Menuju Pemilu 2024 yang Transparan: Ekosistem Digital dan Regulasi Komprehensif dalam Menghadapi Kekacauan Informasi

Menuju Pemilu 2024 yang Transparan: Ekosistem Digital dan Regulasi Komprehensif dalam Menghadapi Kekacauan Informasi

Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang mendukung digitalisasi Indonesia | Digital Bisa: digitalbisa.id

Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 | Niaga Asia: niaga.asia

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan segera berlangsung dalam kurang dari satu tahun. Seperti biasa menjelang pemilu, grup percakapan dan media sosial akan dipenuhi dengan informasi yang tidak benar. Terlebih, pada masa kampanye yang akan resmi dimulai 28 November mendatang selama 75 hari sebelum masa tenang dimulai. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan teknis yang dilakukan oleh calon peserta pemilu.

Ditetapkannya penjadwalan masa kampanye dengan mendekati hari pemungutan suara menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh calon peserta pemilu, terutama melalui media digital. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menciptakan ekosistem digital yang demokratis dalam rangka menuju Pemilu 2024. 

Terlebih, kilas balik akan pengalaman dari pemilu sebelumnya, yaitu pada tahun 2014 dan 2019, telah menunjukkan bahwa penyebaran informasi yang tidak benar selama pemilu menyebabkan perpecahan dalam masyarakat. Gangguan informasi tidak hanya mempengaruhi emosi masyarakat, tetapi juga mengganggu proses pemilu itu sendiri. Berakhir, kekacauan informasi semakin marak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu.

Menurut data dari Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), 60% dari 1221 berita bohong yang ditemukan pada tahun 2019 terkait dengan pemilu dan menyerang peserta pemilu, proses pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu. Tentu dalam menghadapi Pemilu 2024, diperlukan strategi untuk menghentikan penyebaran disinformasi agar tidak semakin meluas dan menyebabkan polarisasi dalam masyarakat. 

Dari permasalahan tersebut, jika dibedah menjadi lebih rinci, pengacauan informasi yang terjadi dalam pemilu dimaksudkan untuk merusak legitimasi proses pemilu dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan institusi demokrasi. Pada Pemilu 2019, disinformasi yang menyebar terutama menyerang kredibilitas penyelenggara pemilu dan antar peserta pemilu. Dampaknya adalah terjadinya polarisasi dalam masyarakat.

Polarisasi mengacu pada pemisahan masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan. Jika tingkat polarisasi tinggi, kelompok tersebut tidak hanya bertentangan, tetapi juga merendahkan kelompok lain dan berusaha mengalahkannya dengan segala cara. Polarisasi dapat merusak demokrasi dengan melemahkan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, mengganggu proses legislasi, meningkatkan intoleransi dan diskriminasi.

Kekacauan informasi yang berkembang akibat polarisasi dapat diasosiasikan dengan pemisahan masyarakat menjadi dua kelompok homogen yang saling bertentangan. Jika tingkat polarisasi tinggi, suatu kelompok tidak hanya menentang, tetapi juga memandang rendah kelompok lain, tetapi juga mencari cara untuk mengalahkan kelompok lain dengan cara apapun juga.

Tak seenteng itu, polarisasi juga dapat mengancam institusi demokrasi ketika pertama, muncul istilah “kita versus mereka”. Masing-masing pihak membingkai pihak lain tidak hanya sebagai pesaing atau lawan dengan pandangan dan tujuan yang berbeda, tetapi juga sebagai liyan yang tidak diakui dan merupakan suatu ancaman eksistensi.

Demikian, dalam kondisi politik yang sangat terpolarisasi, kubu yang bertahan akan membingkai lawan politik sebagai “musuh negara”, sehingga menciptakan dalih untuk mengintimidasi dan menekan kekuatan oposisi. Berakhir, munculnya tanda-tanda memburuknya polarisasi yang afektif di mana antipati antara pendukung di tingkat masyarakat meningkat.

Minimnya Regulasi Komprehensif di Ruang Abu-abu

Ilustrasi penolakan informasi hoax yang kemungkinan besar akan terjadi selama berlangsungnya proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang | KOMPAS: kompas.id

Berbicara mengenai sumber kekacauan politik akibat dari media informasi, tak luput dari permasalahan regulasi hukum yang digunakan. Payung hukum yang digunakan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 masih mengacu pada regulasi yang sama dengan Pemilu 2019, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017. 

