Ketika Digital Memberi Kehangatan

Ketika Digital Memberi Kehangatan

Layaknya lentera yang hangat dan menyinari | Pexels.com (Burack The Weekender)

Perayaan tahun baru | Pexels.com (Humphrey Jones-Behan)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Setiap pergantian tahun menjelang, ada banyak kembang api dengan percikan warna-warni cahayanya yang melayang. Begitu pun harapan, ada banyak untaian doa dipanjatkan. Revolusi-revolusi baru pun gencar diteguhkan.

Sejak tahun 2022 telah habis masanya, banyak hal yang terjadi sampai sejauh ini. Banyak perubahan yang mengharuskan tingkat adaptasi tinggi, tak sesederhana perubahan satu angka paling belakang yang hanya perlu hitungan jari. Tak ayal, hal itu pun membuat banyak orang kehilangan kewarasan, tak terkecuali saya sendiri.

Dihadapkan oleh masalah-masalah hal yang membuat saya tertekan. Begitulah kiranya kalimat yang tepat untuk mendefinisikan empat bulan pertama tahun ini.

Mudah mengalami kecemasan, pikiran tak karuan, untuk istirahat rasanya mata sulit dipejamkan, hingga pekerjaan yang terabaikan.

Mudah lelah padahal tak melakukan apapun.

Berita-berita yang bertebaran di media digital menambah daftar hal yang membuat pening kepala ini. Awalnya, saya berpikir bahwa sebagai dampak dari era digital, hal tersebut sangat menyebalkan. Sebagaimana sebuah kalimat yang tertulis pada sebuah buku berjudul “Seseorang Sepertiku” bahwa “tidak semua hal itu baik, akan tetapi akan selalu ada kebaikan di setiap hal” ternyata juga berlaku pada apa yang saya rasakan saat itu, tentang media digital, juga kesehatan mental.

Sebab, dari apa yang saya alami saat itu, saya mendapatkan dua hal yang perlu digarisbawahi dan tak kalah penting untuk mendapat perhatian khalayak umum, yakni kesehatan mental dan digital.

Ketika Kita Rentan Mengalami Masalah Kesehatan Mental

Rentan masalah mental | Pexels.com (Daniel Reche)

Banyaknya beban pikiran dapat memicu timbulnya masalah kesehatan mental apabila tidak ditangani dengan tepat.

Setiap masing-masing dari kita tentu memiliki masalah yang pernah atau sedang dihadapi hingga menguras pikiran kita sehingga rentan mengalami masalah kesehatan mental, baik yang datang dari hubungan yang berada di ambang dua cabang jalan, tugas-tugas yang bagaikan mati satu tumbuh seribu dalam pendidikan, beban pekerjaan, hingga masalah kekeluargaan.

Bagi sebagian orang, masalah kesehatan mental mungkin belum dirasa penting, sebagaimana saya dahulu mengira. Baru setelah saya mengalami lika-liku hidup yang tak pasti seperti apa yang telah saya ceritakan di awal, saya sadar ternyata menjaga kesehatan mental adalah suatu keharusan. Sebab, dari apa yang pernah saya alami, sikap dan perilaku akan terpengaruh olehnya.

Banyaknya kasus-kasus terkait masalah kesehatan mental pun banyak terjadi saat ini. Dari yang ringan hingga berat, dari yang disorot media hingga tak terlihat.

Sebuah fakta dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang patut menjadi perhatian ialah lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Lalu apa yang dapat kita upayakan?.

Ketika Digital Memberi Kehangatan

Seseorang yang mengirim pesan | Pexels.com (Cottonbro Studio)

Dari bahasan kesehatan mental ke digital, apakah ada hubungannya?. Tentu saja ada.

Dimulai dari cerita saya, bahwa ketika saya mendapati kondisi diri tak begitu baik secara emosional dan pikiran, sebuah kehangatan menyapa saya dari balik layar digital.

Tentang pesan seorang kawan, yang memberi penguatan bahwa katanya saya mampu melewati masalah yang sedang saya hadapi.

Tentang pesan seorang kawan, yang memberi dukungan bahwa katanya saya harus tetap semangat menjalani waktu yang Tuhan beri.

Tentang pesan seorang kawan, yang bersedia menawarkan waktu dan telinganya untuk berbagi.

Tentang seorang kawan, yang hadir memberi kehangatan melalui ketikan jari-jemari.

Yang kesemuanya itu hadir melalui media digital yang ternyata sangat berdampak bagi saya sendiri. Sebuah hal kecil yang mungkin terlihat sederhana untuk dilakukan oleh setiap orang dengan media digital yang dimilikinya yang ternyata berdampak besar bagi regulasi emosi. Sebuah usaha sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki media digital seperti saya dan kawan saya.

Mengirimkan pesan adalah makanan kita sehari-hari. Tapi mengirim pesan dengan penuh rasa peduli sepertinya masih harus dibiasakan lagi. Seperti memastikan keadaan dengan bertanya “Bagaimana hari ini?, ada masalah?” atau menawarkan waktu untuk berbagi “Sini cerita, i’m here with you”, dan segala bentuk kalimat kepedulian lain yang membuat seseorang merasa lebih berarti dan tak merasa sendiri. Sebab, hal tersebut tentu menjadi pekerjaan yang lebih baik bagi jari jemari daripada mengetikkan hal-hal yang mengandung kata kasar dan cemoohan sana sini.

Dari kawan saya itu saya belajar, bahwa untuk menjadi bermanfaat tak melulu harus dengan melakukan hal-hal besar, menciptakan teknologi-teknologi digital canggih dengan segala kerumitannya. Sebab, untuk bermanfaat kita bisa memulainya dengan hal kecil tadi.

Untuk itu, saya ingin belajar membiasakan diri, tapi saya tidak ingin sendiri. Saya ingin mengajak semua yang membaca tulisan ini untuk memiliki rasa peduli, bermanfaat untuk orang-orang yang ditemui dengan melakukan hal kecil tadi. Sebab, untuk apa transformasi digital melesat tinggi bila kita kehilangan rasa peduli?.