Belajar Anti FOMO dengan Sedikit Mengonsumsi Berita Viral

Belajar Anti FOMO dengan Sedikit Mengonsumsi Berita Viral

Digital bisa menyematkan tapi juga bisa membuat kita FOMO, sumber: dokpri

#SohlBBerkompetisiArtikel

Setelah satu semester mengajar di sebuah sekolah swasta berbasis pesantren di Sleman, saya membagikan angket terkait apa yang mereka sukai dan tidak sukai dari gaya pengajaran saya sebelumnya. Mereka saya perintahkan untuk tidak menuliskan nama mereka supaya mereka bebas menyampaikan isi pikiran mereka.

Ada satu angket yang membuat saya ingin segera meresponnya. Kurang lebih begini isinya, “Pak, kalau mengajar selalu tampilkan berita yang sedang viral di media sosial dong! Di pesantren kita merasa tertinggal dengan berita-berita itu.”

Akhirnya di pertemuan berikutnya saya menyampaikan tentang Fear of Missing Out (FOMO), sebuah perasaan cemas dan takut tertinggal dengan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya yang sebenarnya tidak penting-penting banget untuk hidup kita. Istilah FOMO ini semakin menggurita di saat penyebaran informasi semakin mudah dilakukan. Media sosial turut mengantarkan FOMO ke setiap orang yang mengaksesnya.

Beberapa orang bahkan sampai menyebut bahwa setiap individu yang ketinggalan berita viral di media sosial adalah orang yang kurang beruntung. Mereka pun mengikuti tren-tren di media sosial dan berusaha menirunya supaya dianggap tidak tertinggal. Mereka kira mereka harus membaca berita viral setiap harinya agar tahu semua hal yang terjadi di luar sana.

Saya pun menegaskan kepada murid saya bahwa tidak semua berita viral harus mereka konsumsi apalagi jika itu tidak ada kaitannya dengan mata pelajaran. Bahkan terlalu banyak melihat atau mendengar berita buruk juga kurang baik untuk perkembangan mental mereka.

Menurut seorang psikoterapis Susanne Babbel, mengalami atau mendengar berita buruk akan membuat seseorang mudah lelah, cemas, depresi, dan menjadi lebih apatis atau kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Sebagai mantan wartawan yang akhirnya kecemplung di dunia pendidikan, saya pun menyadari betul bahwa berita yang baik justru adalah berita yang isinya hal-hal buruk yang terjadi di sekitar. Rumus jurnalistik dasar tersebut sudah ditanamkan di otak mayoritas wartawan karena memang berita buruklah yang laku di pasaran.

Berita tentang perceraian artis, pembunuhan, korupsi, dan kejelekan seseorang lebih disukai ketimbang berita kebun di tengah kota, prestasi anak bangsa, atau inovasi seorang mahasiswa. Bukan berarti saya sebagai guru melarang peserta didik saya untuk mengabaikan berita-berita buruk, hanya saja saya selalu menegaskan bahwa semua ada porsinya masing-masing, tidak perlu semuanya diketahui.

Saya juga selalu mewanti-wanti murid saya dalam menerima sebuah informasi dari dunia maya. Tidak semuanya yang viral di media sosial adalah sebuah fakta yang benar-benar terjadi.

Saya pernah kaget, ada peserta didik yang bercerita, katanya ada perundungan brutal di sebuah kampus di Jakarta akibat korban tidak mau ikut kegiatan kemahasiswaan sampai korban dihajar habis-habisan dan satpam di kampus tersebut justru diam saja tanpa melakukan tindakan apa-apa.

Setelah saya menelusurinya, memang benar ada tindakan semena-mena yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa namun alasan korban dirundung tidaklah benar. Si korban ternyata adalah tersangka kasus pelecehan seksual di kampus itu. Saya tidak membenarkan tindakan main hakim tersebut namun saya juga tidak setuju dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh korban. Dan saya lebih tidak setuju dengan informan yang melebih-lebihkan informasi tersebut hanya untuk viral.

Contoh di atas adalah contoh sebagian kecil saja, kadang ada berita yang kurang lengkap atau disampaikan setengah-setengah oleh informan dan disebut sebagai fakta utuh. Di era kecanggihan teknologi digital seperti saat ini, semua orang bisa menjadi wartawan dan semua orang bisa menyampaikan apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Informasi di ujung dunia pun bisa sampai ke kita hanya dalam hitungan detik saja. Saya pun selalu menyampaikan ke peserta didik saya, ada baiknya melihat sebuah berita tidak dari satu sumber saja namun selalu bandingkan dengan sumber lainnya agar mendapat sudut pandang yang lebih luas.

Kadang ada berita tentang seorang tokoh yang sedang beropini, namun informan memotong video di tengah-tengah sehingga opini dari si tokoh kurang lengkap. Akhirnya opini tersebut pun beredar luas dengan fakta yang sudah digiring.

Murid bisa dengan mudah terjangkit FOMO jika terus-terusan dengan perangkatnya tanpa pengawasan, sumber: dokpri

Ada pula video-video singkat baik di YouTube, Tiktok, atau Instagram yang isinya hanya beberapa detik saja. Apalagi suara informan diubah ke suara mode Google, judulnya pun sengaja dibombastiskan, Mengerikan inilah akibat dari blablabla, Ternyata begini kelakuan dari blablabla. Anehnya, video-video singkat tersebut justru lebih banyak atensinya.

Menjadi Pelajar yang Anti FOMO

FOMO menurut saya bukanlah sekadar istilah, FOMO menurut saya adalah sebuah penyakit di tubuh masyarakat yang berbahaya dan menular. Cara untuk menyembuhkannya sebenarnya mudah, cukup kurangi konsumsi berita viral khususnya di media sosial.

Memang tidak enak dicap sebagai individu yang kurang beruntung akibat kurang update berita atau tren terkini. Bagi saya lebih menyakitkan lagi jika kita memaksakan diri untuk mengikuti update berita atau tren terkini tapi itu bukan sesuatu yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup atau justru itu bertolak belakang dengan kita.

Saat saya mengajar dan ada diskusi kelompok misalnya, saya selalu menekankan mereka mencari informasi di sumber terpercaya bukan sumber di media sosial dengan akun tidak jelas meski itu sedang diperbincangkan banyak orang.

Diskusi kelompok sebagai upaya mencerna informasi yang baik, sumber: dokpri

Di samping itu, kadang saya membuat tugas sederhana kepada peserta didik untuk turut berkampanye digital, mengabarkan sesuatu yang baik dan positif seperti misalkan toleransi antar umat beragama. Hal ini lebih jauh dibutuhkan ketimbang sekadar mengikuti sesuatu tren viral yang tidak ada kaitannya dengan status mereka sebagai pelajar.

Murid saya sedang membuat kampanye digital toleransi beragama di aplikasi Canva, sumber: dokpri

Digital juga bisa digunakan sebagai media mempraktikkan demokrasi yang kreatif dan kondusif sejak dini melalui pemilihan ketua OSIS dengan perangkat gawai.

Pemilihan ketua OSIS sebagai upaya baik menggunakan gawai secara bijak, sumber: dokpri

Akhirnya saya menanggapi angket murid saya, “Tidak apa-apa di pesantren kalian ketinggalan berita-berita viral di media sosial, asalkan kalian tidak ketinggalan sesuatu yang benar-benar ingin kalian perjuangkan yakni ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.”