Kepercayaan, Salah Satu Kunci Penting Transformasi Digital Pemilu Indonesia

Kepercayaan, Salah Satu Kunci Penting Transformasi Digital Pemilu Indonesia

Pemuda Berinteraksi dengan Instrumen Digital | Unsplash (Priscilla Du Preez)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Halo teman-teman pembaca SohIB! Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga kalian semua dalam keadaan sehat dan bahagia, ya! 

Oh, iya, hari ini kalian sudah cek Twitter atau Instagram belum? Sepertinya ada banyak sekali yang sedang dibahas, terutama, tentang pesta demokrasi tahun depan! Linimasa saya penuh sekali dengan netizen seusia saya yang penasaran dengan pemilu, apalagi rata-rata mereka akan baru pertama kali mengikutinya. Saya sendiri sejujurnya tahun depan adalah yang kedua kali. Masih teringat saat pemilu pertama saya tahun 2019, saya belum punya pilihan pribadi saat itu, sehingga hanya mengikuti apa pilihan orangtua, hehe. 

Saat ini, sepertinya generasi muda sudah mulai melek dan kritis terhadap politik di Indonesia. Tidak jarang, di kolom komentar dan balas, saya menemukan perdebatan mengenai calon presiden, partai-partai politik, bahkan hubungan internasional. Akun-akun bertema politik pun marak bermunculan di Instagram, Twitter dan Tiktok, yang membuat anak-anak muda sekarang lebih mudah mendapatkan informasi dan bertukar pikiran mengenai politik, terutama tentang pemilu 2024.

Berbicara tentang pemilu, ada satu hal unik yang saya alami ketika masih SMA. Kami pada waktu itu mengadakan pemilihan ketua OSIS. Saya berpikir, mungkin sistemnya akan sama dengan pemilu-pemilu pada umumnya, yakni mencoblos kertas di dalam kotak, lalu memasukkannya ke dalam kotak yang lain. Tapi ternyata sistemnya tidak seperti itu! Kepala sekolah saya dan tim IT sekolah membuat sebuah aplikasi khusus untuk memilih kandidat ketua OSIS. Pemilihan kemudian dilangsungkan dengan sistem online, para siswa tinggal mengklik foto kandidat ketua OSIS, kemudian suara masuk ke dalam sistem.

Voting pertama di SMA | Unsplash (Manny Bercerra)
Voting pertama di SMA | Unsplash (Manny Bercerra)

 

Pengalaman tersebut membuat saya berpikir, apakah mungkin pemilu nasional di Indonesia dapat diterapkan secara online? Secara waktu dan tempat, pemilu dengan sistem daring dirasa lebih efektif dan efisien. Apalagi, untuk perantau seperti saya, akan jauh lebih memudahkan saya agar tidak perlu pulang ke alamat KTP atau mengurus surat tambahan lain. 

Terlebih, menurut Masrully, Analis Kebijakan Puslatbang PKASN Lembaga Administrasi Negara, mengatakan bahwa e-voting  atau i-voting (pemungutan suara elektronik/internet) secara umum menguntungkan, seperti perhitungan suara akan lebih cepat,  menghemat biaya percetakan surat suara, pemungutan suara lebih sederhana, dan peralatan dapat digunakan berulang kali.

Ternyata, sistem e-voting atau i-voting ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara lho, salah satu negara pelopornya adalah Estonia. Toomas Hendrik Ilves, mantan presiden Estonia, mengatakan dalam wawancara bersama Freethink bahwa sistem digital telah diterapkan di pemerintahan Estonia sejak tahun 2001. Pemilu pertama diadakan secara online pada tahun 2005 di sana. Wah, Estonia sudah menerapkan sistem digital dalam kehidupan sejak lama, ya!

