Perpustakaan dalam Sudut Pandang Tan Malaka

Perpustakaan dalam Sudut Pandang Tan Malaka

Sosok Tan Malaka | Sumber: Gramedia.com

#SobatHebatIndonesiaBaik #JadiKontributorJadiInspirator #BerbagiMenginspirasi

Perpustakaan merupakan ruang publik yang menyediakan akses pengetahuan dan informasi bagi masyarakat. Semua itu dapat dinikmati secara bersama tanpa membedakan ras dan gender.

Josef Ernst (1988) mendefinisikan ruang publik sebagai ruang diskursif khas yang di dalamnya terdapat individu yang berkumpul dan memainkan peran sebagai kekuatan politik yang andal. Dengan kata lain, perpustakaan sebagai tempat bagi individu menikmati kemerdekaan berpendapat dan berdiskusi sehingga mampu berperan sebagai agen perubahan di masa depan khususnya bidang politik praktis.

Sebagai ruang publik, perpustakaan dapat dikatakan sebagai prasarana pendidikan informal. Para tokoh besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan juga Tan Malaka memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat untuk menambah wawasan. Sebagai kaum intelek pada zamannya, literasi para tokoh tersebut sangat tinggi. Mereka mengenal karya tokoh filsafat seperti Muhammad Iqbal, Hegel, Engels, dan Marx. Kemudian, tokoh-tokoh ini juga menulis dan membaca, serta melahirkan magnum opus. Dengan magnum opus itu, mereka menuangkan gagasan besar tentang masa depan Indonesia Merdeka.

Bung Karno memiliki karya di bawah bendera revolusi, Bung Hatta memiliki karya "Kebangsaan dan Kerakyatan", dan Tan Malaka memiliki karya dengan nama "Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika)". Sekadar informasi, masing-masing tokoh tersebut memiliki perpustakaan pribadi di kediamannya.

Sebagai tokoh revolusioner, Tan Malaka memberikan perhatian yang sangat penting tentang eksistensi perpustakaan sebagai prasarana tercapainya proses kemerdekaan sebuah bangsa. Hal ini dituliskan beliau pada Madilog-nya. Karya pertama itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1943 dengan nama samaran Iljas Husein. Edisi resmi Madilog terbit tahun 1951 dan dianggap sebagian akademisi sebagai karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Indonesia modern.

Pendapat Tan Malaka tentang Perpustakaan terdapat pada kutipan Madilog halaman 11 yakni; "Bagi seseorang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka (perpustakaan) yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru."

Dalam narasi di atas, Tan Malaka secara tersirat sebenarnya menyebutkan perlunya perpustakaan yang memiliki referensi yang mencukupi terutama untuk bahan rujukan dalam melakukan penelitian. Tanpa itu penelitian atau penulisan buku relatif kurang memadai karena tidak lengkapnya bahan rujukan yang tersedia.

Tan Malaka di waktu senggangnya kerap bertandang ke toko buku. Madilog halaman 11 menjelaskan tentang aktivitas tersebut, "Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa."

Informasi ini menjelaskan bahwa Tan Malaka adalah seorang kutu buku dan bibliophile (pecinta buku), terutama yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi dan politik masa itu sangat diminatinya. Buku tersebut dapat dipakai sebagai bahan rujukan karya tulisnya.

Tan Malaka mengisahkan pengalamannya semasa di Tiongkok (Republik Rakyat Cina). Ketika Jepang menginvasi Tiongkok, Tan Malaka telah menjadi seorang guru di Shanghai. Dia telah memiliki perpustakaan pribadi di tempat tinggalnya. Semua koleksi yang ada tak sempat diselamatkan.

"Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya "lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi." (Madilog, halaman 12).

Narasi di atas menjelaskan bahwa Tan Malaka tetap optimis bahwa dia mampu membangun perpustakaan pribadinya kembali selama toko buku masih ada. Tentunya harus ada pengorbanan yakni mengurangi sikap boros dalam membeli pakaian dan makanan. Otak perlu “vitamin”, yakni bahan bacaan yang berkualitas sebagai rujukan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.

Setelah Jepang berhasil menguasai Tiongkok, Tan Malaka hijrah ke Rangoon dan kemudian ke Singapura. Di sana, beliau sempat menjadi guru Bahasa Inggris dan Matematika di Nanyang Chinese Normal School. Di Singapura, nama samaran beliau adalah Tan Ho Seng. Tan Malaka sempat menjadi anggota Rafles Library. Beberapa catatan yang sempat diselamatkan dari pemeriksaan sejak dari Tiongkok sampai ke Singapura dikumpulkan kembali dan ditulis menjadi karangan yang kelak menjadi sebuah buku.

Namun pada tahun 1942, Jepang menyerang Singapura. Tan Malaka pun tak sempat mengembalikan buku Das Capital karya Karl Marx ke Rafles Library. Buku Das Kapital itu terkubur dalam kolam ikan Tan Kin Chan di upper Seranggoon Road. Akhirnya, Tan Malaka menyeberang ke Sumatera untuk selanjutnya menetap di Bayah, Banten, sebagai Ketua Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3).