Digital, Penulis, dan Potensi Budaya Daerah

Digital, Penulis, dan Potensi Budaya Daerah

Digital, Penulis, dan Potensi Budaya Daerah | Dokumentasi Pribadi

 #SohIBBerkompetisiArtikel 

Kekayaan budaya Indonesia yang merupakan jati diri bangsa, menjadi kebanggaan yang layak untuk dijaga dan diwarisi. Melaluinya, kita bisa belajar tatanan hidup, sejarah, norma, etika, hingga bertoleransi. Bahkan, keberagaman suku bangsa, situs budaya dan adat istiadat ini menjadi potensi daerah yang sangat menarik di mata dunia. Sesuatu yang hanya ada di negara kita, dan dinilai istimewa karena keunikannya.

Mari ambil salah satu destinasi wisata daerah yang paling terkenal di kalangan wisatawan mancanegara, Pulau Dewata Bali. Mengutip dari tempo.co, seni, budaya, kuliner khas, keindahan alam dan pura-pura di sini menjadi alasan kenapa banyak turis asing gemar melancong ke Bali. Bayangkan bila seluruh potensi budaya dan kearifan lokal daerah yang ada di Indonesia ini bisa lebih digaungkan lagi, pastinya akan memberi imbal positif bagi negara dan masyarakat daerah itu sendiri. Betul, kan?

Namun, isu terkikisnya budaya lokal akibat derasnya arus globalisasi, menimbulkan kekhawatiran akan eksistensinya di masa depan. Termasuk saya, akan kah anak-cucu saya nanti bisa mengetahui betapa luar biasanya kebudayaan bangsa ini?

Sederhana saja, saya yang kebetulan orang Minang, serta fakta bahwa anak-anak masih mewarisi suku Minang dari saya yang menganut paham matrilineal, sangat berharap mereka dapat memahami dan punya pengetahuan tentangnya.

Sayangnya, di generasi saya sekarang, pengetahuan mendalam tentang budaya ini pun sudah mulai memudar. Niat untuk membekali anak-anak, menyadarkan saya bahwa ternyata pengetahuan diri sendiri belum cukup memadai untuk mewarisi. Hanya tahu kulit luarnya saja, tapi bingung perihal isinya. Ditambah lagi kami merantau ke ibu kota, menyaksikan langsung aktivitas kebudayaan lokal adalah hal mahal dan sulit didapat.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Sangat sia-sia bila hanya pasrah dan diam saja di tengah akses informasi tak terbatas di dunia digital saat ini. Banyak hal terkait budaya yang bebas digali dan dipelajari dari berbagai sumber digital. Seperti yang dituliskan SohIB Indonesia Baik, berdasarkan data dari Dewan Pers, terdapat sekitar 1.711 perusahaan media di Indonesia yang sudah dinyatakan terverifikasi per Januari 2023. Media digitallah yang mendominasi, mencapai 902 perusahaan. Perbandingannya cukup signifikan dengan media massa lain, yaitu 422 untuk media cetak, 369 untuk televisi, dan hanya 17 untuk radio. Tidak perlu jauh-jauh, di Indonesia saja, sudah sebanyak itu media digital yang siap memfasilitasi kita.

Bak sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Hobi menulis yang selama ini dijalani, menjadi media menarik bagi saya untuk mempelajari lebih banyak tentang budaya, sekaligus sebagai pintu untuk mengabadikan dan menyebarluaskannya kepada lebih banyak pasang mata. Memanfaatkan informasi digital, baik berupa tulisan, foto, video, atau melalui beragam fitur yang ada, saya bisa melakukan riset dari domisili saya sekarang, untuk memperkuat dasar pengetahuan mengenai budaya Minang. Mulai dari daerah kelahiran saya dulu, baru nanti-nanti meluas ke daerah lain yang pastinya tak kalah menarik untuk dipelajari.

Cerpen Kasih Sasuku Sapayuang
Cerpen Kasih Sasuku Sapayuang | Dokumentasi Pribadi

Sang Mistikus Kasih adalah buku antologi pertama saya yang mengangkat larangan menikah sesuku di Minang. Jujur, keikutsertaan saya dalam buku ini dimulai dari kepercayaan diri berlebih, yang menganggap bahwa saya tahu menyeluruh soal adat ini. Barulah ketika menulis, saya kewalahan. Banyak informasi yang justru saya dapatkan dari media digital, ketimbang apa yang saya tahu sebelumnya. Saya streaming video, serta membaca berbagai situs berita dan website yang kebetulan meliput tentang adat larangan pernikahan sesuku di Minang.