Ilustrasi Masyarakat Estonia menggunakan Layanan Digital | Unsplash (Priscilla Du Preez)

Menurut data yang dikeluarkan oleh International IDEA’s ICTs in Elections Database 2022, sebanyak 19% dari 178 negara yang menggunakan sistem e-voting. Sedangkan, 15% negara lainnya sedang mempertimbangkan kemungkinan penerapan e-voting di masa depan, salah satunya adalah Indonesia. Hmmm, apakah mungkin Indonesia menerapkan e-voting atau i-voting, atau bahkan e-government seperti Estonia, ya? 

Sebenarnya, e-voting di Indonesia sudah beberapa kali diterapkan, namun masih dalam skala kecil, contohnya seperti Pilkades di Desa Babakan Wetan, Bogor, pada 2017. Pembahasan mengenai e-voting atau i-voting pun sudah dibahas berulang kali oleh pemerintah. Oke, jadi, kira-kira kapan Indonesia siap untuk menerapkan e-voting atau i-voting, ya?

Toomas Hendrik Ilves kemudian mengatakan satu hal yang paling fundamental dalam penerapan digitalisasi di sebuah negara, yakni: kepercayaan! Jika pemerintah sudah memberikan pelayanan yang baik selama ini, seperti pelayanan kesehatan digital, pelayanan pajak digital, atau pelayanan pengadilan digital, tentu saja masyarakat akan dengan mudah memercayakan suara mereka pada sistem pemungutan suara digital. Oleh karena itulah, pemerintah dan masyarakat harus saling bahu membahu menciptakan budaya yang jujur dan transparan agar tumbuh rasa percaya.

Rasa percaya dapat tumbuh apabila semua pihak menyediakan informasi yang benar kepada khalayak, tidak berbohong, memanipulasi, atau memalsukan. Estonia telah berhasil membangun sistem digitalnya karena siklus kepercayaan itu telah mengalir sejak lama. Para penggerak literasi, jurnalis, dosen, guru, siswa dan pemerintah dapat berkontribusi lebih dalam perkembangan media massa agar tidak lagi tersebar hoaks yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat.

Kabar baiknya adalah, generasi muda Indonesia (usia 17-39 tahun) semakin berpartisipasi dalam ajang pemilu. Mengutip dari Goodstats.id, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mendata terjadi peningkatan dalam partisipasi pemilu generasi muda Indonesia, yang sebelumnya sebanyak 85.9% pada tahun 2014, menjadi 91.3% pada tahun 2019. Itu artinya, generasi muda sudah semakin percaya dengan pemilu di Indonesia, terlepas dari berbagai tantangan yang ada. 

Saya juga menyaksikan permainan menarik yang ada di Twitter, seperti pemilihan calon presiden terbaik tahun 2024 yang dipilih melalui fitur polling! Wah, netizen ternyata sudah siap sejak jauh-jauh hari, pikir saya. Para pemuda juga telah aktif berdiskusi tentang sejarah dan biografi masing-masing calon, sehingga, sangat sulit bagi mereka untuk menerima berita secara langsung, apalagi hoaks! Komunikasi digital yang transparan menjadi langkah pertama Indonesia menuju e-voting atau i-voting.

Komunikasi di Media Sosial | Unsplash (Austin Disel)

 

Mungkin memang, jumlah penduduk dan luas negara menjadi pertimbangan. Tentu saja kita tidak bisa membandingkan 1.338.000 penduduk Estonia dengan 278.946.000 penduduk Indonesia, jauh sekali! Permasalahannya bukan pada jumlah penduduknya, karena desain sistem sebenarnya bisa diduplikasi. Tapi pertanyaannya, apakah kita siap untuk membangun digitalisasi pemilu ini?

Tentu saja, kita harus menjawab siap! Indonesia siap untuk transformasi digital dalam pemilu, Indonesia siap untuk bisa saling percaya, dan Indonesia siap untuk menjadi lebih baik lagi! Ah, semoga kita bisa segera merasakan pemilu dari atas kasur ya, SohIB!