Pustakawan Menulis Antara Harapan dan Kenyataan

Pustakawan Menulis Antara Harapan dan Kenyataan

Pustakawan Unand Menulis

SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi #SohIBBerkompetisiArtikel

Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang menciptakannya, demikian ungkap Stephen King seorang penulis kontemporer Amerika Serikat. Novelnya bergenre horor, fiksi ilmiah dan fantasi telah terjual lebih dari 350 juta eksemplar diseluruh dunia. Pustakawan adalah person yang memiliki wawasan yang luas. Pustakawan juga bisa menjadi seorang penulis handal apabila mengambil peran tersebut. Berperan sebagai penulis adalah profesi yang mulia. Sebagai langkah awal, Pustakawan dapat mengambil peran ini dengan kegiatan kecil. Misalnya dengan mengamati fenomena sosial yang terjadi dilingkungan kerjanya. Fenomena ini dicatat dengan buku harian dan dianalisis dengan « insting » dan nalar intelijen. Output dari tulisan diary bisa menjadi fakta (baca : tulisan ilmiah) atau fiksi yang berbentuk short story, apabila pustakawan pernah « melakoni » kehidupan sebagai cerpenis. Bagi saya hal ini tidak sulit sepanjang kita memiliki kemauan setinggi langit diangkasa.

Di UPT.Perpustakaan Universitas Andalas, ide-ide yang terpendam di sanubari Pustakawan biasanya diungkapkan melalui lisan. Tak jarang ide « brilian » terlupakan begitu saja setelah rapat selesai. Istilahnya Go In Go Out, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ini terjadi karena ide yang dimunculkan tidak memiliki sistematika, gambaran atau langkah-langkah untuk mencapai apa yang menjadi keinginan sang pemilik ide. Umpamanya, kita menginginkan buah jambak (baca : jambu bol) diatas pohon akan tetapi kita tidak memiliki galah yang panjang untuk mengambil buah tersebut. « Galah » adalah ide kita yang tertulis bila tak tertulis hanyalah sekadar wacana belaka. Ber »wacana » tanpa realisasi identik dengan No Action Talk Only (baca : omong doang).

Dunia edukasi menuntut Pustakawan Universitas Andalas untuk menuliskan ide-ide kreatif dalam lembaran kertas. Kenyataan yang terjadi saat ini, Pustakawan Universitas Andalas akan « rajin » menulis apabila mereka « dipaksa » untuk mengikuti suatu perlombaan atau event Pustakawan Berprestasi. Menulis bukanlah kebiasaan bagi Pustakawan di Indonesia. Salah satu alasan Pustakawan enggan menulis karena beranggapan bahwa apa yang ditulisnya belum tentu difollow-up oleh Kepala Perpustakaan sebagai decision maker. Lama kelamaan anggapan ini menjadi « dogma » dan menjadikan pustakawan cenderung pesimis terhadap tajdid (baca : pembaharuan). Yang mana tajdid itu wujud, bila ide pustakawan yang tertulis itu dipahami oleh decision maker.

Saya berhipotesis bahwa keengganan ini dilatarbelakangi tradisi Bangsa Indonesia yang membangun tammadunnya « berfondasikan" budaya lisan bukan tulisan. Budaya kita cenderung melestarikan kebiasaan bercerita tanpa mengajak lawan bicara kita untuk membaca buku yang kita ceritakan kepadanya. Kebiasaan lisan ini bisa dibuktikan sewaktu kita masih kanak-kanak. Nenek kita sambil mengunyah sirih pinang sering menceritakan kisah dongeng Cindur Mato mulai dari A sampai Z. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan Grand Mother di Inggeris Raya. Grand Mother  sering tidak menuntaskan cerita dongeng Cinderella kepada sang cucu. Grand Mother hanya berkata, «If you want to know what happened after Cinderella bewitched by the evil wizard, you have to go to the library to read the story further. Good Night!”. Maksudnya, jika kamu ingin tahu apa yang terjadi setelah cinderella disihir oleh penyihir jahat maka pergilah ke perpustakaan untuk membaca kisahnya lebih lanjut. Selamat Tidur !. Selepas itu Sang Nenek mencium pipi merah cucunya dan beranjak tidur. Esoknya, sang cucu pergi ke Perpustakaan Sekolah dan menemukan buku Cinderella yang terletak di rak. Setelah membaca sampai tuntas, guru bahasa memerintahkan menulis kisah Cinderella menurut versi para murid di sekolah. Dengan demikian sang guru « membumikan » tradisi menulis kepada para muridnya sehingga aktivitas tersebut menjadi kebiasaan sampai para murid beranjak dewasa. Bagi saya, membaca dan menulis ibarat sekeping mata uang dengan sisi yang berbeda.

Menulis sangat bermanfaat menghilangkan stress. Pustakawan dapat mencurahkan perasaan dan « unek-unek » didalam lembaran kertas sehingga tekanan batin dapat berkurang. Kapasitas otak manusia yang terbatas menjadikan kebiasaan menulis sebagai alat untuk menyimpan memori. Menulis juga melatih berfikir tertib dan teratur. Tulisan yang layak muat di media massa dapat menjadi sumber penghasilan bagi Pustakawan.  Oleh karena itu, UPT.Perpustakaan Universitas Andalas perlu mewadahi Pustakawan yang gemar menulis dengan menerbitkan Jurnal Pustakawan Universitas Andalas.

 Saya percaya bahwa pustakawan salah satu dari sekian banyak profesi manusia yang tinggikan derajatnya oleh Allah SWT sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an Surah Mujadalah ayat 11 yaitu “ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ”. Pustakawan adalah orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah, karena mengetahui sumber-sumber informasi yang dibutuhkan pemustaka. Pustakawan menjadi tempat «curhat » bagi para peneliti yang ingin riset. Sebagai orang yang diberi ilmu pengetahuan, Pustakawan « wajib «  hukumnya menulis sebab hal ini bukan sekedar firman Sang Khalik akan tetapi tuntutan kepustakawanan. Soekarno, Mao Tze Tung dan Che Guevara tidak akan menjadi tokoh terkenal tanpa menulis. Menulis adalah kenikmatan hidup, demikian dikatakan Tun Sri Dr.Mahathir Mohammad dalam Memoar-nya.