Yang terjadi ialah pikiran kita terkejut dengan potret realitas yang tampak di hadapan kita, setelah apa yang terjadi sebelumnya.

Di detik ini, Aldry sedang lapar kemudian melihat tukang bakso dan menjadi ngiler, tetapi sayangnya dia tidak punya uang. Kemudian, di detik berikutnya, tiba-tiba ada suara orang yang memanggilnya.

Di detik berikutnya lagi, Aldry sadar bahwa ternyata orang tersebut adalah bu Titin, tetangga sebelah rumahnya. Di detik berikutnya lagi, tak disangka bu Titin menawarinya bakso secara gratis. Di sini kita menemukan permainan kata: “tiba-tiba”, “ternyata”, dan “tak disangka”.

Tentu hal semacam itu sulit diterima oleh pikiran manusia karena —pada hakikatnya— kita hanya mampu menangkap suatu kejadian yang terjadi sekarang, di detik ini, bukan di detik berikutnya atau di masa depan.

Richard Rorty: Tentang Kontingensi

Seorang Filsuf Amerika bernama Richard Rorty mengatakan kalau hidup pada hakikatnya adalah kontingensi, yakni “keadaan yang masih diliputi ketidakpastian dan berada di luar jangkauan”.

Oleh karena itu, kontingensi merupakan keadaan yang terlalu besar untuk dikonkretkan oleh pikiran. Kontingensi inilah yang membuat sebuah fenomena kita anggap sebagai sebuah “kebetulan”.

Semua orang tentu ingin kontingensi benar-benar terlaksana dan menjadi sebuah kepastian yang menguntungkan. Dengan kata lain, semua orang pasti ingin mengalami kebetulan yang tidak merugikan.

Hanya saja, kebetulan tidak pernah terjadi dengan sendirinya tanpa sebab apa pun. Akan tetapi, kita punya celah untuk mengidentifikasi pola sebuah realitas, memahaminya, kemudian menghasilkan sebuah hipotesis.

Kalimat kerennya, “yang tak terduga dapat diduga-duga dengan menduga-duga”.

Bagaimana Menyiasati Kebetulan?

Seorang ilmuwan sedang duduk di bawah naungan beberapa pohon apel. Ilmuwan tersebut terpesona ketika melihat sebuah apel terjatuh. Dia lantas bertanya, mengapa apel selalu jatuh ke bawah (pusat) bumi?

Mengapa tidak jatuh ke samping atau ke atas? Lalu, dia pun membandingkannya dengan bulan. Bulan bahkan tidak terjatuh sama sekali seperti apel, melainkan mengambang di angkasa. Alih-alih menyerah dengan beranggapan bahwa fenomena tersebut adalah kodrat alam atau sudah dari sananya, dia malah melakukan proses penelitian yang panjang.

Di kemudian hari, akhirnya sang ilmuwan tersebut dikenal atas keberhasilannya menemukan teori gravitasi yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan tersebut adalah Isaac Newton!

Seperti Newton inilah seharusnya kita hidup. Bukan hanya bergantung pada kata “nasib”, “takdir” atau “kodrat” belaka, tetapi berilah makna pada kata-kata tersebut dalam kehidupan pribadi.

Dalam hidup, memang banyak hal bisa terjadi. Namun, selama belum terjadi, maka itu hanyalah “kemungkinan”. Tugas kita membuatnya menjadi sebuah “kepastian” atau “kenyataan” atau “keniscayaan”.

Walaupun kita bukan Avatar the Aang yang mampu mengendalikan semua elemen. Namun, setidaknya —sebagai manusia— jadilah bijak dalam mengambil keputusan, sebab setiap keputusan kita memengaruhi value (nilai) dari sebuah “kemungkinan” ketika ia menjadi “kenyataan” hidup.

Seperti kutipan terkenal yang selalu terdengar, “kesuksesan terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kemapanan”. Apa itu kesempatan? Kesempatan selalu merupakan “kebetulan”. Yang namanya kesempatan pasti selalu datang tanpa diduga sebelumnya.

Kita mungkin bisa mencari-cari kesempatan, tetapi ia datang begitu saja dan bisa hilang seketika. Lalu, apa itu kemapanan? Kemapanan adalah kesiapan atau kemantapan atau kematangan diri.

Bayangkan bila Aldry saat itu tidak berjalan di taman, dia mungkin tidak akan bertemu dengan tukang bakso dan bu Titin. Jadi, dia tidak akan mendapatkan bakso gratis. Bu Titin pun bisa jadi memberi bakso gratis ke orang lain atau sama sekali tidak memberikan bakso gratis kepada siapa pun.

Bayangkan lagi nih, kalau misalnya si Aldry saat itu memang berjalan di taman, tetapi dia sedang tidak lapar, maka mungkin dia tidak akan ngiler melihat bakso. Jika pun bu Titin memanggil lalu menawarinya bakso gratis, dia bisa saja menolak sama sekali atau menerima bakso tersebut. Hanya saja tidak dengan lapang dada seperti sebelumnya, melainkan karena segan menolak.

Apa yang bisa kita petik dari sini? Aldry sudah mapan ketika kesempatan itu datang. Hasilnya ialah kesuksesan meraih bakso secara gratis untuk memenuhi hasrat lapar pun terlaksana.

Epilog: Merayakan Kebetulan

Kita dapat melihat bagaimana konsep kebetulan mengotak-atik sesuatu yang dianggap lazim terjadi dan pasti. Sekarang, kamu kebetulan ada di sini. Oleh karena itu, “Selamat datang di seri FeelFreeFeelsafat is Free’, di mana kita akan membahas fenomena kehidupan sehari-hari menggunakan pola pikir filsafati dengan bahasa yang ringan dan santai. Rayakan kebetulanmu dan mari berefleksi!”

 

Sumber referensi:

  • Reza A. A. Wattimena, Filsafat Kata (Jakarta Timur: Evolitera, 2011), 34, https://rumahfilsafat.com/2011/07/15/buku-filsafat-baru-filsafat-kata.
  • Amalia, “APEL NEWTON DAN HUKUM GRAVITASI, BERKAITANKAH ???,” Gurusiana, December 5, 2019, https://www.gurusiana.id/read/buamel/article/menelusuri-jejak-penemuan-hukum-gravitasi-newton-3656208.