Sebuah Catatan dari Hitu: Melampaui “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelajari Bahasa Asing, Lesatirikan Bahasa Daerah”

Sebuah Catatan dari Hitu: Melampaui “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelajari Bahasa Asing, Lesatirikan Bahasa Daerah”

Anak-anak Menerangi Desa dengan Obor dalam Festibal Tujuh Likur, Jazirah Hitu (Alfian Al Ayubby/2015)

#SobatHebatIndonesiaBaik

#JadiKontributorJadiInspirator

#BerbagiMenginspirasi

#SohIBBerkompetisiArtikel

Dunia bergerak begitu cepat. Perkembangan teknologi menghadirkan begitu banyak kemudahan bagi manusia untuk memenuhi hajat hidupnya. Mungkin, peradaban di era ini lah, manusia berhasil duduk di puncak tertinggi pencapaiannya sepanjang sejarah. Meski pun banyak hal di masa yang lampau belum terkuak dan terjelaskan sepenuhnya, manusia di abad ini telah memiliki semua yang diinginkannya tapi masih terus merasa haus, kekurangan. Begitu lah manusia mendefiniskan dirinya, makhluk yang terus bergerak. Sekali saja berhenti, maka keabsahan sebagai manusia itu dapat dianulir.

Ketika wabah Covid-19 melanda dunia, rasa-rasanya, manusia akan segera mendefinisikan ulang dirinya.[1] Berbagai aktivitas manusia harus dihentikan. Begitu banyak cara diujicobakan agar manusia tidak kehilangan fitrah-nya untuk terus berinovasi, bergerak. Beruntung, sampai dengan hari ini, manusia berhasil keluar dari jurang pandemi itu dan perlahan merangkak untuk meroketkan dirinya kembali. Tapi, apa itu bergerak yang jadi fitrah manusia? Apakah ia berarti terus melakukan aktivitas produksi?

Jared Diamond, seorang antropolog yang menghabiskan banyak waktunya meneliti masyarakat di Papua Nugini, beranggapan bahwa umat manusia kini diperhadapkan pada situasi di mana dalam waktu yang singkat pertemuan dengan beragam orang dapat terjadi. Hal itu membuat aktivitas manusia begitu cepat, begitu banyak urusan, dan, tentu saja, begitu banyak masalah.[2] Faktor budaya itu sejatinya berperan penting dalam perjalanan manusia. Manusia membentuk secara tidak disadarinya sesuatu bernama ‘budaya’ itu, sesuatu yang bermuasal dari tubrukan berbagai macam kerangka pikir, nilai, norma, dan kepercayaan individu. Orang-orang beranggapan bahwa budaya ialah kesatuan perbedaan yang membentuk seperangkat aturan.

Dus, budaya global—jika hal demikian memang ada dan dapat didefinisikan secara konstan—kini dipercayai menyatukan aturan-aturan itu dan berlaku bagi banyak orang. Dengan aturan ketak semasa Covid-19 di berbagai negara, bukan tidak mungkin masker kedepannya menjadi simbol kebudayaan global kita, juga sebuah artefak pengingat krisis di masa silam—ketika dunia berhasil sepenuhnya keluar dari wabah ini.

Kita memahami bahwa pertukaran budaya antarbangsa di era ini begitu cair. Hari ini layar ponsel seseorang dapat berisi praktek kebudayaan tertentu di suatu negara, dan kita dapat saja membayangkan kecocokan praktek itu dengan diri dan pikiran kita. Ini lah budaya global itu—cepat, dinamis, dan tidak berjamin.[3] Inovasi di bidang teknologi informasi lah yang telah menghantarkan budaya itu kepada balairung kerajaan manusia kini. Sayangnya, kemewahan itu tidak serta merta menjadi cahaya penunjuk jalan bagi semua komunitas masyarakat.

Di Negeri Hitu, Semenanjung Hitu, Pulau Ambon, teknologi informasi seperti jaringan internet telah menjadi bagian dari napas penggerak peradaban di pesisir itu. Inovasi di bidang teknologi informasi di era ini ialah sintesa atas berbagai tubrukan di hari-hari kemarin. Sebagai pengguna, kita mungkin tidak perlu ambil pusing soal bagaimana teknologi berkembang. Toh, ia sekarang ada dan mengadakan diri kita saat ini untuk disebarluaskan kepada dunia seluas-luasnya. Tapi, dengan prinsip demikian, terang saja, masyarakat akan dilihat sebatas sebagai konsumen, tak lebih.

