Dunia Virtual yang Digerakkan Untuk dan Oleh Warganet Ketika Kepedulian Lebih Penting Daripada Segalanya

Dunia Virtual yang Digerakkan Untuk dan Oleh Warganet Ketika Kepedulian Lebih Penting Daripada Segalanya

Menuju masyarakat cerdas, demokratif, dan kreatif dengan teknologi | (Agence Olloweb on Unsplash)

#SohiBBerkompetisiArtikel

Percepatan adalah hal pertama yang muncul dibenakku kalu harus membahas teknologi terkini, yang mana telah dikuasai oleh dunia virtual. Kekuasaan dunia tersebut bukan untuk menyasar pada hal-hal yang negatif saja, seperti yang ditakutkan oleh kebanyakan Generasi X. Memang, ketakutan itu bukan atas sesuatu yang tak mendasar, tetapi oleh sebab percepatan yang membuat informasi dari berbagai hal tidak terfiltrasi dengan tepat sehingga penyerapan norma-norma negatif dari yang tampil di dunia virtual tampaknya memantik semangat kecemasan. Hal semacam ini sudah banyak disinggung oleh kemkes.go.id.

Hanya saja, kecemasan itu sendiri adalah buah dan langkah yang semestinya bisa dihindari. Algoritma teknologi informasi terkini memungkinkan seseorang untuk mendapatkan apa saja secara virtual dari seberapa banyak horizon itu dicari ketika ponsel pintar atau gawai lainnya sedang dipegang. Bayangkan saja, seseorang yang terfokus untuk mencari berita kriminal melalui Google misalnya, ia sekaligus telah menciptakan zona kekejaman informasi untuk dirinya sendiri.

Ketika kita terfokus untuk melihat sisi-sisi negatif, nyatanya, kita akan ditenggelamkan pula agar terlupa pada lautan informasi yang memiliki nada syahdu, romantisme, dan segala kesejukan lainnya yang terkodifikasi secara digital. Itulah mengapa, cerita ringkasku ini akan menjadi magnet bagimu, bagiku, semoga untuk sebuah rantai informasi positif yang tak berujung, tentang bagaimana dunia virtual telah mampu digerakkan untuk dan oleh warganet ketika kepeduliaan lebih penting daripada segalanya. Ada tiga poin penting untuk mewujudkan kesadaran itu, yang mana dibahas sebagai berikut.

Lensa Instagram untuk Menjadi Masyarakat yang Imun, bukan Tertegun

Magnifying Glass
 Door to virtual | Unsplash (Agence Olloweb on Unsplash)

 

Sudah umum diketahui masyarakat bahwa ikon kaca pembesar yang ada pada suatu aplikasi, website, atau laman virtual adalah sebuah tanda untuk memulai pencarian. Melalui satu ikon tersebut kita bisa berselancar ke berbagai zaman, objek, hingga yang awalnya hanya diimajinasikan saja seolah berada di hadapan kita.

Ikon tersebut sekaligus mengajak kita untuk kembali melihat sisi diri kita yang sesungguhnya. Pertama, kita berkaca dulu pada instagram. Saat membuat akun instagram, kita akan dibawa kepada ikon pencarian itu untuk melihat pada gambar yang mengilustrasikan keinginan visual kita.

Ada seseorang yang menyukai perempuan berbaju bikini, ada seseorang yang lebih banyak melihat video yang bersifat sensitif, tetapi banyak juga di antara mereka yang sedang mencari seseorang yang dianggap berharga. Dari ikon ini pula kita akan melihat jati diri manusia yang tertegun atau justru imun.

Seperti pandangan filsafat  Kantian tentang akal budi, bahwa setiap manusia memegang kendali atas pikirannya sendiri. Hal yang serupa dialirkan melaui konsep takdir muallaq, yang mana setiap manusia memegang kendali atas takdirnya sendiri. Kendali itulah yang sebenarnya sedang dinarasikan secara simbolis oleh ikon kaca pembesar.

Pada ikon itu, selain kita sedang melihat sebuah harapan akan pencarian hasrat visual, kita juga sedang memahami diri kita. Akankah kita mencari segala sesuatu yang bersifat motivatif, inspratif, atau justru lebih banyak ditaklukkan oleh kepuasaan sesaat yang dikomandoi oleh hasrat. Apabila kita bisa memilih sebuah proses pencarian ideologis yang tidak hanya terpaku pada hasrat, tetapi juga kekayaan intelektual, kita telah menjadi manusia yang imun dan teknologi akan selalu tunduk kepada kita. Lalu, bagaimana jika sebaliknya? Setiap kelahiran teknologi akan membuat dagu kita terjatuh dan kata “waaah…” akan menjadi nada utama dalam gerak bibir.

