Aksi Kolektif Melawan Berita Palsu dan Disinfomasi Menjelang Kontestasi Politik

Aksi Kolektif Melawan Berita Palsu dan Disinfomasi Menjelang Kontestasi Politik

Freepik

#SohibBerkompetisiArtikel

Pertumbuhan penggunaan internet dan media digital yang semakin masif tidak hanya memberikan dampak positif saja, namun terdapat pula dampak negatif yang secara sadar maupun tidak merugikan masyarakat. Munculnya ancaman potensial seperti terkikisnya nilai-nilai demokrasi dan kebebasan pers yang disebabkan oleh maraknya disinformasi yang disebarkan melalui media digital adalah kenyataan yang saat ini menjadi tantangan bagi banyak pihak, termasuk negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Menurut Aim Sinpeng dalam jurnalnya yang berjudul “Digital Media, Political Authoritarianism, and Internet Control in Southeast Asia”, internet dan media digital setidaknya memiliki dua pengaruh pada demokrasi. Pertama, telah memfasilitasi pembentukan opini dan ekspresi warga negara. Kedua, internet dan media digital mungkin menurunkan (dalam beberapa kasus menghapus) biaya yang terkait dengan keterlibatan untuk pengaruh politik. Dalam pembentukan opini, memperkuat pandangan paling ekstrem dalam masyarakat untuk melemahkannya dari dalam adalah salah satu taktik yang paling sering digunakan dalam kampanye manipulasi informasi menjelang kontestasi politik. Kemudian, menjelekkan lawan politik demi keuntungan elektoral adalah taktik lain yang mempersulit masyarakat untuk bersikap demokratis, terlebih jika partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) mempekerjakan juru kampanye online profesional untuk menghasilkan berita palsu tentang lawan mereka atau biasa disebut black campaign.

Jumlah media di Indonesia yang sudah terverifikasi I Indonesia Baik

Kondisi yang demikian sangat mengkhawatirkan bagi orang Asia Tenggara termasuk Indonesia mengingat umumnya mereka lebih memercayai media sosial daripada masyarakat Barat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penetrasi internet dalam kurun waktu satu dekade terakhir serta penurunan, merger atau bahkan tutupnya media utama sumber informasi resmi atau sumber-sumber tradisional seperti saluran televisi dan surat kabar di Asia Tenggara yang disebabkan oleh sifat politis dan partisan media tradisional dalam proses produksinya menjelang pemilihan umum (pemilu) dan juga kemudahan mengakses informasi menggunakan gawai yang terkoneksi dengan internet dewasa ini.

Untuk itu, penyelesaian masalah terkait penyebaran berita palsu dan disinformasi telah masuk ke dalam aktivitas pembahasan negara anggota ASEAN dan juga dalam ranah politik nasional Indonesia. Pada tahun 2017, Ministers Responsible for Information (AMRI) mengadakan Roundtable Discussion on Fake News and Communicating the Right Information yang disusul dengan diadopsinya Framework and Joint Declaration to Minimise the Harmful Effects of Fake News pada tahun 2018. ASEAN juga merilis Core Values on Digital Literacy yang bertujuan untuk mempromosikan literasi digital dan keamanan siber sebagai bagian dari upaya untuk menghindari berita palsu. Begitupula dengan Indonesia, yang terus mengupayakan untuk menekan penyebaran disinformasi ini.

Tinta ungu di jari setelah pemilihan presiden di Indonesia I Kedek Creative

Lantas apa saja yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menciptakan pemilu agar berjalan dengan tertib dan anti hoaks?

Pertama, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan seperangkat undang-undang untuk membendung berita palsu dan disinformasi yang terkait dengan pemilu, seperti Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2016.

Kedua, untuk mewujudkan apa yang telah direncanakan oleh ASEAN serta dalam kapasitasnya menjadi tuan rumah KTT ASEAN 2023, Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia (Kemenkominfo) mengundang negara anggota ASEAN untuk bergabung membentuk pedoman (guideline) untuk mengatasi isu berita bohong di kawasan di mana hal ini bertujuan untuk mendukung implementasi salah satu dari tiga pilar Priorities Economic Deliverables, yaitu digital economy.

Ketiga, menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, Indonesia sedang menerapkan tiga strategi yang terdiri atas strategi hulu (downstream) berupa edukatif preventif melalui sosialisasi literasi digital di mana hal ini sejalan dengan nilai yang dibangun oleh ASEAN. Edukasi literasi digital tidak hanya dilakukan secara daring saja melainkan juga secara langsung seperti yang dilakukan oleh Dinas Kominfo Daerah Istimewa Yogyakarta kepada para pemilih muda khususnya siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) / Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan juga mahasiswa yang melakukan program kuliah kerja nyata (KKN). Dari poin pertama ini, kita dapat melihat bahwa literasi digital menjadi hal yang sangat ditekankan baik oleh ASEAN maupun Indonesia karena berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenkominfo bersama dengan Katadata Insight Center (KIC), menemukan bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada pada level sedang. Kemudian, strategi tengah (midstream) berupa aksi kolektif dengan tiga mekanisme, yaitu mesin AIS, patrol hoaks oleh manusia atau petugas selama 24 jam dan laporan masyarakat ditambah kontra narasi. Terakhir, strategi hilir (upstream) berupa penegakkan hukum dengan menggandeng Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Polri. Bawaslu sebagai institusi yang menangani pemilu secara langsung bersama dengan Badan Siber Sandi Negara (BSSN) bahkan telah membentuk tim keamanan siber bernama Computer Security Incident Response Team (CSIRT) untuk mencegah pencurian data menjelang pemilu mendatang.

Literasi Digital Kepemiluan I Kominfo DIY

Tidak cukup sampai disitu, masyarakat adalah aktor yang paling krusial untuk terus mengawal proses berjalannya pemilu di lapangan. Selain sebagai pemilih di mana mereka dituntut untuk pandai menyaring informasi yang beredar dan memastikan kebenarannya terlebih dahulu, masyarakat juga diminta untuk berpartisipasi aktif untuk melaporkan langsung apabila terdapat indikasi kecurangan dalam proses pemilu. Masyarakat harus melaporkannya pada instansi yang berwenang seperti Bawaslu atau panitia pengawas setempat. Pada websitenya, Bawaslu telah menuliskan arahan bagaimana cara membuat laporan, jenis-jenis pelanggaran pemilu dan juga penyelesaian sengketa proses pemilu. Masyarakat juga diharapkan segera melaporkan konten-konten negatif seperti provokasi SARA, berita palsu, fitnah atau pencemaran nama baik, radikalisme, dan pelanggaran UU ITE lainnya yang tersebar di media digital melalui website Aduan Konten atau Instagram @aduankonten.official yang disediakan oleh Kemenkominfo. Maka dari itu, kolaborasi aktif banyak pihak sangat menentukan keberhasilan menciptakan pemilu yang tertib, bersih dan anti hoaks.