Kemewahan dan ketiadabertepian dunia maya itu, tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa memahami apa dan untuk apa teknologi informasi itu terus tumbuh kembang? Apa yang sedang mempengaruhinya? Hasrat manusia atau hal lainnya? Lihat bagaimana pemuda di Negeri Hitu terpapar budaya populer bermain permainan daring yang free-to-play itu, di mana pelbagai printilan perlu kita beli agar makin paten dalam bertarung dengan pemain dari Manila, Beijing, atau Delhi. Padahal, sekian banyak masalah di desa tidak diperlakukan sama halnya dengan bagaimana kita hanyut dalam skema free-to-play itu.

Misal, hasil tangkap ikan di laut sekitar Hitu, menurut pengakuan beberapa nelayan, terus mengalami penyusutan dari waktu ke waktu. Menurut mereka perikanan tangkap kini “su seng kayak dolo lai.” Sementara nelayan menginginkan peningkatan hasil tangkap, para mahasiswa perikanan dan kelautan justru mengkhawatirkan terjadinya overfishing yang akan mempengaruhi keanekaragaman biota laut dan keberlangsungan ekosistem laut. Sayangnya, meski pun informasi dari nelayan atau mahasiswa dan pemuda itu berserakan di desa, tidak ada langkah konkret yang diupayakan untuk dibeli agar dapat paten bertarung, tidak juga sebuah jurus hasil latihan yang dapat ditetapkan oleh pemerintah desa.

Lagi, sementara teknologi informasi itu terus mengisi relung tubuh masyarakat di desa, ia belum dapat menginternalisasikan dirinya ke dalam budaya sebuah komunitas masyarakat. Pemuda masih melihat bahwa privilesenya mengakses informasi di internet sebagai bahan sesumbar bukan bahan kolaborasi. Nelayan dan masyarakat yang tidak memiliki privilese pendidikan tinggi seperti mahasiswa masih beranggapan bahwa mereka bukan siapa-siapa. Padahal, di era ini, semua orang dapat menjadi siapa saja, sekali pun itu berarti imitasi atau palsu sekali pun. Dari hal ini, jelas bahwa kelompok nelayan tidak mendapatkan apa yang dikehendaki oleh perkembangan teknologi itu—understanding without expertise.

Pemuda ingin bergerak maju, melompati pelbagai capaian sejarah desanya. Sementara kelompok lain ingin desa dapat kembali kepada kenikmatan masa lampau. Siapa perlu menjembatani ini? Ialah kemewahan yang dijanjikan oleh perkembangan teknologi itu. Sejatinya, tekonologi merupakan jembatan penghubung antargenerasi, bagaimana pikiran lampau dapat direkognisi dan direkam. Kemudian, pikiran baru dapat melandasi, mendesain, dan mengimplementasikan situasi terkini.

Inilah yang absen dari alur perkembangan teknologi informasi itu, seiring dengan upaya digitalisasi sampai kepada pelosok-pelosok Kepulauan Nusantara. Kita kehilangan upaya menginternalisasikan ‘budaya global’ itu dengan ‘budaya lokal’ agar teknologi tepat guna. Teknologi kepalang krusial, sebuah komunitas yang tidak dapat memanfaatkan teknologi demi pertumbuhan komunitasnya akan binasa dihisap sebagai konsumen semata. Sementara, segala praktek kebudayaan lokal yang berlainan dengan karakteristik globalisasi kini jangan sampai hilang marwah, juga arah. Ia adalah cahaya penunjuk kemauan komunitas masyarakat. Kemana mereka harus berlayar dan berlabuh?

Menyitir tesis Shapir-Whorf perihal pandangan dunia, bahasa berisi pandangan dunia suatu masyarakat penutur.[4] Dengan demikian, tulisan ini perlu kiranya menyimpulkan apa yang ingin disuarakannya lewat semangat Badan Bahasa Nasional, “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelajari Bahasa Asing, Lestarikan Bahasa Daerah.” Bahasa Indonesia itu berisi bagaimana berpandangan dan berpikir sebagai orang Indonesia. Bahasa Asing berarti pahami dan ambil apa yang baik dari ‘budaya global itu’. Terakhir, melestarikan Bahasa Daerah berarti melestarikan metode pikir, prinsip, dan nilai yang bertautan dengan kondisi sosial-budaya, geografis, dan keyakinan suatu komunitas masyarakat.

 

[1] Pew Research Center, “What Lessons Do Americans See for Humanity in the Pandemic?” diakses pada 1 Juli 2022

[2] Jared Diamond, The World Until Yesterday.

[3] Jacques Olivier, dkk., “Globalization and The Dynamics of Cultural Identity,” IST PSU

[4] Jurgen Trabant, “How relativistic are Humboldts “Weltansichten”?” Putz & Verspoor.