Tak Perlu Hoaks, yang Kalah pun boleh jadi Menteri!!!

Tak Perlu Hoaks, yang Kalah pun boleh jadi Menteri!!!

Pemilu Tanpa Hoaks | (Sumber: https://kab-sukoharjo.kpu.go.id/berita/baca/8283/album-photo)

#SohIBBerkompetisiArtikel 

Rapat kerja dan Rapat dengar pendapat antara DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilihan umum, telah menyepakati waktu penyelenggaraan  pemungutan suara untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten serta anggota DPD RI yang akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 (https://www.kominfo.go.id/content/detail/39588/dpr-pemerintah-dan-penyelenggara-sepakati-pemilu-serentak-14-februari-2024/0/berita ), dimana tahapannya wajib dimulai 20 bulan sebelum tanggal yang telah ditetapkan tersebut.  Sebagai penyelenggara pemilu serta  tindak lanjut dari Undang – Undang No.7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, KPU melalui peraturan No. 3 Tahun 2022, telah memberikan tahapan serta jadwal penyelenggaraan pemilihan umum 2024 yang resmi dimulai sejak 14 Juni 2022. Potensi masalah yang kemungkinan besar akan muncul seiring dengan tahapan pemilu yang berlangsung lebih awal ini adalah memanasnya tensi politik jauh sebelum perhelatan sesuangguhnya dimulai. Kontestan pemilu yang akan melibatkan multi partai, banyak orang serta beragam kepentingan tak ayal akan menimbulkan friksi dan riak – riak kecil antara penyelengara, peserta bahkan merembet ke masyarakat sebagai pemilik suara dan mandat yang sesungguhnya. Derasnya arus informasi, semakin majunya teknologi serta media sosial dewasa ini, seolah menjadi katalis sempurna atas distorsi informasi yang didapati hampir setiap hari. Terlebih disaat tahun politik sudah mulai menjangkiti. Bila tidak belajar dari pemilu – pemilu sebelumnya, kita hanya akan menjadi bagian dari penerus pesan serta penikmat hoaks yang hakiki, lalu dimanakah esensi pesta demokrasi yang seharusnya menjadi kegembiraan bagi banyak orang ini?? . Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebutkan, dari penelusuran di berbagai platform media sosial kurun waktu Agustus 2018  - 30 September 2019, ditemukan 3.356 Hoaks alias kabar bohong, dimana mayoritas berbicara politik dan terjadi saat pemilu 2019 (https://www.kominfo.go.id/content/detail/21876/kominfo-temukan-3356-hoaks-terbanyak-saat-pemilu-2019/0/berita_satker).  

(Sumber: https://kab-sukoharjo.kpu.go.id/berita/baca/8283/album-photo)

Temuan ini seolah mengkonfirmasi bahwa pada tahun politik kecenderungan masyarakat untuk membicarakan politik mempunyai porsi yang lebih bila dibandingakan dengan bidang lain.  Hampir semua lini kehidupan berbicara soal politik, di angkringan, café, arisan, pengajian, sampai pada tataran terkecil dari kehidupan sosial yaitu rumah tangga. Bisa kita bayangkan bila Hoaks alias kabar bohong yang sudah tercampur menjadi bahan cerita dan perdebatan di tengah mereka, maka tak ayal fenomena unfriend karena beda pilihan yang sempat ngetrend pada pemilu 2019 akan kembali menjangkiti, bahkan bukan  tidak mungkin, fenomena konyol orang memutus persaudaraan, memutus ikatan pernikahan hanya karena beda dukungan. Lalu mungkingkah kita dapat menyelengarakan pemilu yang bebas hoaks ditengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi seperti dewasa ini?. Jawaban dari pertanyaan itu sebenernya hanyalah soal kemauan yang terletak pada masing – masing individu. Kemudahan akses internet dan media sosial dewasa ini, sangat membantu bagi banyak pihak untuk melakukan cek rice katas informasi yang beredar. Namun terkadang bila informasi yang didapatkan cenderung mendeskriditkan pihak yang tidak didukung banyak orang memilih untuk memanfaatkan hal tersebut untuk ikut menyebarluaskan, dengan harapan kandidat dan partai yang sedang didukung mendapatkan keuntungan dari tersebar luaskanya berita yang belum tentu kebenaranya tersebut, pada periode 2019 fenomena semacam ini dengan mudah akan kita jumpai, bahkan sudah terorganisasi, terkelompok serta mempunyai bagian struktur tersendiri.  Group – group percakapan bertebaran, ratusan informasi disebarluaskan, dibuat meme dan simbol – simbol lainnya.

(Sumber : https://diskominfo.bengkuluselatankab.go.id)

Sebagai orang yang melek informasi, seharusnya mudah bagi kita untuk melakukan filter atas informasi yang didapatkan.  KPU dalam pernyataaan yang dikeluarkan salah satu anggotanya dan telah dikutip banyak media menyebutkan bahwa komposisi peserta pemilu 2024 ini, akan didominasi oleh kelompok usia muda antara 17-39 tahun sebanyak 60% . Fakta dilapangan dewasa ini menunjukan,  rentang usia seperti tersebut didepan adalah usia-usia yang  tidak pernah lepas dari gadget pada keseharianya. Dengan kata lain, hanya untuk sekadar mencari kebenaran dari sebuah informasi yang didapatkan bukanlah satu masalah dan kesulitan besar, sehingga jawaban atas pertanyan , mungkinkah pemilu tanpa hoaks itu seharusnya dapat ditemukan pada masing-masing individu dan pihak-pihak yang menjadi bagian dari pemilu. Kondisi idealisnya tentu kita mengingingkan kandidat, orang serta partai politik beradu gagasan, wawasan serta solusi kongkrit yang akan ditawarkan untuk membuat seseorang merasa yakin kenapa mereka layak mendapatkan kepercayaan, namun acapkali banyak pemilih acuh akan idealisme tersebut, yang ada hanyalah pragmatisme dan jalan pintas dalam mencapai tujuan termasuk menghalalkan sebuah kebohongan asalkan menguntungkan. 2019 adalah cemin nyata saat polarisasi kian nyata, keterbelahan makin terbuka salah satu penyebabnya adalah hoaks dan kebohongan yang dianggap satu kebenaran.

(Sumber:https://news.republika.co.id/berita/r3hocd328/kpu-simulasi-pemilu-2024-dengan-dua-jenis-surat-suara)

Kita berharap pada elite yang sedang “berhadapan” mencari kuasa itu memberikan teladan kebenaran, namun bila mereka tidak dapat diharapkan karena terbutakan akan jalan untuk mencapai tujuan, kita sendirilah yang harus membuat keteladanan itu. Apakah selamanya kita akan dicari dan dibutuhkan setiap moment tahunan lalu dilupakan??, padahal diatas sana, 2019 kemarin pemenang menjadi Presiden pemegang kendali yang kalahpun boleh  jadi menteri. Banyak politisi pindah partai mencari jalan dan sekoci baru yang dibalut kesamaan visi, sementara kita masih berkelahi, kehilangan banyak cerita indah karena unfriend dan sumpah serapah karena beda pilihan sehingga terbelah. Apakah kita akan mengulangi kebodohan itu pada pemilu kali ini, jawabannya ada pada diri kita sendiri.

 

Label: