Media Sosial: Sarana Rele-FUN untuk Memviralkan Perdamaian

Media Sosial: Sarana Rele-FUN untuk Memviralkan Perdamaian

Say no to the Fake News | Freepik (freekpik)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Media Sosial: Sarang Viral dan Hoaks

Fake News | Freepik (freepik)

Pada era ini, hampir setiap hari kita mendengar kalimat “Viral di media sosial…”. Hal tersebut tidaklah mengherankan, sebab kemajuan teknologi memang telah membuat media sosial menjadi tempat terasyik untuk berekspresi. Mulai dari kalangan muda hingga para orang tua pun menjadi pengguna aktif media sosial, sehingga beragam informasi dapat kita akses melalui media sosial dengan praktis.

Banyak orang berlomba-lomba agar konten yang dibuatnya bisa menjadi viral dan menaikkan popularitas sampai bisa menghasilkan cuan dari sana. Namun sayangnya, segala bentuk keuntungan dan kemudahan tersebut tidak serta-merta memberi kepastian bahwa setiap informasi yang kita dapat adalah informasi yang seratus persen benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Sekarang malah dengan mudah kita dapat menemukan informasi hoaks di media sosial. Tak jarang informasi hoaks tersebut memicu kesalahpahaman dan akhirnya menimbulkan pertikaian.

Mengenali Ciri-Ciri Informasi Hoaks

Sangat mudah untuk mengenali ciri umum dari sebuah informasi yang merupakan hoaks. Kita dapat mengetahuinya dengan melihat struktur kalimat yang digunakan. Umumnya, informasi hoaks ditulis dengan tata bahasa yang berantakan, seperti penggunaan ejaan yang tidak tepat, banyak kata bercetak tebal/miring, dll. Adapun bahasa yang digunakan di dalamnya cenderung terlihat berlebihan dan bombastis. Lalu, terkadang bahasanya juga fanatis terhadap suatu golongan tertentu dan menyerang pihak-pihak yang bertentangan terhadap golongan tersebut. Informasi hoaks pastilah menimbulkan kepanikan, kebingungan maupun pertikaian di tengah-tengah masyarakat, sebab menggunakan kalimat yang provokatif.

Hoaks Konspirasi Vaksin Konspirasi Presiden dan Menkes | kominfo.go.id
Hoaks Vaksin Konspirasi Presiden dan Menkes | kominfo.go.id

Kemudian, informasi hoaks tidak menyertakan sumber atau penulisnya, data maupun fakta yang aktual. Kalau pun ada, itu hanya sekadar mencatut saja bukan merupakan pernyataan resmi. Satu hal yang paling terasa ialah informasi hoaks suatu isu biasanya beredar ketika isu tersebut sedang hangat diperbincangkan. Misalnya pada pandemi COVID-19 yang lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) mencatat begitu banyak informasi hoaks. Mulai dari hoaks seputar vaksin hingga cara meracik obat-obat herbal.

Hoaks Kartu Pemilih Pemilu 2024 | kominfo.go.id
Hoaks Kartu Pemilih Pemilu 2024 | kominfo.go.id

Adapun saat ini, salah satu isu hangat di Indonesia ialah Pemilu yang akan berlangsung pada 2024 mendatang. KOMINFO pun membenarkan kalau informasi hoaks Pemilu pun makin marak. Entah itu hoaks mengenai salah satu partai atau tokoh politik maupun isu-isu terkait Pemilu atau dunia politik lainnya.

Mencegah Hoaks Beredar di Indonesia

Berdasarkan pengamatan saya, informasi hoaks cenderung lebih mudah memengaruhi orang-orang yang berada di grup dengan anggota yang hanya terdiri dari pemeluk satu agama saja, misalnya grup rumah ibadah atau komunitas dari sebuah agama tertentu. Hal yang sama pun terjadi di grup-grup daerah atau suku tertentu maupun komunitas serupa lainnya. Sementara pada grup yang terdiri atas anggota yang konteks keberadaannya lebih plural, biasanya orang-orang di dalamnya akan sulit terpengaruh dengan informasi hoaks.Meskipun demikian, permasalahan utamanya bukanlah pada keberagaman tersebut.

Jika saja kita bersikap waspada terhadap informasi-informasi yang beredar, maka kita bisa menghentikan pertikaian yang dipicu oleh informasi hoaks tersebut atau setidaknya menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan tidak mudah terprovokasi olehnya. Dengan demikian, kita telah ambil bagian dalam menciptakan perdamaian dimulai dari diri sendiri.

Sikap waspada ini dapat diterapkan dengan selalu memastikan kebenaran dari setiap informasi yang kita dapat. Misalnya dengan melakukan validasi terlebih dahulu melalui situs-situs tepercaya, seperti halaman laporan isu hoaks KOMINFO. Kementrian ini juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melaporkan konten yang bermuatan hoaks maupun hal-hal negatif lainnya. Dengan begitu, kita dapat memfilter informasi mana yang betul-betul akurat sebelum membagikannya.

Walaupun ciri umum dari informasi hoaks mudah dikenali, kenyataannya masih banyak pengguna media sosial —khususnya masyarakat Indonesia— yang masih dapat dikelabui dengan mudah oleh informasi hoaks tersebut. Sebagai bangsa Indonesia kita memang telah memiliki nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan sejak dini. Namun, harus kita akui bahwa di negara kita, kemajuan teknologi belum sebanding dengan kepedulian terhadap literasi digital. Padahal literasi digital adalah aspek penting yang menentukan dampak apa yang akan ditimbulkan saat kita menggunakan media sosial.

Literasi digital yang baik akan mendatangkan dampak positif bagi pengguna media sosial. Sebaliknya, literasi digital yang buruk tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi pengguna media sosial. Oleh karena itu, kita harus terus mendukung dan perlu ikut terlibat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang meningkatkan literasi digital dan berbagi cara penerapan nilai-nilai luhur tersebut dalam menggunakan media sosial.

Selanjutnya, kita juga bisa mencegah agar informasi hoaks yang beredar tidak makin tersebar luas. Contoh sederhananya dengan mencegah peredarannya melalui grup-grup media sosial yang di dalamnya kita ikut bergabung. Saya sendiri telah menerapkan hal ini. Ketika saya mencoba menjelaskan bahwa informasi yang dibagikan oleh si pengirim adalah hoaks dengan menunjukkan data yang valid, maka si pengirim tersebut biasanya akan berterima kasih dan menjadi lebih kritis dalam menyikapi sebuah informasi, apalagi jika itu berkaitan dengan isu yang sedang hangat. Pengalaman saya tersebut lagi-lagi menguatkan fakta kalau masalah utamanya bukan pada nilai-nilai luhur yang luntur maupun keragaman, tetapi kurangnya literasi digital tadi.

Dengan melakukan perilaku sederhana tersebut (dan perilaku serupa lainnya), secara tidak langsung kita telah berkontribusi dalam meningkatkan literasi digital. Istilah kerennya, kita telah melakukan literasi digital “tipis-tipis” di Indonesia. Coba bayangkan pula, bagaimana jika orang yang kita tolong tersebut juga melakukan hal yang sama? Tentunya jumlah orang yang literasi digitalnya meningkat akan makin banyak, bukan?

Cara keren lain yang bisa kita lakukan —meskipun tidak effortless (mudah)— untuk memviralkan perdamaian di media sosial ialah dengan membuat konten-konten inovatif dan kreatif. Mungkin kita tidak mampu mengontrol arus informasi yang beredar di media sosial. Namun, jika media sosial “banjir” hoaks, maka kita mestinya turut “membanjiri” media sosial dengan hal-hal positif. Kalau konten yang lain bisa viral di media sosial, mengapa tidak dengan perdamaian? Tak perlu diragukan lagi, media sosial adalah sarana rele-FUN untuk memviralkan perdamaian pada era disrupsi teknologi saat ini. Secara khusus juga di Indonesia dengan kepelbagaiannya.