Cerpen Riuh Randai Sematkan Kau Kembali
Cerpen Riuh Randai Sematkan Kau Kembali | Dokumentasi Pribadi

Antologi kedua saya berjudul Beri Aku Cerita yang Tak Biasa, yang mengangkat kesenian Randai pun juga rampung ditulis berkat suguhan kelengkapan informasi digital. Saya bisa melihat melalui layar, pertunjukan Randai mulai dari awal hingga akhir, mendengar dendangan dan musik yang menjadi latar belakangnya, mengamati suasananya, hingga hal yang lebih rinci seperti pakaian para pemainnya. Begitu pula ketika mengangkat cagar budaya sebagai latar belakang cerita, saya juga mengandalkan kekuatan digital untuk dapat langsung terbang ke sana, walau fisik saya tidak ke mana-mana.

Jelas saya bersyukur. Masih adanya pihak-pihak yang aktif mendokumentasikan kebudayaan Indonesia dalam format digital, sangat membantu saya untuk meneruskan langkah pelestariannya. Sedikit ingin saya bagikan untuk teman-teman sesama penulis, atau teman-teman lain yang juga membutuhkan riset mengenai budaya, sedangkan langkah kita terbatas untuk mengunjungi langsung asal daerah kebudayaan tersebut, riset digital ini bisa dijadikan referensi untuk menggali informasi yang dibutuhkan.

 

  • Sumber Tulisan Digital

Contoh sumber tulisan mengenai budaya
Contoh sumber tulisan mengenai budaya | Laman Pencarian Google

Dapat berupa artikel, data-data statistik, e-book atau e-journal. Pastikan didapat dari sumber tepercaya dan jelas siapa penulisnya. Misalnya dari situs pemerintah atau lembaga yang legal menerbitkannya, atau website berita yang ditulis berdasarkan etika dan aturan jurnalistik.

 

  • Sumber Visual

Contoh sumber video pertunjukan Randai
Contoh sumber video pertunjukan Randai | YouTube (Channel: VONI -MF)

Banyak sekali gambar dan video digital yang bisa kita jadikan sumber riset terkait hal-hal yang juga bersifat visual atau suara. Seperti menyaksikan gerakan tari, mendengarkan suara alat musik dan lagu daerah, atau melihat wujud dari situs-situs budaya. Ketika saya mengangkat kesenian Randai dalam tulisan, sumber visual inilah yang paling banyak membantu.

 

  • Google Maps

Contoh penggunaan Google Maps dalam riset budaya
Contoh penggunaan Google Maps dalam riset budaya | Google Maps

Siapa sangka fitur foto 360 derajat dapat menjadi sumber riset yang mampu memberi gambaran jelas mengenai cagar budaya atau tempat-tempat berunsur budaya lainnya, hingga ke keadaan atau kondisi area sekelilingnya. Foto-foto yang ditampilkan up to date, serta bisa diperbesar untuk menyorot lebih dekat. Bahkan saya bisa melihat jelas tulisan di Tugu Ayam Kukuak Balenggek yang dijadikan latar belakang dalam salah satu naskah saya. Menarik, bukan?

 

Ini menjadi bukti bahwa transformasi digital, bila dimanfaatkan dengan positif, akan memfasilitasi kita dalam berbagai lini kehidupan. Pastinya akan menjadi kabar baik bagi Indonesia ketika perjuangan pelestarian budaya bisa diteruskan oleh lebih banyak lagi masyarakatnya. Tidak terbatas oleh mereka yang professiona sajal, tapi saya yang seorang penulis dan blogger, serta semua orang pun bisa mengambil peran.

Berdasarkan data Statistik Kebudayaan 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, sudah ditetapkan 1635 Cagar Budaya (CB) dan 1239 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) sampai tahun 2020. Cagar budaya dapat berupa situs, bangunan, kawasan, dan benda, sedangkan WBTb bisa berupa tradisi, kebiasaan, perayaan, kerajinan, hingga kesenian. Dari sekian ribu kekayaan budaya Indonesia, tentu akan menjadi sebuah langkah luar biasa bila masing-masing kita dapat mengangkat satu atau dua saja di antaranya dalam sebuah upaya pelestarian.

Dengan memanfaatkan tranformasi digital, mari bersama kita lestarikan budaya bangsa. Karena lestari budayanya, terbuka pula potensi daerahnya.