Seni Mengendalikan Diri dalam Agenda Bingkai Digitalisasi Informasi

Seni Mengendalikan Diri dalam Agenda Bingkai Digitalisasi Informasi

Bingkai Digitalisasi | Foto: Pixabay/geralt

#SohIBBerkompetisiArtikel

Sebelum era digitalisasi, konsep manual adalah jalan untuk mendapatkan informasi. Setiap individu perlu membaca berlembar kertas untuk mendapatkan informasi tertentu. Berbeda dengan era digitalisasi sekarang, setiap persona mudah mendapatkan berbagai informasi spesifik. Digitalisasi menawarkan kemudahan mengetik kata kunci dengan konsekuensi diteruskan ke laman tertentu.

Digitalisasi (transformasi digital) ini merupakan dampak dari majunya teknologi yang beradaptasi dengan kondisi sosial untuk mencapai kemudahan dan efektivitas di beberapa aspek kehidupan. Mengutip dari Jakarta Smart City, digitalisasi ini berkaitan dengan konsep paperless (minimalisasi kertas), dimana memiliki tujuan akhir berupa penyediaan layanan yang efisien dan menggantikan skema tradisional yang konservatif dan menghabiskan banyak waktu.

Konsep digitalisasi ini mengena juga pada distribusi informasi berupa digitalisasi informasi. Adanya digitalisasi informasi berakibat pada dua sisi, yaitu positif dan negatif. Kecenderungan salah satunya bergantung pada pengguna (user) dalam memanfaatkan fasilitas digital tersebut.  Kecerdasan mereka perlu bermain dalam memfilter luapan informasi. Sebab, setiap informasi diproduksi dengan potensi bingkai media.

Seorang peneliti berlatar belakang political science bernama Dr. Zara Khan dalam penelitiannya berjudul “Taking Account of Tech: Fulfilling Our Personhood in the Smartphone Era”,  memantapkan adanya bingkai dalam media yaitu adanya kepastian mengenai semua media yang menerapkan bingkai terhadap realitas atas informasi yang akan di-publish sebagai konten.

Bingkai Media (Framing)

Bingkai media (framing) memiliki dua akar makna, pertama, berkaitan dengan referensi jurnalis dalam membangun konten berita. Kedua, berkaitan dengan efek framing terhadap pembaca atau konsumen media. Konsep framing ini dijelaskan oleh pakar komunikasi dan media massa bernama McQuail dalam bukunya yang berjudul “Teori Komunikasi Massa”.

Bingkai Media | Foto: Pixabay/DWilliam

Sebagai informasi, adanya bingkai media ini sedikit banyak dibarengi dengan agenda media. Little John sebagai pengamat media dalam buku “Theories of Human Communication” menjelaskan agenda media sebagai hak perusahaan media untuk menetapkan peristiwa yang akan diangkat.

Penetapan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa media (baik media massa atau media sosial) harus selektif dalam mengangkat isu untuk diinformasikan. Misalnya, media sosial banyak melakukan agenda setting pada konten bertopik: keluarga berencana, pernikahan sesama jenis, dan masalah LGBT (lesbian / gay / biseksual / transgender) serta urusan luar negeri, seperti Arab Spring.

Dalam sumber yang sama, Donald Shaw, dkk., sebagai pakar media mengklaim bahwa konten pilihan media ini akan memengaruhi publik berkaitan dengan cara berpikir dan sudut pandang suatu hal yang perlu untuk dipikirkan.

Film dokudrama arahan Jeff Orlowski yang berjudul “The Social Dilemma” mengungkap melalui mantan pekerja perusahaan media sosial ternama seperti Twitter dan Facebook, bahkan Youtube dan Google mengenai kejamnya dampak penggunaan media tersebut bila digunakan tanpa kecerdasan kontrol diri. Dalam konteks adiksi terhadap teknologi, film tersebut menarasikan, “Kita telah berubah dari era informasi menjadi era disinformasi”.

Tristan Harris yang merupakan mantan pakar etika google, dalam wawancara di film tersebut menjelaskan mengenai agenda baru dari majunya teknologi yaitu media sosial popular seperti Facebook, Snapchat, Twitter, Instagram, Youtube, TikTok, Google, Pinterest, Reddit, LinkedIn, dll., memiliki agenda untuk membuat pengguna terpaku pada layar. Dalam skala kecanduan, ketika pengguna tidak dapat menjual produk (memanfaatkan) aplikasi ini, maka penggunalah yang akan dijadikan produk.

