Golput Susut, Cerdik Selidik

Golput Susut, Cerdik Selidik

Pemilu Anti Hoax | Kominfo (Antarafoto)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Bara, usianya belum genap seperlima abad. Sayang, gairahnya tak segarang namanya. Ia mantap dan bertekad, alias enggan untuk sekadar singgah, walau hanya semenit dua menit mencocok kertas. Ia tak mau memberi hak suara dalam pesta rakyat yang digadang-gadang terbesar di Zamrud Khatulistiwa. Bukan sekali dua kali, dari Pilkada hingga Pilkades, seluruhnya diabaikan dengan dalih tiada lagi percaya.

Perdana, ia merasakan jari kelingking berselubung tinta biru, tatkala pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas semasa kuliah dulu. Setelahnya, ia muak serta tiada lagi peduli dengan Pemilu (Pemilihan Umum) dan tetek bengeknya. Bara bersungguh-sungguh untuk menjadi sekian banyak orang dari Golongan Putih atau Golput.

Kabar Bohong Berbondong-bondong

Bara bukanlah satu-satunya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 34,75 juta orang ikhlas merelakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Tidak sedikit hal yang mendasari jutaan populasi tak lagi datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), diantaranya akibat ledakan misinformasi dan disinformasi (hoax).

Kontestasi dua kubu calon presiden dan wakil presiden empat tahun lalu, barang tentu diwarnai oleh beragam cerita manis pahit dengan tambahan berbagai jenis bumbu. Dari kabar menggembirakan hingga cukup membuat pembaca mengernyitkan dahi, semuanya tersedia. Tak mengherankan apabila Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan 3.356 hoaks selama Agustus 2018 sampai 30 September 2019.

Penolakan datang silih berganti diikuti sejumlah kericuhan. Unjuk rasa, demonstrasi, dan provokasi pun semakin merajalela. Imbasnya, menurut laporan CNBC Indonesia, pemerintah memutuskan untuk membatasi akses media sosial, seperti WhatsApp (WA), Facebook, dan Instagram demi meredam penyebaran berita non-akurat yang tak terkendali pada 22-25 Mei 2019.

Asa Pemilu di Balik Sendu

Asa Pemilu | Pexels (Edmond Dantès)
Asa Pemilu | Pexels (Edmond Dantes)

“Untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”, begitu bunyi poin pertama pertimbangan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kebijakan yang mengatur perwujudan sistem ketatanegaraan demokratis itu, secara gamblang menjelaskan seluk-beluk pemilihan berasas luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil). Mulai dari kriteria atau ketentuan calon pemimpin hingga sanksi yang menghantui pelanggarannya tercantum dalam Undang-Undang Pemilu.

Meski Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam Pemilu merupakan yang tertinggi kedua di dunia. Namun, data dari BPS tak mampu menepis realita bahwa angka Golput masihlah tinggi.

Padahal, Pemilu bukan hanya menentukan siapa pemimpin terbaik dan tepat untuk Indonesia. Lebih dari sekadar itu, implementasi visi dan misi yang diusung sangat menentukan masa depan bangsa untuk lima tahun mendatang. Sayangnya, tak jarang beberapa orang yang beranggapan bahwa ‘pesta coblos’ itu hanya menguntungkan kepentingan segelintir pihak, bukanlah demi kemaslahatan rakyat.

Rajut Jiwa, Para Pemuda

Suara Pemuda dalam Pemilu
Suara Pemuda dalam Pemilu | Pexels (Edmond Dantes)

Orang-orang seperti Bara tidaklah salah, tetapi ia hanyalah korban dari ketidakberdayaan. Ketidaktahuan akan bagaimana satu suara bermanfaat untuk wujudkan Indonesia menjadi negara terdepan dan bersaing di kancah global. Ia bersama ratusan juta rakyat sangatlah perlu perhatian lebih. Ia dengan anak muda lainnya, bukan lagi menjadi generasi penerus bangsa, tetapi juga penggerak peradaban.

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, Generasi Z (Gen Z) yang lahir pada 1997 sampai 2012 mendominasi jumlah penduduk Indonesia, yaitu sebesar 27,94 persen. Sementara kelompok tua atau Baby Boomer yang kerap identik dengan kata konservatif dan kolot berada di urutan keempat karena tergeser oleh Milenial serta Gen X.

Artinya, pemuda seperti Bara yang sering mendapatkan julukan “anak bau kencur” telah merebut posisi puncak dan berhak meraih eksistensi dalam segala bidang. Gen Z yang memiliki citra kekinian dan melek teknologi berkesempatan untuk meneruskan estafet kepemimpinan di Tanah Air, termasuk kepedulian terhadap dunia politik.

National Geographic Indonesia melaporkan bahwa Gen Z cenderung lebih berpikiran terbuka, menghendaki perubahan sosial, dan memiliki keahlian untuk kuasai teknologi. Akibatnya, mereka lebih tahan terhadap sebaran isu hoax yang sangat mengkhawatirkan. Bagi mereka, literasi media digital telah dianggap sebagai modal penting dalam berkehidupan dan bernegara.

Digital Aksi, Ulik Politik

Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Isu konten negatif menjelang Pemilu 2024 semakin merajalela. Beberapa orang menjadi korban, beberapa lainnya pun turut menanggung kerugian. Hal itu akibat penyebaran hoax yang begitu masif dan luar biasa tak terkendali. Akibatnya, masyarakat mulai enggan dan meninggalkan hak pilih.

Belajar dari Singapura, negara yang luasnya tak begitu berbeda jauh dengan DKI Jakarta itu sangat getol mengatur Pemilu. Pemerintah setempat tak segan untuk melayangkan sanksi bagi orang-orang yang meninggalkan hak pilih. Di Indonesia memang tak seekstrim itu, polemik Golput tampaknya terus menghantui. Pasalnya, belum ada aturan pasti terkait individu yang tidak menggunakan suaranya.

Meski begitu, bukan tidak ada cara lain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya bagi generasi muda. Langkah praktis yang bisa dilakukan adalah menyiapkan diri dengan ilmu untuk menangkal hoax.

Dikutip dari Tempo, Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengimbau Milenial untuk aktif melawan hoax. Alasannya, anak muda merupakan kelompok manusia yang paling banyak menggunakan gawai (gadget).

Sebagai manusia yang sangat bergantung dengan teknologi, janganlah ragu untuk belajar menahan diri sebelum sebar informasi, cerdas memanfaatkan internet, dan tidak mudah terpancing emosi. Berlatihlah untuk memerangi hoax dengan mencari sumber data yang valid serta tak ragu membuat laporan, salah satunya melalui portal AduanKonten.id.

Pemilu 2024 tinggal sebentar lagi, mari bekali diri dengan kepedulian, kepercayaan, dan pengetahuan. Karena, jika bukan dari diri-sendiri, lalu siapa lagi? Apabila tidak sekarang, lalu kapan lagi?