Perpeloncoan, Noda Gelap Pendidikan Kita

Perpeloncoan, Noda Gelap Pendidikan Kita

Proses Pendidikan | unsplash (kenny eliason)

Masih di bulan Mei, masih hangat oleh kita memperingati hari terpenting kedua setelah hari kemerdekaan kita, yaitu Hari Pendidikan. Momen yang tepat untuk kembali merefleksi sejauh apa pendidikan kita berjalan. Bagaimana proses pendidikan kita saat ini berjalan, sudahkah sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri?

Mengutip pernyataan Dr. Muhamad Syukri dalam materi seminarnya di acara TedxUNS bahwa dalam hidup ini selalu ada dua kutub, yaitu baik dan buruk, citra terbentuk dari dominasi diantara kedua kutub tersebut. Oleh karena itu, momentum ini sangat perlu untuk merefleksi kedua kutub pendidikan kita, setidaknya agar citra baiklah yang terbentuk.

Refleksi Pendidikan Kita

Salah satu upaya awal dalam refleksi adalah dengan mengakui bahwa pendidikan kita memiliki kekurangan atau kelemahan. Seperti wajah kita yang selalu memiliki noda gelap, baik terlihat maupun tidak. Salah satu diantara noda gelap pendidikan kita adalah praktik perpeloncoan yang masih sering terjadi.

Bagi kamu para pelajar, mahasiswa, maupun aktivis organisasi/komunitas sebagian besar tidak asing dengan kata pelonco. Sebagian besar pasti pernah mendengar dan bahkan mengalami, atau bahkan melakukannya. Tentu sebagian dari kita sepakat bahwa praktik perpeloncoan lebih sering memberikan dampak negatif ketimbang memberikan manfaat.

Dalam KBBI, perpeloncoan diartikan sebagai pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. Memelonco dalam KBBI diartikan sebagai menjadikan tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan.

Dalam praktiknya, perpeloncoan seringkali terjadi saat momentum pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan kampus, maupun masa orientasi organisasi. Perpeloncoan menjadi metode yang dilakukan penyelenggara/panitia dalam memperlakukan peserta selama kegiatan orientasi dilakukan. Sebagian memiliki dasar yang jelas, namun juga ada yang hanya sekadar ikut tren, dengan kata lain tidak memiliki alasan atau nilai baik didalamnya.

Apa yang Dicari Dari Perpeloncoan

Praktik perpeloncoan dalam berbagai kasus seringkali melewati batas wajar. Dengan kata lain, dalam pelaksanaannya tidaklah sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai, bahkan merugikan. Alih-alih mencapai tujuan, malah semakin jauh atau kontraproduktif dari tujuan.

Dalam beberapa kasus perpeloncoan di sekolah misalkan, peserta (pelajar baru) diminta mengenakan aksesoris yang tidak memiliki esensi maupun nilai baik. Berbagai ‘tugas’ yang tidak memiliki nilai mendidiknya sama sekali seringkali dibebankan kepada peserta. Sebagai contoh, peserta diwajibkan untuk menggunakan topi yang terbuat dari bola plastik yang dibelah dua, diminta menggunakan rompi dari tas plastik, hingga bahkan mencoret bagian wajah.

Belum lagi kasus perpeloncoan di lingkup perguruan tinggi yang melanda mahasiswa baru. Sebagian terkesan memiliki pesan baik, tapi pesan tersebut seringkali hanya sebagai formalitas belaka. Seolah menjadi pembenaran atas praktik perpeloncoan yang dilakukan. Mulai dari dibentak-bentak atas dasar pendisiplinan, pemberian tugas atas dasar solidaritas, perlakuan fisik atas dasar kebugaran, dan hal aneh beserta alasannya yang seringkali tidak saling berkorelasi.

Praktik perpeloncoan akan selalu datang dengan berbagai alasan. Sama seperti noda gelap dimuka yang tidak akan hilang jika tidak ada niat untuk membersihkannya. Lalu mau sampai kapan?

Bagaimana Sikap Kita?

Pendidikan sudah seharusnya sebagai proses mendidik, yang berarti pendidikan dimanapun dan kapanpun, serta jenjang manapun perlu memastikan setiap proses yang dilalui harus mendidik. Proses mendidik yang dimaksud setidaknya membuat seseorang semakin memahami potensi dirinya dan memahami lingkungan disekitarnya.

Dengan memahami tujuan pendidikan itu sendiri, semua aktor didalamnya akan lebih berhati-hati dalam mengambil langkah, setidaknya mampu mencegah terjadinya segala bentuk praktik yang berlawanan dengan tujuan dan proses pendidikan, salah satunya praktik perpeloncoan.

Menghadapi praktik perpeloncoan bukan salah siapapun, semua menjadi tanggungjawab kita sebagai individu. Adapun cara untuk melawannya adalah dengan memiliki pola pikir kritis. Berani berkata tidak jika memang tidak berdasar dan tidak masuk diakal. Dengan berpikir kritis, segala tindakan yang dilakukan akan berjalan dengan penuh kesadaran dan rasional. 

Saling bahu membahu melawan kebiasaan buruk dalam pendidikan kita menjadi bentuk kepedulian sebagai pembelajar yang baik. Praktik perpeloncoan sudah seharusnya diakhiri.

Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.