Mengapa hal ini terjadi? Padahal beberapa informasi yang tersaji dalam platform tersebut kebanyakan gratis. Hal ini karena setiap gulir yang pengguna lakukan, ada produk iklan yang ditawarkan. Tampilan iklan akan sedikit banyak berpengaruh pada ketertarikan pengguna media tersebut, selanjutnya pengiklan akan membayar atas jasa dari media yang bersangkutan. Hal inilah yang dinamakan pengguna dijadikan produk dari digitalisasi.

Dari beberapa hasil penelitian dan pandangan praktisi di atas, dapat diambil pandangan mengenai pentingnya kapabilitas untuk mengendalikan diri dalam pesona agenda bingkai digitalisasi informasi. Berikut adalah empat seni mengendalikan diri dalam agenda bingkai digitalisasi informasi:

1. Paham mengenai Mis-, Dis-, dan Malinformation

Melansir dari laman Iona University, penting bagi pembaca untuk melihat objektivitas (kebenaran) informasi. Hal ini dapat ditelusuri melalui pemahaman akan tiga konsep, yaitu: mis-, dis, dan malinformasi.

Tiga Jenis kesalahan Informasi
Tiga Jenis Kesalahan Informasi | Foto: First Draft

Mis-informasi bermakna kesalahan dalam mengunggah informasi, dalam hal ini tidak jelas mengenai ada atau tidaknya niat dari personal atau grup dalam melakukan hal ini. Dis-informasi yaitu produksi informasi yang sengaja disalahkan dengan tujuan menyebabkan kerugian. Sedangkan mal-informasi yaitu informasi yang benar namun bertujuan salah yaitu untuk merugikan seseorang dan/atau kelompok tertentu.

Nah, bagaimana cara mengidentifikasi bahwa sebuah informasi mengandung salah satu atau keseluruhan dari tiga konsep di atas? Mengutip informasi dari Government of Canada, tiga konsep tersebut dapat dikenali dengan meninjau sumber dan pesan.

2. Paham mengenai Platform tempat Distribusi Informasi

Dalam memahami sebuah informasi, perlu adanya sikap kritis dari pembaca bukan hanya pada konten informasi, melainkan distributor informasi tersebut. Menengarai apakah informasi tersebut dipublikasikan oleh media yang terpercaya atau tidak. Mengapa hal ini penting? Karena setiap media memiliki agenda media dan kepentingan yang meliputi kepentingan politik, ekonomi, pasar, media, dll.

3. Paham mengenai Infrastruktur Teknologi yang Membentuk Kecenderungan Media

Hasil pemaknaan penulis melalui research berjudul Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media  yaitu seni mendapat informasi yang valid dalam digitalisasi informasi dapat diperoleh dengan memahami akan infrastruktur teknologi yang membentuk sebuah media yang berkaitan dengan model bisnis yang dijalankan. Maksudnya, kepemilikan teknologi informasi seperti meta data, algoritma, protocol, interface, dan default ini dimaksudkan media untuk menunjang kinerja tindakan sosial yang berpengaruh adiksi pada pengguna atau hanya sebatas fasilitas untuk media mengunggah informasi yang berkualitas dan valid.

4. Pahami Kiat Detail Pengecekan

Lebih lanjut, pembaca dapat mengecek detail dengan memeriksa referensi resmi dari foto dan alamat situs. Pembaca juga perlu mengimplementasikan critical thinking untuk menilai judul (apakah provokatif atau tidak), membaca informasi secara menyeluruh, dan membandingkan dengan beberapa media massa dengan lisensi terpercaya atau media resmi pemerintah yang menjadi referensi membangun narasi.

Setiap input informasi akan berpengaruh pada referensi dalam diri dan berinteraksi secara sosial. Penting bagi pembaca untuk menyikapi luapan digitalisasi informasi dengan analisis dan kritis.Dengan demikian, perlu seni mengendalikan diri dalam menghadapi arus digitalisasi informasi.

Referensi: 

McQuail. (2011). Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi Buku Denis McQuail. Salemba Humanika.

John, Little. (2017). Theories of Human Communcation. US. Waveland Press, Inc.

Film Dokudrama The Social Dilemma (2020) karya Jeff Orlowski