Namun, perlu diperhatikan bahwa regulasi yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat mengatasi inti permasalahan yang muncul dalam penyebaran disinformasi selama pemilu. Dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, belum terdapat aturan khusus yang secara tegas menangani isu ini.

Dalam konteks kampanye di media sosial, aturan-aturan yang tercantum dalam Peraturan KPU (PKPU) menjadi penting. Pasal 35 PKPU Kampanye Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum memberikan kemungkinan bagi peserta pemilu untuk melakukan kampanye melalui media sosial dengan batasan maksimal 10 akun untuk setiap jenis aplikasi. 

Namun, perlu dicermati bahwa pembatasan ini masih terfokus pada jumlah akun media sosial peserta pemilu, sementara permasalahan yang sebenarnya bukan hanya terkait dengan jumlah akun, melainkan dengan konten negatif yang disebarkan melalui akun-akun yang tidak resmi atau tidak valid. Selain itu, perlu dipahami bahwa akun resmi yang terdaftar secara sah tentu tidak akan menyebarkan informasi yang tidak valid.

Untuk menghadapi tantangan penyebaran disinformasi dalam pemilu, diperlukan regulasi yang lebih komprehensif dan mendalam. Hal ini meliputi kebijakan yang mengatur pengawasan konten, verifikasi keaslian informasi, sanksi yang tegas terhadap penyebar disinformasi, dan upaya pemberdayaan masyarakat untuk mendeteksi dan menanggapi informasi yang tidak benar. 

Lebih dari sekadar pembatasan jumlah akun media sosial, penekanan harus diberikan pada pengawasan dan pencegahan penyebaran konten yang merugikan dalam pemilu, tanpa melanggar kebebasan berekspresi yang dijamin dalam konteks demokrasi.

Ekosistem Digital Demokratisasi Untuk Pengendalian Pemilu 

Potret para pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilu 2024 usai melakukan rapat koordinasi digitalisasi pemilu untuk digitalisasi Indonesia dalam mendorong transformasi digital | KPU Kabupaten Malang: kpud-malangkab.go.id

Kekurangan kerangka hukum dalam mengatasi kekacauan informasi saat Pemilu 2024 mendorong upaya masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem digital yang demokratis. Upaya ini termasuk memperkuat kemampuan mendeteksi dan menganalisis kekacauan informasi pemilu serta mengungkapkannya. Informasi yang diterima melalui platform komunikasi seringkali dianggap benar tanpa verifikasi, dan masyarakat awam tidak tahu bagaimana melaporkan informasi yang salah.

Hal itu tidak hanya penting bagi masyarakat umum termasuk pemilih muda, tetapi juga bagi penyelenggara pemilu. Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, penyelenggara pemilu pun menjadi target dari pengacauan informasi. Selain itu, hal yang tidak kalah penting ialah peran dari platform media sosial dalam melakukan moderasi konten atas konten yang dinilai tidak benar.

Tak hanya itu, konsolidasi masyarakat sipil dan sinergi dengan kelompok lain juga penting dalam mencegah dan menangani kekacauan informasi pemilu. Koalisi Lawan Disinformasi pemilu dan Koalisi Damai berperan dalam upaya ini, termasuk melibatkan jejaring masyarakat sipil dan media di daerah. Kolaborasi ini pun juga termasuk dengan jejaring masyarakat sipil dan media di daerah, yang juga memiliki inisiatif yang sama dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu.

Kemudian, koordinasi dengan pihak-pihak terkait juga diperlukan. Penanganan kekacauan informasi pemilu membutuhkan komitmen multipihak, termasuk penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat sipil, media, dan platform media sosial. Forum multipihak yang dipimpin oleh penyelenggara pemilu atau pemerintah bisa menjadi wadah bagi setiap pihak untuk berbagi peran dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu.

Dengan berbagai kesiapan, penguatan ketahanan pemilih terhadap kekacauan informasi pemilu juga penting. Pemilih yang berdaya dapat mengurangi kekacauan informasi. Penyebaran informasi yang komprehensif kepada pemilih tentang tahapan dan jenis pemilu perlu dilakukan. Data kepemiluan dapat dipublikasikan melalui media agar mudah diakses oleh publik. Keterbukaan data dan informasi akan meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu dan membantu publik dalam menghadapi informasi di ruang digital dengan bijak.