Bukan Sekedar Transformasi, Ini Revolusi Digital!

Bukan Sekedar Transformasi, Ini Revolusi Digital!

Revolusi Digital | Unsplash (Marius Masalar)

#SohIBBerkompetisiArtikel

Kita berada di zaman ketika semuanya nyaris dilakukan serba digital. Setiap hari kita tidak dapat lepas dari aktivitas digital. Perangkat digital mulai dari smartphone, laptop, jam digital hingga media digital pun sepertinya sudah menggurita kehidupan manusia selama 24 jam. Bangun tidur yang kita cari smartphone. Sarapan ditemani media sosial yang menggantikan koran. Bekerja bersama laptop yang tersambung dengan internet. Bahkan ketika istirahat yang dibuka short video (status orang, reels instagram, tiktok, youtube) atau mungkin game online. Tidak jarang tertidur pun kita masih ditemani playlist podcast atau film yang kita akses dari platform digital.

Perubahan ini begitu cepat. Maka pantas jika banyak yang menyebut perubahan ini sebagai revolusi digital, bukan hanya sekedar transformasi digital. Sekalipun sama-sama berakna perubahan, ada perbedaan transformasi dengan revolusi. Perubahan yang perlahan dan bertahap disebut sebagai transformasi. Sedangkan perubahan yang sangat cepat dan cenderung radikal disebut sebagai revolusi. 

Perubahan yang dirasakan dalam 20an tahun terakhir terasa sangat cepat. Media cetak sebagai penyebaran informasi secara bebas yang menjamur sejak era reformasi di Indonesia berubah dengan cepat menjadi media digital. Pengguna gadget semakin banyak dan sudah menginjeksi bukan hanya masyarakat urban namun juga masyarakat desa. 

Laporan yang dirilis We Are Social tahun 2023 dari total penduduk Indonesia sebanyak 275 juta jiwa terdapat 354 juta telepon seluler dan 213 pengguna internet serta 167 juta pengguna media sosial. Artinya jumlah telepon seluler melebihi penduduk Indonesia. Belum lagi pengguna internet sudah hampir sebanyak 77%. Serta yang sering melakukan aktivitas digital di berbagai media digital seperti Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, WhatsApp dan lain sebagainya sebesar 61% populasi.

Internet tiap menit
Internet di setiap menit | LocalIQ (Stephanie Heitman)

Sedangkan menurut data LocaliQ setiap menit sepanjang hari ada 3,47 juta video yang dilihat di Youtube, 5,9 juta pencarian di Google, 167 juta video yang dilihat di TikTok, 66 ribu unggahan foto dan video yang dibagikan ke Instagram, 575 ribu tweet dikirim di Twitter. Angka di atas tidak diukur berdasarkan hari, tapi menit. Jadi dalam tiap detik kita membuka gawai kita, kita masuk dalam pusaran aliran data digital yang sangat besar dan cepat.

Perubahan Digital dan Terbukanya Potensi Daerah

Fenomena ini menarik untuk direnungkan. Perubahan yang mendasar ini sangat memberikan dampak positif terhadap kemajuan terutama di daerah-daerah pinggiran Indonesia. Di ujung barat Indonesia, orang mungkin hanya mengenal Masjid Agung Aceh yang dikenal sebagai serambi Mekkah. Namun dengan media digital orang di daerah Sabang dapat mempromosikan wisatanya yang beragam mulai dari pantai, kopi, pemandian air panas hingga Gunung Api (Apui) Jaboi misalnya.

Dulu wisata di pulau Jawa yang mencolok hanya seputaran Borobudur di Magelang atau Malioboro di Yogyakarta. Namun sekarang orang dapat dengan mudah mengenal Pegunungan tinggi Dieng di Wonosobo, Clorot sebagai makanan khas Purworejo, Kopi Arabika sebagai komoditas pertanian unggulan khas Temanggung atau mungkin keragaman dialek ngapak di Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen dan Purwokerto. Potensi budaya, ekonomi dan wisata alam dengan mudah dapat diakses siapapun lewat dunia digital.

Wonosobo
Berkat Digitalisasi, Keindahan Wonosobo dapat dinikmati | Unsplash (Andri Hermawan)

 

Ketersambungan informasi lewat revolusi digital yang oleh banyak orang dimaknai sebagai revolusi industri 4.0 ini membuka berbagai macam peluang baru. Ditemukannya artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan juga pada dasarnya ingin memudahkan manusia dalam beraktivitas. Tujuannya tentu saja menjadikan manusia semakin sejahtera dan meminimalisir effort manusia. 

Mungkin hal ini yang didambakan oleh ahli ekonomi John Maynard Keynes di tahun 1930 lalu. Dalam esainya yang berjudul "Economic Possibilities for our Grandchildren" dia memprediksi bahwa pada 2030 nanti manusia hanya butuh waktu bekerja sekitar 15 jam per minggu. Berkat kecanggihan teknologi manusia hanya butuh waktu sangat singkat untuk menghasilkan barang dan jasa. Dengan begitu waktu yang tersisa dapat digunakan untuk bersenang-senang. 

Memudahkan Tapi Menjebak?

Jika ramalan Keynes ini benar, maka UU nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang masih menjadi polemik tidak berkesudahan karena sempat di judicial review oleh MK dari UU Ciptaker tahun 2020 menjadi Peraturan Presiden Pengganti UU tahun 2022 dan kembali menjadi UU di tahun 2023 yang mengatur salah satunya tentang jam kerja perlu segera direvisi. Kita tidak perlu susah payah bekerja 40 jam dalam satu minggu. Berkat AI kita bahkan bisa punya banyak waktu untuk berwisata, merenung atau sekedar bermalas-malasan.

Namun jangan dikira hal ini mudah. Revolusi digital ini seringkali meninggalkan problem dilematis. Menurut World Economic Forum (WEF) akan ada pekerjaan manusia yang tergantikan oleh mesin di tahun 2025. Jenisnya bahkan tidak sedikit, yaitu mencapai 85 juta jenis pekerjaan manusia yang tergantikan. Pekerjaan kasar hingga pekerjaan berkerah akan segera tergantikan oleh AI. 

Tapi WEF tidak begitu saja meninggalkan berita pesimis. Ada optimisme yang dapat diusahakan dari revolusi digital ini. Hilangnya 85 juta pekerjaan di tahun 2025 ini dibarengi dengan bertambahnya 95 juta pekerjaan baru yang berkaitan dengan talenta digital. Mulai dari data analisis, data engineering, ui/ux designer dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan digitalisasi. 

Indonesia masih membutuhkan minimal 9 juta talenta digital hingga tahun 2030. Artinya tiap tahun negara kita harus memiliki telant ini sebesar 600.000 orang. Di level nasional hanya tercatat 50% tenaga kerja Indonesia yang memiliki ketrampilan digital di tingkat dasar dan menengah.

Untungnya di masa peralihan ini ada banyak platform yang menyediakan sarana belajar online untuk mentransformasi keterampilan konvensional menjadi ketrampilan digital. Seperti yang dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian bersama Telkom Indonesia menggandeng berbagai platform seperti microsoft, RevoU, dan lain sebagainya untuk memberikan pelatihan gratis maupun berbayar dalam transformasi talenta ini. Sekalipun transformasi manusia ini dilakukan di tengah kecamuk revolusi yang begitu cepat. Namun hal ini sudah sangat memitigasi kekhawatiran kita ke depan agar tidak terjerembab dalam krisis talenta digital.

Digital Talenta
Digital Talenta menjadi kebutuhan mendesak | Unsplash (Farzad P)

 

Sebuah Refleksi

Di tengah "gejolak" masa peralihan antara transformasi talenta digital yang berada pada kecepatan revolusi digital terkadang aku berfikir tentang bagaimana kita harus menempatkan diri sebagai manusia. Dalam buku Homo Deus (terbit pertama 2015) yang dikarang oleh Yuval Noah Harari mengemukakan renungan menarik yang masih relevan di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia hari ini.

Produk yang fenomenal dalam revolusi ini selain Internet of Things adalah Artificial Intelligence. Dimana kecerdasan yang dikembangkan ini memiliki kemampuan menampung data begitu besar, cepat, beragam, rigid dengan berbagai kualitasnya. Kecerdasan buatan ini ke depan bahkan akan lebih pintar mengenal diri manusia daripada manusia itu sendiri. Dia sangat cermat memberikan rekomendasi tempat makan bersama keluarga, praktik olahraga yang baik hingga kejiwaan manusia. 

Kecerdasan buatan yang sangat pintar namun tidak memiliki kesadaran ternyata sudah mengungguli kemampuan manajerial manusia. Pertanyaanya bagaimana manusia selanjutnya memberi makna kehadirannya ? Apakah dia tidak hanya sekedar makhluk yang berjalan di muka bumi yang hanya menghabiskan sumber daya di bumi? 

Nantinya kita akan pada titik dimana manusia akan lebih memaknai mana yang lebih penting, antara kecerdasan atau kesadaran.