 

Melihat Kang Husein Hingga Sisi Pembelaan Tiada Akhir dan Tanpa Batas

People Power
People for people | Unsplash (Ryoji Iwata on Unsplash)

Baru-baru ini seorang guru musik, yang juga baru saja akan dilantik menjadi ASN, bernama Kang Husein, membuat masyarakat kembali tersadar akan nilai solidaritas tanpa batas. Kali ini, cerita Kang Husein bukan untuk menyasar paradigma tak menyenangkan dalam penyelenggaraan rangakain kegiatan untuk mencapai posisi ASN di Pangandaran. Justru, Kang Husein telah menciptakan sebuah lagu semangat solidaritas dan demokrasi yang senyatanya, seperti ketika lagu Komang dinyanyikannya di depan Ridwan Kamil.

Setelah runtuhnya Orde Baru, semboyan demokrasi digaungkan di berbagai penjuru. Kala itu, semua bentuk politis diproses oleh semboyan, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Dunia virtual bergerak dengan cepat seperti rangkaian manusia dalam demonstrasi 1998. Dari berbagai belahan daerah di Indonesia, tidak memandang suku, budaya, ras, agama, atau bentuk-bentuk konstruksi masyarakat lainnya – bersatu dengan satu suara untuk berkibarnya bendera Indonesia yang benar-benar demokratis.

Apa yang terjadi pada Kang Husein dan bagaimana masyarakat dengan cepat memberi tanggapan, dukungan, dan wawasan mengenai tragedi serupa, Ridwan Kamil pun memanggilnya ke Kantor Gubernur. Hal yang sama pernah digaungkan oleh Bima tentang jalan di Lampung. Lalu, sebuah acungan pisau dari pedagang pakaian di Pasar Gedebage kepada pelanggannya dan segera mendapat penanganan pihak berwajib, pun telah menjadi sebuah monumen demokrasi yang nyata.

Jika kita bisa mengingat lebih jauh lagi, terbongkarnya kasus suami Risma yang berselingkuh dengan ibu mertuanya pun hasil dari gerakan demokratis warganet. Masyarakat Indonesia secara tidak langsung mengibarkan semangat demokrasi melalui ketikan jemarinya. Pergerakan penegak hukum dan pemerintah setempat dalam menanggapi aspirasi warganet tersebut pun semakin cepat. Semua elemen kembali menjadi rakyat, bergerak bersama rakyat, dan suara dari ke-bhinneka-an telah menjadi utuh dan sejati.

 

ChatGPT dan Imajinasi yang Justru Tanpa Batas

ChatGPT
ChatGPT to Beyond Imagination | Unsplash (Google DeepMind on Unsplash)

Siapa bilang ChatGPT membuat sebuah dunia virtual sebagai toko barang bajakan dan KW. Dalam novel Moby Dick terdapat sebuah kutipan terkenal yang sebenarnya sedang dibangkitkan oleh ChatGPT dan kawan-kawan AI-nya. Kutipan tersebut adalah there is nothing new under the sun ‘tidak ada yang benar-benar baru di bawah (sinar) matahari’.

ChatGPT menerapkan ungkapan tersebut secar fundamental. Algoritmanya mampu memparafrasekan info-info umum menjadi sebuah deskripsi kompleks. Nah, ini justru menjadi kesempatan bagi manusia (penulis terutama) untuk melihat sejauh mana orisinalitas karya seseorang. Jika kita menulis dengan gaya dan penataan informasi yang serupa ChatGPT, maka sejatinya kita telah mandek dan tidak mampu mencapai orisinalitas, apalagi signature creation.

Lebih dari itu, kemampuan ChatGPT sekaligus dikolaborasikan dengan Ai Ilustration, sebuah visualisasi tentang informasi historis menjadi semakin jelas. Bayangkan apabila teknologi ini digunakan untuk memahami pengetahuan-pengetahuan kuno di Indonesia, seberapa kaya produk budaya yang akan terlahir setelahnya? Para seniman koreografi tidak perlu mengumpulkan informasi umum untuk melahirkan tarian misalnya.

 

Dengan bertumpu pada ketiga pandangan dasar tersebut, dunia virtual dalam aplikasi-aplikasi digital, telah mampu mewujudkan dirinya sebagai media yang berdekatan dengan ideologi kemasyarakatan. Berbagai solidaritas bernada demokrasi pun terwujud di sana. Hingga, segala kreativitas menjadi tanpa batas pada masanya.

Referensi

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1334/pengaruh-adiksi-internet-terhadap-kecemasan-sosial-pada-remaja

https://www.instagram.com/reel/CsF3B0jpGwN/?igshid=MzRlODBiNWFlZA==(Tentang Kang Husein yang diundang Ridwan Kamil)

https://www.nngroup.com/articles/magnifying-glass-icon/

https://opac.isi.ac.id/index.php?p=show_detail&id=41223 (Filsafat Kantian)